ZenEga

By KRV_tripeople

198K 18.3K 3.3K

Season 1 [End] Season 2 [On Going] Kisah ini, tentang Zenata Aurora Syahfilla, yang begitu membenci cowok ber... More

[ZenEga 00]
[ZenEga 01]
[ZenEga 02]
[ZenEga 03]
[ZenEga 04]
[ZenEga 05]
[ZenEga 06]
[ZenEga 07]
[ZenEga 08]
[ZenEga 09]
[Visual Tokoh]
[ZenEga 10]
[ZenEga 11]
[ZenEga 13]
[ZenEga 14]
[ZenEga 15]
[ZenEga 16]
[ZenEga 17]
[ZenEga 18]
[ZenEga 19]
[ZenEga 20]
[ZenEga 21]
[ZenEga 22]
[ZenEga 23]
[ZenEga 24]
[ZenEga 25]
[ZenEga 26]
[ZenEga 27]
[ZenEga 28]
[ZenEga 29]
[ZenEga 30]
ZenEga QnA
[ZenEga 31] END
ZenEga 2 [00]
ZenEga 2 [01]
ZenEga 2 [02]

[ZenEga 12]

5K 549 82
By KRV_tripeople

Note Author!

Budayakan klik 🌟 sebelum membaca dan Comment setelah selesai membaca.

Seorang penulis akan mencintai para pembacanya, jika kalian mau menghargai hasil karyanya :)

"Ternyata benar. Rasa sakit yang paling dalam dapat diciptakan oleh seseorang yang kita anggap spesial."

"ZENEGA"

BAB 12

Zega mengerutkan kening ketika melihat kerumunan yang berada di depan kelas Zena. Matanya menyipit seolah memindai satu persatu wajah mereka, berharap dia bisa melihat calon gebetannya di sana. Dan benar saja, Zega menemukan Zena yang berdiri di tengah-tengah kerumunan itu.

Dengan semangat Zega menghampiri Zena, namun Zega memperlambat langkah kakinya ketika melihat raut wajah Zena yang tampak menyeramkan dari biasanya. Memang sih kemarin-kemarin Zena menyeramkan, tapi beda dengan kali ini, Zena bertambah dua kali lipat menyeramkan dan itu membuat Zega merinding sendiri.

Wajah Zena memerah dengan tangan terkepal di sampingnya. Bisa dilihat kalau sekarang cewek itu sedang menahan amarah yang sudah memuncak.

Dahi Zega mengkerut.

Apa yang membuat Zena marah, apa mungkin ponselnya rusak gara-gara kemarin? Atau Zena marah gara-gara Zega ngatain dia lucu sampe-sampe pingin gigit? Apa jangan-jangan, Zena lagi PMS?

Ah tau lah! Cewek susah banget ditebak, sok misterius dan kebanyakan micin! Pusing pala Zega.

"Ga like sama cewek jaman now," batin Zega.

"Gue bantuin lo bukan sebagai sahabat Bel, tapi sebagai teman."

Perkataan Zena yang tiba-tiba itu membuat fokus Zega teralihkan.

Sahabat? Dahi Zega mengkerut lebih dalam. Lalu dia mengikuti arah pandangan Zena dan mendapati seorang cewek yang sedang merangkul, ah lebih tepatnya memapah cowok yang entah kenapa itu.

"Tunggu-tunggu, bukannya itu Galaksi ya? eh masa iya itu Galaksi?" gumam Zega saat melihat punggung cowok yang sedang dipapah oleh seorang cewek yang dia yakini adalah sahabat atau bisa disebut juga mantan sahabat Zena.

"Itu kenapa sih?"

Seorang cewek yang sedang asik menonton drama ftv 'Siapa takut sama Zena?' pun menoleh dan terlonjak kaget saat Zega bertanya tepat di telinganya.

"Anjer! kaget gue!" gerutu cewek itu.

Zega memutar bola matanya malas. "Gue tanya 'itu kenapa?' bukannya 'lo kenapa?' gimana sih lo?"

Cewek itu mendengus. "Zena berantem sama Abel."

"Abel?"

"Sahabatnya mungkin," balas cewek itu sembari mengendikan bahunya cuek.

Zega mengangguk sekilas. "Tadi yang dipapah sama Abel siapa?" tanyanya lagi.

"Ya mana gue tau? Lo kira gue wartawan yang tau kabar terkini?" tanya cewek itu sinis.

Zega berdecak. "Kan gue nanya."

"Tanya aja sono, sama rumput yang bergoyang."

"Kok lo ngeselin sih?!" sungut Zega kesal, lalu cowok itu merubah kembali wajahnya. "Tapi gak papa deh, cewek kan kebanyakan kayak gitu, pura-pura ngeselin diawal tapi ujung-ujungnya minta dikejar."

"Heh! adanya lo tuh, cowok jaman now, bilangnya mau berjuang tapi malah menghilang," balas cewek itu tak mau kalah.

Zega menghembuskan nafasnya dan memutar bola mata. "Tipe cewek gampang baper, egois dan maunya menang sendiri. Pantes, ditinggalin."

Cewek itu melotot. Dia tak terima dengan perkataan Zega barusan, baru saja dia akan membalas ucapan Zega dengan seribu macam makian plus umpatan, Zega sudah berlalu dan memilih menghampiri Zena.

Cewek itu menatap sinis Zega yang kini sedang membelah kerumunan untuk memberi akses untuk dia berjalan.

"Halah, Zega mah cowok kardus buktinya dia sama Zena aja modus," ucap cewek itu ketika melihat Zega yang menggenggam tangan Zena. "Masih mending cowok gue lah, biarpun dia mukanya kayak tempe mendoan, tapi dia tetep setia sama gue sekalipun udah pernah gue selingkuhin sih."

Sedangkan disisi lain, Zena mengernyit heran saat merasakan tangannya seperti digenggam seseorang, lalu dia menoleh dan mendapati Zega yang kini sedang tersenyum lebar.

"Gak baik cewek cantik kayak lo marah-marah, nanti ada kerutan di dahi, sekitar mata dan pipi. Gue gak mau lo tua sebelum waktunya." Zega mengacak rambut Zena dengan gemas.

Belum sempat Zena ingin membalas perkataan Zega, tangannya sudah terlebih dahulu ditarik oleh Zega.

Zena menggeram kesal.

Bisakah Zena melenyapkan cowok yang bernama Zega itu dengan cara menenggelamkan nya di Segitiga Bermuda? Atau memutilasi tubuh Zega menjadi beberapa bagian dan membuangnya di penangkaran buaya?

Mungkin Zena akan memilih opsi yang kedua, secara itulah hal yang paling gampang dilakukan.

"Sekarang lo duduk dulu, tunggu bentar." Zega meninggalkan Zena yang kini mendengus kesal. Dengan amat terpaksa Zena mendudukkan tubuhnya di kursi sembari menunggu Zega yang entah pergi kemana.

Tak lama Zega kembali dengan tangan yang membawa kantong plastik yang berisi berbagai macam minuman dan cemilan untuk Zena, lalu memberikan kantong itu kepada Zena namun, Zena tak mengambil kantong itu dan memilih untuk diam. Zega menarik nafasnya sabar lalu duduk di samping Zena kepalanya bergerak menghadap Zena dengan mata yang terus menatap Zena dengan seribu pertanyaan.

Merasa terus ditatap oleh Zega, Zena membuang muka kesembarang arah. Zega tersenyum kecil sambil terkekeh.

"Jangan marah-marah terus, semua masalah gak bisa diselesaikan dengan cara marah-marah," ucap Zega lembut.

Jujur, di dalam benaknya ingin sekali cowok itu menanyakan semua yang ada di kepalanya namun melihat keadaan Zena yang seperti itu Zega memilih mengurungkan niatnya dan menenangkan gadis itu.

"Sejak kapan cowok kayak lo bijak?" ketus Zena singkat.

"Sejak kapan ya?" tanya Zega pura-pura bingung. "Sejak aku belajar mencintai kamu."

"Gombal."

"Gak papa deh dikatain gombal, asalkan kalau kita nikah nanti aku janji gak bakal kasih kamu sekedar gombalan, tapi seluruh jiwa dan ragaku juga aku kasih ke kamu."

"Alay."

"Gak papa alay, yang penting ganteng."

Mendengar itu Zena memutar bola matanya malas. Percaya diri Zega sudah melebihi batas normal, dan itu sedikit membuat Zena khawatir kalau Zega punya gangguan saraf otak.

"Zen, lo dipanggil ke ruang Kepala Sekolah," ucap seorang siswa membuat fokus mereka teralihkan. Terutama Zena yang bingung, mengapa dia dipanggil?

"Zena doang nih? Gue nya enggak?" tanya Zega yang dibalas gelengan pelan oleh siswa itu. "Harusnya yang dipanggil tuh gue sama Zena, secara kita kan couple ZenEga."

"ZenEga?" siswa itu mengernyit bingung.

"Iya, Zena dan Zega. Pasangan paling romantis pada abad ke 22," balas Zega dengan alis naik-turun.

"Gila," sahut Zena lalu berlalu menuju ke ruang Kepsek.

"Gue gila?" tanya Zega sedikit tak percaya. "Padahal sih, gue tuh gak waras."

🍁🍁🍁

"Silahkan duduk," ucap Pak Kepala Sekolah ketika Zena masuk ke dalam ruangannya.

Zena mengikuti apa yang diucapkan Pak Kepsek dan mengernyit ketika menyadari bahwa bukan dirinya saja yang ada di ruangan ini, terbukti bahwa ada tiga orang yang sudah duduk di tempatnya.

Zena mendengus ketika menyadari bahwa Dion yang duduk di sebelahnya. Wajah pria paruh baya itu terlihat santai namun terlihat tegas disaat bersamaan. Zena yakin bahwa Papanya itu sedang bekerja namun dia terpaksa datang karena dipanggil oleh Kepala Sekolah.

Malas melihat Dion lebih lama lagi, Zena menatap Pak Kepsek dengan sebelah alis yang terangkat sebagai isyarat 'apa?' pada Pak Kepsek.

"Kalau begitu kita langsung ke intinya bagaimana?" tanya Pak Kepsek yang diangguki malas oleh Zena.

"Baik," jeda Pak Kepsek lalu menatap Zena serius. "Zena, apa benar kamu menonjok Galaksi?"

Zena mendengus sembari menatap Galaksi yang babak belur di pojok ruangan lalu Zena menatap Pak Kepsek malas. "Menurut bapak?"

"Sepertinya memang benar begitu," balas Pak Kepsek.

"Tadinya sih saya mau jadi Malaikat Maut buat dia, tapi pas inget dia punya dosa banyak jadinya gak jadi deh."

Ucapan yang mengandung unsur bercanda itu tak membuat suasana di ruangan itu mencair karena Zena mengucapkannya dengan nada serius dan dingin.

"Jaga ucapan kamu Zena," desis Dion tak suka.

"Buat apa? sudah seharusnya dia diperlakukan begitu, cowok brengsek yang memainkan cewek dengan seenak jidat."

"Zena!"

Namun tetap saja peringatan Dion tak digubris oleh Zena. Gadis itu terus saja menatap Galaksi tajam dan dingin bagai predator yang siap memangsa makhluk kecil seperti tikus, ah lebih tepatnya makhluk tak berguna macam Galaksi.

"Gue brengsek atau enggak, itu bukan urusan lo!"

Zena menggeram. Emosinya dia tahan dengan cara mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Bukan urusan gue, huh? LO UDAH SAKITIN HATI SAHABAT GUE DAN LO MASIH TANYA LO BRENGSEK ATAU ENGGAK?!"

Emosi sedari tadi yang Zena tahan kini meluap membuat Dion yang di sebelahnya sigap menahan Zena yang akan menonjok Galaksi yang kedua kali.

"Seperti yang kamu dengar tadi, brengsek atau enggak nya anak saya sama sekali bukan urusan kamu," sahut Dirga, Papa Galaksi.

"Cih! begitukah cara Anda mendidik seorang anak agar menjadi cowok yang mempermainkan wanita dengan seenak hati?" tanya Zena sarkastik pada pria yang seumuran dengan Dion. "Ternyata begitu ya, sistem yang dianut oleh keluarga Aldivano, menjadikan seorang anak sebagai generasi yang tak punya akal dan hati!"

Wajah pria itu memerah menahan amarah sekaligus malu akibat ucapan Zena yang telak menyindir dirinya.

"Saya mau keadilan," sahut Dirga. "Saya mau dia, cewek tak tahu sopan santun itu dikeluarkan dari sekolah ini."

Baru saja Dion akan menyanggah, Dirga sudah terlebih dahulu memotongnya. "Tak penting berapa pun biaya yang harus saya bayar, pokoknya saya mau anak ini dikeluarkan dari sekolah ini."

"Money can buy everything, right?" tanya Zena sarkastik. "Dan hanya orang bodoh dan gila harta yang menerima suap dari seseorang," sinis Zena pada Pak Kepsek.

Melihat perdebatan sengit itu Pak Kepsek hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan lalu diambilnya kertas yang sudah dipersiapkannya tadi. "Ini Surat Peringatan untuk kalian berdua."

"Kok anak saya juga? tidak bisa begitu dong," sahut Dirga kesal.

"Maaf Pak, ini sudah ketentuan dari pihak sekolah," ucap Pak Kepsek yang dibalas geraman kesal dari Dirga.

Setelah selesai dengan urusan yang tak berguna itu, Zena langsung saja keluar ruangan tanpa sepatah kata membuat Dion ikut menyusul nya.

"Zena," panggil Dion.

"Zena," panggil Dion sekali lagi namun tak ada jawaban dari Zena. "Dengerin Papa dulu Zena!"

Zena membalikkan tubuhnya dan menatap Dion malas.

"Sudah Papa peringatkan padamu Zena! Jangan bikin masalah dan jangan bikin Papa malu!"

Zena tersenyum sinis sekaligus miris. "Memangnya saya sudah berbuat apa hingga Anda merasa malu?"

"Dengan menonjok orang hingga babak belur, bukankah itu sebuah perbuatan yang memalukan?" tanya Dion.

Zena menghembuskan nafasnya. "Tak ada asap jika tidak ada api, saya berbuat seperti itu karena ada sebab dan akibat."

"Karena dia menyakiti sahabatmu, hm?" tanya Dion membuat Zena mengatupkan bibirnya. "Itu hanya masalah sepele Zena!"

"Masalah sepele Anda bilang?" geram Zena. "Anda tak akan mengerti apa yang saya rasakan saat ini, jadi jangan mengatakan apapun tentang saya kalau Anda belum benar-benar mengetahui seluk beluk hidup saya!"

"Papa tau apa yang kamu rasakan Zena karena kamu anak Papa."

"Anak?" Zena mendengus. "Bukankah hidup kita sudah masing-masing, lantas untuk apa Anda mencampuri urusan saya?"

"Karena aku Papamu Zena!"

"Papa saya sudah mati dan dia tak akan pernah hidup lagi."

Plak!

Zena meringis dan sedikit terhuyung saat merasakan tamparan Dion yang mengenai pipi kirinya. Zena menekan dadanya yang kembali berdenyut nyeri, sakit di pipinya tak sebanding dengan sakit di hatinya. Dan ini adalah tamparan untuk kesekian kalinya yang Dion berikan untuk Zena.

"Z-zen, Papa--"

Dion mengangkat tangannya yang kembali gemetar hebat, setiap kali ia melakukan hal yang serupa pada Zena. Kemudian pandangan Dion beralih pada Zena yang matanya tampak berkaca-kaca.

Zena memutar badannya, menahan untuk tidak menangis di hadapan Dion saat ini.

"Zen, Papa mohon kamu jangan marah sama Papa," ucap Dion dengan nada menyesal. "P-Papa janji gak akan ngelakuin hal itu lagi sama kamu. Papa minta maaf Zena."

Zena tersenyum getir, sudah tak terhitung lagi Dion mengatakan kalimat yang serupa itu padanya.

"Saya tidak marah kepada Anda, bukankah ini adalah hal yang sering Anda lakukan dulu?" ucap Zena menatap Dion sinis.

Dion terdiam, merasakan hatinya tertohok atas ucapan putrinya itu.

"Lebih baik Anda kembali ke rutinitas Anda sehari-hari, berkutat dengan ribuan kertas daripada mengurusi hidup saya yang tak berguna."

Dion mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dalam hatinya dia merasa kecewa dan marah disaat bersamaan.

"Ternyata takdir yang membuat kita jauh, Zena." Dion menghembuskan nafas saat melihat punggung Zena yang berlari menjauhi dirinya.

🍁🍁🍁

Zena mengernyit ketika dia mendengar seseorang meneriaki namanya. Namun dia menaikkan bahunya acuh, mungkin hanya perasaannya saja.

"Zena!"

Zena mendengus ketika melihat Zega yang berlari sembari mensejajarkan tubuhnya dengan Angkutan Umum yang ditumpangi Zena.

"Mang jalan aja," ucap Zena ketika melihat sang sopir yang akan memelankan laju mobilnya.

"Tapi neng--"

"Gak usah Mang, orang gila itu."

Sang sopir mengangguk dan tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.

Merasa diabaikan, Zega hanya bisa mendengus lalu dengan sekuat tenaga dia meraih pintu Angkutan Umum itu dan naik ke dalamnya.

Semua penumpang kecuali Zena menatap Zega marah sekaligus kaget karena yang dilakukan Zega itu bisa membahayakan nyawanya.

"Makasih ya bu udah mau perhatian sama saya, jarang-jarang loh saya diperhatiin kayak gitu," ucap Zega sembari mengedipkan matanya ketika salah satu ibu-ibu yang menegurnya.

Ibu itu menggeleng takjub. "Lagi berantem sama pacarnya ya? buktinya tadi si cowok gak boleh masuk sama si ceweknya."

Zena dan Zega saling bertatapan. Zena dengan wajah datar sedangkan Zega dengan senyum lebar.

"Iya nih bu, pacar saya emang kayak gitu, ngambekan," ucap Zega yang dibalas dengan injakan dari Zena.

Zega memekik sedangkan Zena mendengus dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Udah gitu pacar saya galak bu, ganas," bisik Zega yang masih terdengar oleh seluruh penumpang.

"Oh iya bu, cara bikin cewek biar gak marah lagi apa ya bu? Ibu kan pernah muda, jadi tau dong suami ibu dulu ngapain aja biar ibu gak marah."

Ibu itu mengangguk. "Dulu suami saya pernah ngajak saya makan malam, kek dinner gitu di tempat mewah, terus setiap hari dia kasih saya bunga."

"Lo mau gak gue kasih bunga?" bisik Zega pada Zena. "Bunga kamboja tapi."

Zega terkekeh ketika melihat raut wajah Zena yang memerah lalu dengan asal dia mengacak rambut Zena yang ditepis oleh Zena.

Sekali lagi Zega tertawa. "Lo lucu kalau lagi blushing."

🍁🍁🍁

Yuhu! Bab 12 up nih.

Ada yang kangen Zega? Zena atau Author mungkin? ;D

Komen ya biar fast update, wkwk

Di bab ini siapa yang paling ngeselin menurut kalian?

Galaksi?

Dirga? *ortu Gala

Dion? *papa Zena

Zena?

Atau justru Zega?

Kalau author sih kesel sama doi, yang udah peka tapi pura-pura gak peka;"(

Oke abaikan!

See you next part guys! Babai!😍

Repost 6 januari 2023

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 263K 60
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

552K 25.7K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
743K 39.3K 75
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
281K 33.9K 29
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...