Jevandra

Door tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... Meer

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Tiga Puluh Sembilan

50 5 4
Door tatattalgi

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Sialan lo, Jevan. Mati lo, Anjing!"

Bugh!

Tubuh Jevan melemah seiring pukulan terus didapatkannya. "Ozi, ada apa?"

Ozi, sang pelaku melepaskan kerah seragam Jevan yang ia cengkram. Maniknya menatap nyalang temannya yang menahan rasa sakit, sedetik kemudian ia menyeringai. Menatap orang di hadapannya layaknya singa yang menemukan mangsa.

"Ada apa?" beo Ozi diiringi kekehan pelan. "Bagaimana seorang anak jalang hidup dengan baik selama ini tanpa perasaan bersalah dan malu sedikitpun, heuh?"

"Selama ini saya diam saat kamu mengeluarkan banyak makian, tapi bukan berarti kamu bisa menghina bunda saya," sahut Jevan menyeka darah di sudut bibirnya.

"Bagaimana bisa lo sendiri nggak tahu semua kebusukan jalang yang lo panggil 'bunda'?"

Jevan bangkit dengan bertopang pada dinding. "Apa mau kamu, Ozi? Tiba-tiba saja menyeret saya ke gudang, hanya untuk menghina bunda saya."

"Bukan untuk menghina jalang itu, melainkan membunuh lo dan dia." Ozi berjalan mendekat. "Bahkan gue nggak perlu menyentuh, bisa saja di depan rumah lo terdapat mayat jalang yang ternyata nyokap lo."

Srekkk!

Jevan menarik kerah seragam lelaki yang tingginya hampir sama dengannya. Menatap dalam netra temannya seolah mengatakan bahwa ia tidak main-main dengan segala ucapannya. "Kesabaran saya juga ada batasnya, Ozi. Katakan dengan jelas, apa maumu?!"

"Gue ingin jalang itu mati, bangsat!" Dengan kasar Ozi menghempaskan tangan Jevan, lalu merapikan seragamnya. "Selama ini gue satu sekolah dengan anak dari seorang jalang yang berhasil menghancurkan keluarga gue."

Kedua mata Jevan membola. "Apa maksudmu?"

"Ah, bajingan ini belum paham juga." Lelaki dengan kalung yang bertengger manis di lehernya sebagai ciri khasnya tersenyum kecut seraya memalingkan wajahnya. Persekian detik, tatapannya berubah saat menatap wajah orang di depannya. "Wanita yang lo sayang adalah penyebab kehancuran keluarga gue, sialan."

"Bokap gue rela meninggalkan keluarganya hanya demi seonggok sampah seperti nyokap lo, anjing."

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Ozi terus memukuli Jevan tanpa ampun seolah orang di hadapannya adalah samsak yang biasa ia pakai untuk melampiaskan segala emosinya. "Bertahun-tahun bokap gue menyimpan jalang itu dan menikahinya tanpa sepengetahuan siapapun."

Bugh!

"Selama ini gue mencari keberadaan jalang yang bokap simpan dan berjanji akan membunuhnya," desis Ozi. "Tapi, bukankah kita harus bermain-main terlebih dahulu dengan anaknya? Membunuh siapapun yang berhubungan dengan jalang itu sebelum benar-benar membunuhnya."

Bugh!

"OZI!"

Keduanya mengalihkan atensi pada sumber suara. Di ambang pintu terdapat keempat temannya. Gaven lebih dulu maju melerai keduanya. Memapah tubuh lemah Jevan agar duduk di salah satu kursi yang tampak masih dapat digunakan.

"Masih kuat, kan?" tanya Gaven memastikan yang hanya dibalas anggukan oleh Jevan.

"Wah, gak bener nih bocah," celetuk Ettan.

"Lo ngapain ngehajar tuh anak sendirian?" tanya Daniel menarik tangan temannya yang hendak menyerang kembali.

Ayden menatap miris keadaan Jevan. "Kali ini kenapa lagi?"

"Bukan apa-apa."

"Lo nggak pernah emosi sampai lepas kendali mukulin anak orang. Pasti ada sebabnya," timpal Gaven.

"Kehancuran keluarga gue berawal dari nyokap dia," jawab Ozi membuang muka.

"Apa?" beo Daniel.

"Wanita sampah yang bokap gue nikahi tanpa sepengetahuan siapapun adalah nyokap dia." Tatapan benci Ozi layangkan pada orang yang terduduk lemah di kursi tak terpakai. "Keluarga gue hancur karena jalang itu."

Ayden memiringkan kepalanya guna mencerna semua perkataan orang di sekitarnya. "Itu artinya... kalian saudara tiri?"

Kedua mata Ettan terbelalak, lelaki itu lantas menginjak kaki temannya. "Sialan. Diam lo sebelum Ozi beralih ngebunuh lo, cil," bisiknya tajam.

"Gue kan benar," gerutu Ayden menahan ringisan.

Gaven memijit pelan pangkal hidungnya. Teman-temannya tidak bisa diam sehari saja untuk tidak mengusik ketenangan orang lain. "Lo nggak bisa menghakimi Jevan seperti ini, Ozi. Bukannya lo tahu bahwa dia tinggal bersama ayahnya, bukan dengan bundanya? Itu artinya hubungan Jevan dengan bundanya nggak baik."

"Seharusnya lo berpikir jernih sebelum mengambil tindakan," lanjutnya.

"Persetan dengan hubungan dia dengan nyokapnya. Gue akan membunuh jalang itu beserta keturunannya, termasuk dia." Ozi menatap nyalang ke arah Jevan. "Dan anak hasil perselingkuhan bokap gue dan jalang itu."

"Wow, Naksabandi memiliki penerus kedua," gumam Daniel terkejut.

"Keluar lo, anak jalang. Kita masih berbaik hati menyelamatkan nyawa lo," usir Ettan mengedikkan dagunya ke arah pintu gudang seolah mengusir Jevan.

Jevan yang mengerti maksud Ettan lantas mengangguk pelan seraya bangkit. Ia memusatkan pandangannya pada Ozi. "Semua opini yang kamu pikirkan, itu salah. Saya nggak tahu mengenai kehidupan bunda dan hanya tahu bahwa beliau telah memiliki dunianya yang jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Maaf atas semua kesalahan bunda saya terhadap keluargamu, Ozi."

Setelah itu, ia berjalan terseok menuju ke luar. Sesekali menyeka darah pada hidungnya yang terus mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya semakin melemah dan menjadikan dinding lorong sebagai tumpuan. Tak kuat dengan sakit yang semakin menyiksa tubuhnya, Jevan terpaksa menghubungi Louren untuk meminta bantuan.

"Saya berada di koridor arah gudang. Tolong saya, Louren," ujarnya lirih.

***

"Sekarang katakan, apalagi yang mereka lakukan kepada putraku?"

"Sepertinya anak dari keluarga Naksabandi mengetahui bahwa wanita itu adalah wanita simpanannya," jawab bawahannya.

Rama mengangguk pelan menatap hamparan rumput melalui kaca jendela ruang kerjanya. "Biarkan saja mereka ingin melakukan apapun, kita harus selalu memantaunya."

"Lantas, bagaimana keadaannya saat ini?" tanya pria yang tengah bersandar nyaman di sofa.

Varel mengulum bibirnya mencoba memahami pertanyaaan dari pria itu. Keadaan siapa? Pelaku atau korban? Terkadang kedua orang di hadapannya sulit dipahami isi pikirannya. "Ozi terlihat menemui guru-"

"Keadaan putraku, bodoh," maki pria itu pada Varel.

Rama mendengkus pelan, lalu berbalik dan menatap temannya itu dengan sengit. "Dia putraku, sialan."

"Saat ini berada di rumah sakit xxx, ruang VVIP, kamar nomor 02. Keadaannya sedikit memburuk, karena luka akibat insiden beberapa waktu lalu belum sepenuhnya sembuh. Nona Louren berada di rumah sakit dan mengurus semuanya. Saya sudah mengerahkan beberapa anak buah untuk berjaga di rumah sakit. " terang Varel.

"Baiklah, saya akan menyusulnya," putus Rama.

"Saya akan ikut," timpal pria itu.

"Jangan merusak rencana, bodoh," ujar Rama sinis.

"Maaf, Tuan. Ada laporan yang belum saya sampaikan," ujar Varel saat hendak meninggalkan ruang kerja Rama.

"Katakan," ujar Rama.

"Nona Louren melaporkan bahwa kemarin putra dari keluarga Alresco memukuli tuan muda Jevan di depan loker," lapornya. "Saat nona Louren bertanya, tuan muda hanya mengatakan bahwa ia terjatuh hingga punggungnya sakit."

Ctak!

Sebuah bolpoin mendarat sempurna di pelipis Varel membuat sang empu memejamkan kedua matanya. Ayolah, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa dirinya lagi yang terkena sasaran kekesalan orang sekitar? Jika saja tidak membutuhkan uang, Varel akan resign dari pekerjaannya. Dirinya tidak ada harganya sebagai manusia yang berakhlak terpuji di mata atasannya.

"Haruskah menunggu laporan dari Louren? Pantau semua kegiatan Jevan selama di sekolah melalui cctv," ujar lelaki yang tadi melempar bolpoinnya ke arah tangan kanannya.

Varel mengangguk samar. "Baik, Tuan. Namun, beberapa hari ini cctv tengah diperbarui-"

"Pilih cctv yang paling bagus dan percepat pemasangannya. Jika perlu pasang juga di gudang dan toilet laki-laki."

Pria yang tengah berdiri membelakangi jendela menatap horor ke arah sumber suara. "Sialan, otakmu harus benar-benar dibersihkan."

"Hanya untuk menjaga Jevan dari kemungkinan buruk yang akan terjadi," jawabnya santai.

Rama menggeleng pelan, jalan pikiran temannya sangat sulit dipahami. Atensinya kini kembali pada Varel. "Lalu, Jevan menceritakan semuanya pada Louren?"

"Saat nona Louren bertanya, tuan muda hanya mengatakan bahwa ia terjatuh hingga punggungnya sakit," jawab Varel. "Beruntungnya salah satu siswa melihat kejadian itu dan melaporkannya pada nona Louren."

"Anak itu terlalu baik hingga membuat orang mudah mempermainkannya," desis pria dengan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Tangannya merogoh saku jas mahalnya, mengutak-atik sebentar kemudian mendekatkan ke Telinganya. "Batalkan segala bentuk kerja sama dengan perusahaan Alresco sekarang."

"Lihat, pria sombong ini sangat cepat mengambil langkah," sindir Rama setelah temannya itu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.

"Lihatlah keadaan Jevan saat ini, Rama. Aku harus mengurus sesuatu bersama Varel." Pria itu bangkit dan berjalan meninggalkan ruangan Rama diikuti Varel.

***

"Gue tahu lo semua nggak akan melakukan hal sampah seperti ini," ujar Ayden membuka suara. "Tapi apa mungkin di antara kita ada yang melakukan hal seperti ini?"

"Lo nuduh kita?" tanya Litha tepat sasaran.

Ayden menghela napas pelan seraya menumpukan kedua tangan pada kakinya. "Bukan seperti itu. Menurut gue, teror sampah itu hanya kita yang mendapatkan. Atau mungkin... dari kita ada yang belum mendapatkan teror itu?"

Setelah kejadian di gudang sekolah, Gaven meminta semuanya berkumpul di ruangan yang berasa mereka pakai guna membahas hal tadi dan teror yang didapatkan Heera semalam. Gadis cantik itu menceritakan teror yang didapatkannya pada Gaven tanpa melewatkan sedikitpun. Lelaki itu segera mengumpulkan semua temannya guna membahas banyak hal yang terjadi pada mereka.

"Gue," ujar Ayden. "Gue belum mendapatkan teror, tapi gue bukan pelakunya."

Daniel memicingkan matanya menatap Ayden dengan pandangan tak yakin. "Nggak mungkin sih bocil manja ngelakuin hal itu."

"Diam lo, playboy," desis Ayden menatap temannya penuh dendam.

"Oke, anggap saja kita semua sudah mendapatkan teror itu meskipun sebagian dari kita belum mendapatkannya. Entah itu teror apa, gue yakin pelakunya orang yang sama," tutur Ayden.

"Mungkinkah Jevan?" Gaven sendiri tampak tak yakin dengan ucapannya. "Dari banyak kejadian aneh, bisa saja Jevan ingin balas dendam atas perundungan yang dia terima."

"Bedebah satu itu nggak mungkin melakukan hal ini," bantah Ettan. "Dia nggak sebanding dengan kita semua."

Heera mengangguk setuju. "Kalaupun dia ingin balas dendam karena diperlakukan buruk, mengapa hanya kita?"

"Karena lo semua merisak Jevan sangat sadis," jawab Gaven tenang.

"Bukan, bukan anak jalang itu," ujar Ozi lirih. "Ayden pelakunya."

Lelaki yang disebut namanya lantas mengalihkan atensinya dari boneka berbentuk orangutan di pelukannya. "Lo nuduh gue? Atas dasar apa lo nuduh gue tanpa bukti?"

"Lo belum mendapatkan teror itu. Lagi pula, gue paham dengan sifat lo, Ayden." Tatapan Ozi kian menajam. "Lo pandai memanipulasi banyak orang dengan tingkah kekanakan yang lo buat sedemikian rupa, licik."

"Ozi, jangan gegabah," peringat Gaven. "Jangan asal menuduh seperti itu. Bagaimana kalau nantinya lo yang dituduh?"

"Jika kejadian serupa terjadi lagi, cepat beritahu kita semua," lanjutnya memberi pesan. "Jangan ada yang mencoba menutupi."

Delapan orang tersebut termenung. Memikirkan kemungkin yang akan terjadi kedepannya. Terasa janggal dengan kejadian yang selalu menimpa mereka berturut-turut. Lantas, apa lagi yang akan dilakukan peneror itu?

***

Manik mata hitam pekat itu mengerjap pelan. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan tempatnya berada seraya mencoba duduk. Ia meringis pelan saat berusaha menggerakkan mulutnya. Luka pukulan di wajahnya sudah diobati, tapi rasa sakitnya bukan main.

"Sudah bangun?" tanya seseorang yang baru saja membuka tirai.

"Lo-Louren," ujarnya pelan.

"Kali ini apalagi, Jevan? Ingin berbohong lagi kalau lo jatuh?"

Jevan, lelaki itu tersenyum tipis seraya menyentuh pinggangnya yang terasa nyeri. "Terima kasih sudah membawa saya ke rumah sakit."

Gadis bermanik coklat itu tampak merotasikan kedua bola matanya. "Gue sudah menghubungi ayah, beliau-"

"Mengapa kamu memberitahu om Rama?"

"Ayah gue akan menjadi wali lo mulai sekarang," jawab Louren.

"Tapi, kenapa mengambil keputusan tanpa-"

"Kita nggak perlu menunggu jawaban lo, Jevav," potong Louren menarik kursi di samping ranjang pesakitan, lalu mendudukkan dirinya. "Katakan dengan jujur, diantara kelimanya siapa yang berani menghabisi lo?"

Jevan menghela napas pelan. "Louren-"

"Ozi." Lagi, Louren memotong ucapan Jevan. Gadis itu meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri seraya menatap kuku tangannya. "Nggak perlu menutupi apapun, gue tahu semuanya."

"Dia melakukan hal itu karena ada alasannya, Louren," ujar lelaki itu menautkan jemarinya.

"Apapun itu, semua harus mendapat balasan yang sama."

"Louren," panggil Jevan pelan. "Mengapa kamu membantu saya sejauh ini?"

"Lo teman gue."

"Bukan itu jawaban yang saya mau, Louren," ujar Jevan pelan.

Gadis itu mengedikkan bahunya acuh. "Lalu, jawaban apa yang lo harapkan? Alasan gue membantu lo karena ingin menjadi superhero, begitu?"

"Ada seseorang yang menyuruhmu?"

"Ya, ibaratnya lo berlian berharga bagi dia."

"Siapa?"

"Belum saatnya." Louren membuang pandangannya. "Mengenai Naren-"

"Mengapa kamu selalu membicarakan Naren?" potong Jevan.

Gadis itu menghentikan kegiatannya memainkan jari lentiknya. "Pelaku penusukan Naren berada di kelas yang sama dengan kita."

Jevan terdiam. Mencerna semua perkataan Louren yang berhasil membuatnya terkejut. "Siapa?"

"Entahlah, gue juga sedang berusaha mencari." Louren meraih buah di atas nakas. Bawahan ayahnya sempat membawakan buah. "Bekerjasamalah demi ketenangan Naren dan nama baik lo sendiri, Jevan."

"Setelah semuanya selesai, lo akan mendapatkan sebuah hadiah yang selama ini lo inginkan."

Kening Jevan mengernyit. "Hadiah?"

"Ayah lo," ujar Louren menikmati wajah terkejut temannya. "Terlalu cepat rasanya memberitahu lo, tapi ini agar lo nggak bungkam tentang semua hal yang menyangkut Naren."

"Ayah saya? Ayah kandung saya?" beo Jevan. "Katakan, dimana ayah saya saat ini?"

"Ayolah, sudah cukup gue memberikan clue. Jangan meminta lebih," ujar Louren malas.

Jevan menggenggam tangan Louren dan menatap gadis itu dengan tatapan memohon. "Katakan, dimana ayah kandung saya?"

"Ayah di sini, Jevan."

***

Ayah kandung Jevan muncul?

Main tebak-tebakan lagi, yuk.

Halo, apa kabar semua?
Jaga kesehatan dan selalu bahagia, ya🍓

Semua informasi dan lain-lain ada di medsos Tata, follow yuk.

Instagram : @tatattalgi
@weekendtata
Tiktok : @weekendtata

Selalu berikan cinta dan dukungan kalian dengan vote dan comment.
Terima kasih banyak🍓

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

289K 13.1K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
2.7M 274K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
4.1M 317K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.7M 121K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...