ZenEga

By KRV_tripeople

198K 18.3K 3.3K

Season 1 [End] Season 2 [On Going] Kisah ini, tentang Zenata Aurora Syahfilla, yang begitu membenci cowok ber... More

[ZenEga 00]
[ZenEga 01]
[ZenEga 02]
[ZenEga 03]
[ZenEga 04]
[ZenEga 05]
[ZenEga 06]
[ZenEga 07]
[ZenEga 08]
[ZenEga 09]
[Visual Tokoh]
[ZenEga 10]
[ZenEga 11]
[ZenEga 12]
[ZenEga 13]
[ZenEga 14]
[ZenEga 15]
[ZenEga 16]
[ZenEga 17]
[ZenEga 18]
[ZenEga 19]
[ZenEga 21]
[ZenEga 22]
[ZenEga 23]
[ZenEga 24]
[ZenEga 25]
[ZenEga 26]
[ZenEga 27]
[ZenEga 28]
[ZenEga 29]
[ZenEga 30]
ZenEga QnA
[ZenEga 31] END
ZenEga 2 [00]
ZenEga 2 [01]
ZenEga 2 [02]

[ZenEga 20]

5.3K 475 75
By KRV_tripeople

Note Author!

Budayakan klik 🌟 sebelum membaca dan Comment setelah selesai membaca.

Seorang penulis akan mencintai para pembacanya, jika kalian mau menghargai hasil karyanya :)

"Aku berharap kamu ingat, pertemuan kita yang pertama yang membawa rasa itu mengalir seperti angin berhembus tanpa suara."

BAB 20

"ZENEGA"


"Udah?"

Zena yang baru selesai memasukkan alat tulisnya ke dalam tas pun menoleh ke arah cowok yang berdiri di depan pintu kelas dengan posisi tangan bersedekap dada.

Siapa lagi kalau bukan Zega. Cowok menyebalkan yang terus memaksa nya untuk jadi pacar pura-pura.

Cewek itu mendengus sebal, lalu dengan langkah malas Zena berjalan menghampiri cowok itu.

"Pulang bareng oke." Zega tersenyum lebar, yang terlihat sangat menyebalkan di mata cewek itu. Kemudian cowok itu mengaitkan jari-jari tangannya di antara jemari tangan Zena. Sebelum keduanya berjalan beriringan menuju parkiran.

Zega membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Zena masuk bak seorang Putri kerajaan, yang sering Zega tonton di drama-drama romantis bersama Abangnya.

"Eh Zen, tunggu di mobil bentar ya. Gue pengen pipis dulu," ucap Zega buru-buru sebelum berlari mencari toilet terdekat.

Di sisi lain setelah menghilangnya Zega beberapa menit lalu, Zena berdecak kesal dalam mobil. Bagaimana tidak kesal? Jika cowok itu meninggalkan Zena di dalam mobil dengan kondisi mesin mati. Tentu saja Zena langsung ke panasan walaupun baru dua menit berlalu.

Zena mengelap keringatnya yang kini bercucuran di sekitar pelipis, sudah empat menit dan cowok itu belum kembali. Jika saja sekarang waktu menunjukkan jam empat sore, mungkin sinar matahari tak seterik ini. Sayangnya hari ini mereka pulang setengah hari akibat semua guru sedang mengadakan rapat mendadak.

Zena yang tak mau mandi keringat, memutuskan untuk beranjak keluar dari dalam mobil Zega dan berjalan menuju halte yang terdapat tak jauh dari gerbang sekolah.

Zena yang baru akan duduk di bangku halte mendadak gerakannya terhenti, ketika matanya menangkap seseorang cowok yang akan berjalan menyeberang jalan, tanpa dia melihat dari ke jauhan sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju kencang.

Dengan gerakkan cepat Zena berlari dan menarik tangan cowok itu, yang nyaris keserempet motor tersebut. Namun karena gerakkan tiba-tiba itu membuat tubuh mereka kurang keseimbangan, hingga akhirnya keduanya terjatuh di panasnya aspal jalan.

Zena sedikit meringis, ketika kening dan siku tangannya tergores aspal. Goresan itu kini sedikit mengeluarkan darah dan cukup nyeri pastinya.

Baru saja dia akan bangkit dari posisinya, tiba-tiba tubuhnya mendadak membeku saat mendengar cowok yang Zena ketahui bernama Gilan itu berseru dengan wajah panik kearahnya, lalu mendekap tubuh Zena erat.

"Illa! Lo gak papa kan!?"

Zena terdiam dengan kening berkerut. Mata gadis itu menatap heran ke arah Gilan yang kini sudah melepaskan dekapannya dan beralih mengamati bagian tubuh Zena yang terluka.

"Tau nama kecil gue dari mana?" tanya Zena sedikit kaget bercampur mengintimidasi.

Illa, panggilan Zena kecil yang diambil dari Syahfilla yang berada di belakang namanya. Dan sebenarnya dia cukup kaget ketika nama kecilnya itu keluar dari mulut Gilan.

Sedangkan Gilan yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa terdiam dengan senyum tipis namun terlihat miris.

"Lo akan tau nanti..." Lagi-lagi cowok itu tersenyum tipis. "Karena jawabnya ada pada diri lo sendiri."

Cewek itu terdiam di tempatnya. Dia tak sadar bahwa Gilan sudah pergi meninggalkannya dan berjalan menuju sebuah warung kecil di pinggir jalan. Zena kini sedang mencoba mengingat-ingat, apa dia dulu pernah bertemu dengan Gilan?

"Hei! Malah bengong," seru Gilan sembari terkekeh pelan.

Zena mengerjap lalu ditatapnya Gilan yang sudah kembali dengan sebotol air dan obat merah di tangannya.

"Sini gue obatin dulu," ucap Gilan dengan tubuh yang berjongkok di hadapan Zena. Cowok itu kini membuka botol air mineral dan membersihkan siku Zena yang berdarah sekaligus kotor akibat terkena tanah dan debu.

Zena terus mengamati Gilan yang sedang serius membersihkan dan menempelkan plester di sikunya. Sementara di benak gadis itu kini dipenuhi oleh beribu pertanyaan yang membuatnya bingung sendiri.

"Bagus banget ya! Baru gue tinggal sebentar aja udah mesra-mesraan sama cowok lain."

Mereka berdua kompak menoleh ketika seruan sinis itu terdengar dari mulut Zega. Zena mendengus sedangkan Gilan menatap Zega datar.

Zega menarik lengan Zena dengan paksa yang membuat cewek itu berdiri dan sedikit memekik pelan. Zega menatap Gilan galak. "Lo ngapain sama cewek gue?!"

Gilan memutar bola matanya. Zega bilang apa tadi? Cewek gue? Cih! Cuma pacar pura-pura aja belagu. Ingin sekali Gilan berkata seperti itu, namun dia memilih untuk diam karena tak mau cari ribut dengan temannya sendiri.

"Bisa dilihat sendiri kan? Gue ngobatin Zena," ucap Gilan acuh.

Zega yang menatap Gilan sengit langsung membulatkan matanya lalu memutar badan Zena untuk memastikan tak ada luka parah yang hinggap di tubuh cewek itu. "Lo gak kenapa-kenapa kan?! Apa yang sakit? Ada yang berdarah gak? Kok bisa begini sih Zena?!"

Sedangkan Zena memutar bola matanya dan kembali meringis ketika Zega menekan luka yang berada di jidat Zena.

Lalu dengan kesal, Zega menempeleng pelan jidat Zena dengan jari telunjuknya. "Ceroboh banget sih lo!" ucapnya dengan greget setengah mati pada cewek di depannya ini.

Tak terima diperlakukan seperti itu oleh Zega, akhirnya Zena membalas tempelengan Zega dengan cara menginjak kaki cowok itu keras-keras hingga membuat Zega memekik kesakitan.

"Jahat banget sih lo sama pacar sendiri," ucap Zega dengan nada dibuat-buat lalu melirik wajah Gilan yang tampak datar. Bermaksud ingin meledek Gilan yang tak punya pacar, haha mampus lo jones!

"Haha! Mampus lo gak ada pacar," batin Zega dengan senyum setan.

Namun sepertinya Zena tak mengerti apa yang diharapkan Zega, malahan sekarang cewek itu mendengus seraya melontarkan perkataan yang tentu saja membuat wajah Zega kembali tertekuk.

"Lebay!"

Sinis Zena sembari berlalu meninggalkan Zega dan Gilan yang masih diam di tempat.

"Woi! Tungguin gue Zena!" teriak Zega kencang. Namun dia kembali mendengus ketika Zena tak membalas teriakannya.

Zega menatap Gilan kesal. "Apa lo liat-liat? Bapak lo jago silat! Mukanya bulat-bulat seperti kue donat!"

Gilan mengernyit ketika Zega berucap dengan nada seperti lagu. Dia menatap cowok itu aneh.

"Kezel gue sama lu, Gila!" Dengan kesal Zega memplesetkan nama Gilan menjadi Gila. Lalu dia merampas plester dan air mineral dari tangan Gilan. "Buat ngobatin luka Zena."

Gilan terdiam ketika Zega berlalu menyusul Zena masuk ke dalam mobil. Lantas cowok tersenyum sendu ketika suatu kenangan manis melintas di benaknya.

8 tahun yang lalu...

Seorang gadis yang memegang stick ice cream di tangannya berlari kecil sembari bersenandung pelan. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak kesana kemari seiring langkah nya yang bergerak dengan lincah.

Gadis bertubuh mungil itu duduk di salah satu kursi panjang yang terletak di seberang lapangan sekolah. Sembari menyantap ice cream coklat, dia melirik cowok sebayanya yang duduk berseberangan dengan posisi duduknya saat ini.

Tubuh gadis itu bergeser sampai bersebelahan dengan anak laki-laki itu.

"Kamu gak ikut main?" tanyanya sembari menjilat ice cream miliknya. Tatapan gadis itu mengarah ke depan sedangkan kakinya bergerak dengan riang.

"E-enggak," balas cowok itu pelan.

Gadis itu menoleh dan menatap anak laki-laki itu penasaran. "Kenapa?" tanyanya. "Ah, kamu gak ada teman main ya?"

Anak laki-laki mengangguk dengan wajah tertunduk. Tangannya saling tergenggam dengan resah.

"Kamu mau gak?" tawar gadis itu sembari menyodorkan ice cream ke hadapan anak laki-laki itu.

"Makasih," ucap anak laki-laki itu sembari tersenyum tipis. Menolak dengan lembut tawaran Sang Gadis.

"Kalau kamu gak mau ice cream, kamu mau ini kan?"

Gadis itu merogoh saku rok nya lalu memperlihatkan sebatang permen rasa susu di tangannya.

Anak laki-laki tampak menimbang-nimbang, sedangkan gadis bertubuh mungil itu tak sabaran dan langsung saja dia mengambil tangan anak laki-laki itu lalu meletakkan permen di sana.

"Kalau kamu gak mau ambil permen itu, aku gak mau jadi teman kamu."

Anak laki-laki itu sedikit mengernyit. "Memangnya kita berteman ya?"

"Kalau kamu ambil permen itu berarti mulai sekarang kita berteman," jawab gadis itu polos.

Anak laki-laki itu terdiam sebentar lalu tersenyum merekah. "Makasih ya."

Gadis itu terkekeh. "Sama-sama." Dia kembali menjilat ice cream miliknya. "Oh iya nama kamu siapa ya?"

"Nama aku Gilan Mahendra, panggil aja Gilan." Anak laki-laki itu melirik gadis di sampingnya yang kini mengangguk dengan antusias yang membuat rambutnya bergoyang. "Kalau kamu?"

Gadis itu tersenyum lebar. "Aku Zenata Aurora Syahfilla dan kamu boleh panggil aku Illa."

"Jadi sekarang, Illa dan Ilan berteman." Gadis itu tertawa renyah yang membuat cowok di sebelahnya ikut tertawa lepas.

Gilan menatap sendu permen yang berada di genggamnya. Permen yang sama seperti delapan tahun silam.

"Rasa permen ini manis. Manis seperti kenangan kita dulu."

🍁🍁🍁

"Jangan deket-deket Gilan!"

Zena yang sedang menatap jendela kini beralih menatap Zega heran. "Apa?"

"Gue bilang jangan deket-deket Gilan!" ucap Zega ketus sembari terus menatap jalanan yang membentang di depannya.

"Harus?" Zena bertanya dengan malas.

Siapa sih Zega? Emaknya? Bapaknya? Sok banget tuh orang ngatur-ngatur hidup Zena. Dion yang bapaknya aja gak peduli sama Zena, bahkan sampai mencampakkan nya. Ah, mengingat itu suasana hati Zena semakin memburuk.

"Karena gue pacar lo."

Zena tertawa sinis. "Pacar?! Lo cuma pacar pura-pura."

"Tapi sekarang kita statusnya pacaran, jadi lo harus nurutin semua omongan gue sebelum rahasia lo kesebar dan BOOM! Abel bakalan benci sama lo."

Zena mengepalkan tangannya. Ingin rasanya Zena menendang Zega dari mobil dan segera melindasnya sampai gepeng.

"Kok berhenti?" Zena mengernyit bingung ketika Zega menepikan mobilnya.

Zega diam tak menjawab pertanyaan Zena lalu mendekat ke arah Zena yang membuat oksigen di sekitar Zena menipis.

"M-mau ngapain lo?!" Zena bersiap mengepalkan tangannya. Takut-takut Zega kembali melakukan hal menjijikan seperti kemarin.

Zena mencoba berdiri dari posisinya namun sial karena tubuhnya ini masih terpasang seat belt yang membuat nya tak bisa berkutik.

"Diem!" sergah Zega dengan tangan yang bergerak menempelkan plester di kening Zena. Sedangkan Zena menghembuskan nafasnya, untung saja cowok itu tak macam-macam.

"Lo tuh ceroboh banget sih jadi cewek! Udah kemarin mau dicium bola nah sekarang malah luka-luka kek begini."

Zega kembali menoyor kepala Zena pelan.

Zena mendengus. Emangnya dia mau luka-luka kayak gini?

Zega kembali melajukan mobilnya. Hingga tak lama kemudian mobil itu kembali menepi di pinggir jalan. Bedanya kali ini, mobil mereka berhenti tepat di depan sebuah kedai es krim di samping kiri.

Zena mengernyit, seraya menatap Zega. "Kok berhenti lagi? Kenapa gak langsung pulang?"

Tanpa menjawab pertanyaan Zena, cowok itu bergerak melepaskan Seat belt yang melingkari tubuh cewek itu. Setelahnya Zega beranjak turun dan membukaan pintu sebelah sisi mobil, mempersilakan untuk Zena turun.

"Mau jalan sendiri atau gue gendong?" Zega menaik turunkan alisnya, tak lupa dengan senyum menyebalkan khasnya.

Zena mendengus seraya menggelengkan kepalanya. "Gue mau langsung pulang!" ucap Zena tegas.

Zega tersenyum miring dan mengangguk pelan. "Kalo itu mau lo? Oke, gak papa. Tapi jangan salahin gue, kalo rahasia lo besok tersebar."

"Zega!" Zena mengeram tertahan, dengan sebelah tangan terkepal kuat.

Demi Tuhan! cowok ini benar-benar licik!

"Jadi gimana? Mau nurut omongan gue atau--"

"Gue turun! Puas?" dengan cepat Zena memotong ucapan Zega. Hal itu kontak membuat Zega terkekeh pelan, sebelum ia bergerak merangkul pundak Zena dari samping dan mengajak cewek itu berjalan memasuki kedai es krim.

🍁🍁🍁

"Mau pesen rasa apa?" Zega membuka daftar menu es krim, dengan mata melirik Zena yang duduk berhadapan dengannya.

"Gak usah! Lo aja," sahut Zena ketus.

Zega mengangguk, lalu menepuk keduanya- tanda memanggil pelayan.

Tak lama seorang pelayan perempuan datang menghampiri meja mereka, dengan buku catatan dan pulpen di tangannya.

"Saya pesen dua cup es krim, satu rasa coklat dan satu lagi rasa vanila," ucap Zega dengan nada tenang.

Mendengar itu, Zena melolot ke arah Zega. "Gue kan udah bilang gak usah! Kenapa masih dipesenin juga?!"

"Siapa bilang gue pesenin buat lo? Gue pesen dua buat gue sendiri," potong Zega cepat seraya tersenyum miring.

Dengan muka merah padam menahan malu Zena kembali diam, dalam hati dia merutuki kebodohannya.

Selang beberapa menit, pesanan Zega datang. Lalu cowok itu segera menyantap es krimnya, setelah mengucapkan kata 'terimakasih' ke pelayan yang mengantarkan pesanannya itu.

Sambil terus menikmati es krim rasa vanillanya, Zega melirik Zena yang hanya diam menunduk dengan satu tangan menopang dagunya. Sedangkan satunya lagi mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja.

Zega tersenyum tipis, lalu menyodorkan satu cup es krim rasa coklatnya yang belum tersentuh sama sekali ke arah Zena. "Katanya coklat itu bermanfaat buat nyejukin hati. Jadi dari pada lo bengong kayak sapi ompong, mending lo abis nih es krim."

Zena mendongak menatap Zega malas. "Gak perlu, makasih."

Zega menghela napas."Apa perlu gue ancem dulu, baru lo mau abisin nih es krim?"

Zena mendengus kesal. "Mau lo itu sebenarnya apa sih? Bukannya lo yang bilang kalo dua cup es krim itu buat diri lo sendiri?"

"Ya itu kan tadi, sekarang gak jadi." Zega menyengir dengan raut tanpa dosanya.

Zena berdecak kesal. Dalam hati, rasanya dia ingin melempar Zega detik ini juga ke kandang buaya. Demi Tuhan cowok menyebalkan macam Zega membuat Zena jadi banyak bicara. Dan Zena sangat membenci hal itu.

"Zen," ucap Zega dengan nada menggoda. Dia menggoyangkan cup ice cream itu di hadapan Zena.

Zena mendengus dan segera mengambil cup itu dengan kesal. Zega tersenyum lebar lalu kembali menyuapkan ice cream vanilla itu ke mulutnya.

Sembari melahap ice cream rasa coklat dengan kesal, Zena memalingkan wajahnya ke arah lain, yang penting jangan sampai dia melihat wajah Zega yang menyebalkan.

Hening kembali menyapa. Keduanya tampak asik menikmati ice cream masing-masing, sebelum akhirnya Zega kembali membuka suara.

"Zen."

"Hm."

"Zen."

"Hm."

"Zen."

Zena mendengus kesal. Bisa tidak sih cowok macam Zega ini dibawa pulang? Merepotkan saja.

"Zena."

Zena menggeram. Dia meletakkan cup ice cream nya di meja dengan keras hingga menimbulkan bunyi lalu dia menoleh ke arah Zega, bersiap untuk memarahi atau bahkan menghajarnya detik ini juga.

Namun saat Zena menoleh, dia terdiam sebentar ketika merasakan dingin dan lengket menyapa wajahnya, ah lebih tepat nya ke arah pipi. Zena menatap tajam Zega yang kini menyuap ice cream dengan mata yang menatap sekeliling, pura-pura tidak tahu.

Zena mengepalkan tangannya kesal. Cowok itu pikir Zena tidak tahu siapa yang mencolek pipinya dengan ice cream. Hei! Zena bukan cewek yang mudah dibodoh-bodohi.

"Zega! Lo tuh--"

"Kenapa Zen?" Buru-buru Zega menyela ucapan Zena. Lalu dia menatap wajah Zena dengan tampang-tampang polos minta ditabok.

"Ya ampun Zena! Kok bisa ada es krim di pipi lo sih? Lo makan pake pipi? Ish! Kek anak kecil aja lo. Atau jangan-jangan lo sengaja colek pipi lo sendiri pake es krim supaya gue yang bersihin, gitu? Aduh ... gak usah gitu juga kali Zena. Lo tinggal bilang aja, nanti gue--"

Brak!

"Bisa gak sih lo gak usah mancing kemarahan gue?!" Zena berdiri dengan nafas terengah-engah, menahan emosi yang begitu menggebu.

"Sst! Jangan marah-marah gitu dong pacar, diliatin banyak orang tau." Zega menatap sekeliling. "Nanti gue disangka gak mau beliin lo es krim lagi."

Zena menghembuskan nafas lalu menatap sekitarnya, dan benar saja orang-orang berbisik sembari menatap Zena aneh.

Zena kembali duduk di kursinya.

"Duduk yang tenang ya pacar," balas Zega yang dibalas putaran bola mata malas dari Zena.

Zega mengambil tisu lalu mengarahkan tangannya ke pipi Zena. "Lo kalau mau manja sama gue bilang aja Zen, gak usah malu-malu. Kan sekarang lo bebeb gue."

Zena memutar bola matanya malas lalu menepis tangan Zega yang masih terulur ke wajahnya.

Zega terkekeh. "Lo lucu banget sumpah! Gue bawa pulang boleh?" Tangan laki-laki itu kini mengacak rambut Zena gemas.

"Singkirin tangan lo!"

Zega tersenyum lebar. Rasanya menyenangkan jika melihat wajah Zena yang datar itu melotot tajam ke arahnya, lucu.

Zena kembali menghabiskan es krim nya dengan perasaan yang amat kesal. Namun dia kembali menghela nafas ketika Zega lagi dan lagi memanggilnya.

"Zenaa," panggil Zega dengan nada manja.

"Apa sih?!" ketus Zena kesal sekaligus gemas ingin menabok Zega.

"Bersihin." Zega memajukan wajahnya ke arah Zena lalu menunjuk pipinya yang sudah tercolek es krim. Raut wajah Zega kini berubah yang tadi nya cool, sekarang menjadi amit-amit, eh? Imut-imut deng. Tak lupa dengan mata puppy eyes yang menurut cewek --kecuali Zena-- menggemaskan.

"Males."

"Iih." Zega memajukan bibirnya lima senti lalu mengambil tangan Zena dan mengusap pipinya yang terkena es krim menggunakan tangan cewek itu.

Zena terdiam. Seperti ada sengatan listrik yang menjalar ke tubuhnya ketika tangan nya itu bersentuhan langsung dengan permukaan wajah Zega yang halus.

Sementara itu Zega tersenyum kecil. Lalu dengan jahilnya, dia menggosok-gosokkan hidungnya ke telapak tangan Zena yang masih terulur ke wajahnya.

"Kenapa diem Zen? Deg-degan ya lo gue pegang tangannya?" tanya Zega dengan senyum geli. Sedangkan Zena kini mengerjap bodoh dan menatap Zega dengan wajah yang kembali datar.

"Pede!" ketus Zena dengan reflek menjambak jambul Zega.

Zega meringis. Baru saja dia ingin membuka suara dan melayangkan protes, tiba-tiba saja seseorang berseru yang membuat Zega kembali menutup mulutnya rapat-rapat.

"SAYANGGGG!"

Zega dan Zena kompak menoleh dan mendapati seorang cewek yang berlari ke arah mereka, ah lebih tepatnya ke arah Zega.

"Ish! Ega kok ke sini gak bilang-bilang aku sih?" Cewek itu memeluk Zega dengan mesra. Sedangkan Zega hanya bisa terdiam ketika cewek itu mulai mencium pipinya.

"Sayang?" Zena yang tak mengerti situasi yang sedang terjadi kini mengernyit bingung.

Cewek itu menoleh dan mendapati cewek lain yang duduk semeja dengan Zega. Melihat itu dia menatap Zena tajam dan sengit. "INI SELINGKUHAN KAMU?!"

"Selingkuhan?" Zena tersenyum sinis dengan sebelah alis yang terangkat.

"EGA KAMU SELINGKUH DI BELAKANG AKU YA?!" Cewek bernama Leli itu teriak tak terima yang membuat Zega mencoba menenangkan cewek itu dengan cara mengusap lengannya.

"Itu bukan selingkuhan aku kok beb, itu adik aku."

Leli menatap Zega dengan tatapan menyelidik. "Serius?"

Zega mengangguk.

Leli tersenyum senang dan menatap Zena ramah. "Hallo dek, siapa nama kamu?"

Apa tadi? Dek katanya? Zena mendengus. Ogah banget Zena jadi Adiknya Zega. Kalau itu menjadi kenyataan, Zena bakalan buang Zega. Buat apa punya Kakak yang begitu menyebalkan, sok ganteng, tukang ngancem seperti Zega? Gak guna.

"Namanya Zena."

Itu bukan Zena yang menjawab tapi Zega. Cowok itu kini memberi kode kepada Zena supaya mengikuti permainan yang baru saja cowok itu mulai.

"Wah! Namanya sama kayak kamu, Zena dan Zega. Sayang banget sih nama aku gak dari Z," ucap Leli dengan wajah tertekuk.

"Kamu ganti aja awalan nama kamu jadi Z," ucap Zega mencoba menghibur.

"Jadinya nama aku Zeli dong? Disamain sama jelly berarti." Leli semakin menekuk wajahnya kesal.

"Bagus dong. Jelly itu kan bentuknya imut-imut terus rasanya manis berarti kamu juga imut dan manis."

Leli tersenyum lebar dan memeluk Zega lagi. "Ah kamu bisa aja si beb."

"Iya dong." Zega tersenyum bangga dan mengusap rambut Leli pelan. "Sini duduk."

Leli duduk di samping Zega dengan semangat. Sedangkan Zega kembali memesan es krim untuk gadis itu. Tak lama kemudian pesanan yang Zega pesan datang.

"Kamu mau lagi gak beb?" tanya Leli sembari mengarahkan sendok yang berisi es krim ke arah Zega. Zega tadinya ingin menolak, namun Leli memaksa yang membuat Zega akhirnya menerima suapan dari gadis itu.

Di tempat duduknya, Zena mendengus. Seharusnya dia segera pergi dari sini dan meninggalkan mereka yang kini sedang asik suap-suapan.

Dan pada akhirnya Zena dilupakan.

Ada tapi tak dianggap itu ibaratkan pajangan yang tersimpan di sudut ruangan. Dia ada, namun tak tampak. Dia nyata, namun tak dianggap. Dia hadir, namun seolah tak ada.

Diabaikan, dicampakkan dan dilupakan adalah sebuah hal yang begitu menyakitkan jika kita sendiri yang merasakan. Jujur saja, Zena benci diabaikan karena diabaikan, dia akan kembali berteman dengan kesendirian.

Tapi entah mengapa ada rasa tak suka melihat cewek lain memeluk, mencium pipi, bahkan memanggil Zega dengan sebutan 'sayang'.

Zena ingin marah. Tapi marah karena apa? Marah karena cemburu atau marah karena diabaikan?

Bersandar di punggung kursi, Zena melipat kedua tangannya dan menatap pasangan yang kini sedang tertawa di depannya.

"Hai, boleh gabung?"

Mereka kompak menoleh ketika suara Gilan menginterupsi. Zena menatap kehadiran Gilan datar sedangkan Zega menatap kehadiran Gilan dengan tatapan tak suka.

"Ngapain lo kesini!?"

Gilan menoleh dan menatap Zega dingin. "Kenapa? Gak boleh? Ini tempat umum, jadi gue bebas dong mau kemana aja."

Zega memutar bola matanya malas.

"Mba pesan es krim coklat dua ya," ucap Gilan lalu dengan santai dia duduk di kursi yang berada di sebelah Zena.

"Ega mau lagi gak ini es krim nya?" Leli memalingkan wajah Zega agar menghadap ke arahnya.

"Pacar lo?" Gilan melirik Leli.

"Iya, gue pacar Zega," balas Leli dengan senyum bangga.

Dan selanjutnya hening tak ada percakapan. Lalu Gilan berucap 'terima kasih' kepada pelayan yang sudah mengantarkan pesanan es krim nya.

"Mau?" tawar Gilan pada Zena.

Zena menggeleng.

"Gue gak nerima penolakan," kata Gilan sembari menggeser cup es krim rasa coklat ke arah Zena. Cowok itu tersenyum lebar.

"Zena gak boleh makan es krim banyak-banyak. Nanti dia sakit gigi terus kena diabetes," ketus Zega.

Gilan menoleh dan menyeringai. "Kalau sedikit boleh kan?"

Zega menggeram. "Kalau gue bilang enggak ya enggak!"

"Lah, emang gue nawarin lo? Gue nawarin Zena."

"Gue gak nerima penolakan!" sengit Zega. Lalu menatap Zena dengan tatapan mengancam.

"Dan gue tetep nolak lo!" seru Gilan tajam.

"Lo gak usah cari ribut sama gue bangsat!" Zega menatap Gilan tajam, bahkan kelewat tajam. "Zena! Pulang!"

Zega menarik paksa tangan Zena yang membuat cewek itu bangkit dari duduknya.

Zena meringis. "Apaan sih lo?! Sakit tau!"

"Kita pulang!"

"Apaan sih lo maksa-maksa!?"

"GUE BILANG PULANG YA PULANG! BUDEK LO?!" bentak Zega pada Zena.

Zena terdiam. Baru kali ini dia melihat Zega semarah ini. Tatapan tajam berkilat emosi, suara tinggi penuh penakanan dan lebih lagi dia menarik paksa tangan Zena.

Sebenarnya Zena ingin melawan, tapi dia tahu keadaan. Dia tahu sifat Zega jika amarah sedang menguasai.

Gilan mencekal lengan Zega ketika cowok itu ingin membawa Zena pulang. Dia berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Zega.

"Lo boleh mainin Zena sesuka lo, jadiin dia bahan taruhan karena permainan bodoh itu. Tapi itu gak akan lama, gue yakin."

Bisik Gilan tepat di telinga Zega.

Zega mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya Gilan ingin merebut Zena darinya. Bukannya ingin membantu Zega supaya tantangannya lancar, Gilan malah mempersulit jalannya.

"Apa gue harus menyingkirkan Gilan supaya gue bisa menguasai Zena sepenuhnya?" batin Zega licik.

🍁🍁🍁

Setelah mengantarkan Zena pulang, akhirnya Zega sampai di rumah dengan amarah yang masih bersarang di dadanya.

Dia harus segera menjauhkan Zena dari Gilan sebelum semuanya terlambat. Ya harus.

Menghembuskan nafas kesal, Zega membuka pintu rumahnya. Namun dia kembali mengernyit kala melihat Zero yang sedang duduk di sofa depan televisi.

Bukan masalah Zero yang duduk, atau tayangan yang Zero tonton. Tapi yang jadi masalahnya adalah kotak obat dan lengan Zero yang berdarah.

"Ya ampun! Tangan lo kenapa Bang?" pekik Zega dengan suara melengking. Buru-buru dia berlari ke arah Abangnya yang sedang meringis ketika obat merah dan alkohol menyentuh lengannya.

"Biasa lah, jagoan." Zero kembali meringis.

"Serius gue Bang!"

Zero terkekeh. "Cuma luka kecil kok, gak bikin gue mati Ga."

"Kok bisa gini sih? Luka lo parah gini Bang! Ayo ke Rumah Sakit! Lo harus operasi! Terus lengan lo harus dijahit!" Zega menatap lengan Zero yang luka dan sobek yang sepertinya terkena senjata tajam.

Zero mendengus. Kadang Zega bisa lebay dan bego disaat bersamaan ketika bocah itu sedang panik.

"Cuma kegores pisau Ga, gak usah lebay deh!"

"Tapi lengan lo sobek gini! Malah darah yang keluar banyak banget lagi, kalau lo kekurangan darah gimana?! Terus kalau lo mati--"

"Lah kampret nih bocah doain gue mati."

"Kan gue bilang kalau Bang." Zega mendengus. "Lagian lo ngapain sih gores pisau ke lengan sendiri? Mau bunuh diri lo? Kalau mau bunuh diri mah harusnya lo gores tuh nadi, bukan lengan."

"Sebelum gue bunuh diri, mending gue bunuh lo dulu Ga," sahut Zero sambil menyeringai yang membuat Zega bergidik ngeri.

"Kalau gue mati, gue gentayangin lo Bang."

"Tinggal gue panggil dukun buat masukin lo ke dalam botol, gampang kan?"

"Lah lo kira gue jin tomang?"

"Lo kan setan Ga."

"Sialan lo!" Zega reflek memukul lengan Abangnya. Zero memekik kencang.

"Udah ayo ke Rumah Sakit!" Zega menatap Zero khawatir. Rasanya dia ingin menangis kala melihat Zero terluka.

"Gak usah. Abang bisa ngobatin sendiri."

"Kok bisa kena pisau gitu sih? Lo mau motong ayam, tapi ayamnya bales dendam terus mau bunuh lo gitu?"

Tuh kan, apa yang Zero bilang tadi. Kalau Zega lagi panik, pasti kadar kebegoan cowok itu bertambah lima kali lipat.

"Aduh, bego banget sih Adek gue!" maki Zero yang dibalas mata sinis dari Zega. "Tadi Abang lo yang ganteng, baik hati dan tidak sombong ini pulang kerja. Pas pulang, ada cewek cantik, bohai dan sekseh kena copet. Karena jiwa pahlawan Abang bangkit, jadinya Abang kejar tuh copet terus ada baku hantam dan tembak-tembakkan, eh? Gak ampe nembak deng. Pas Abang mau ninju eh copet nya malah mau nusuk Abang pakai pisau. Abang ngehindar, tapi lengan Abang kegores. Tamat."

"Oh."

"Ye elah nih bocah, responnya malah 'oh' doang." Zero mendelik.

"Terus Ega harus apa? Bilang 'wow' sambil terjun dari Monas gitu?"

"Boleh juga tuh Ga, biar lo ngerasain namanya terbang lalu dihempaskan secara bersamaan."

"Terah lo dah, Bang."

🍁🍁🍁

HOLA KAMI KAMBEK EGEN!

BTW KANGEN AUTHOR GAK?

ZEGA?

ZENA?

KALIAN TIM MANA NIH? KOMEN YA.

#TIM_GILAN

#TIM_EGANTENG

KOMEN YA! 

Continue Reading

You'll Also Like

777K 28.4K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
6.5M 214K 74
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
358K 43.7K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
411K 5K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+