Ketukan jari telunjuk memecahkan keheningan di dalam pesawat, entah sudah keberapa kali laki-laki yang menggunakan jaket denim itu menghela napas. Pada tengah malam di hari itu juga, keluarga Daniel memutuskan berangkat ke Singapura untuk mendapatkan pengobatan. Bahkan, keluarga Revina tidak mengetahui keberangkatan mendadak ini. Hanya Azriel dan Arman yang baru dikabari Daniel.
Pikiran cowok itu terpecah menjadi dua. Di satu sisi memikirkan kondisi mamanya yang memburuk, sementara yang lain mengkhawatirkan Revina. Ia berdecak kesal saat lagi-lagi tak bisa berhenti berpikir di mana dan bagaimana kondisi gadis yang disukainya. Padahal sudah dilaporkan ke polisi, tetapi hasilnya tetap saja belum ditemukan.
Sebelum pesawat lepas landas, Gusti sempat menelponnya dan mengatakan bukan papa Maria yang menculik Revina. Mereka sudah mencari di seluruh rumah, kantor, dan memberanikan diri bertanya langsung. Namun, sepertinya Ferdi menjawab dengan jujur, pria itu tampak tak tahu apa-apa.
"Na, lo di mana, sih? Gue khawatir," gumam laki-laki itu.
Tanpa sadar setetes air matanya menetes, tetapi langsung dihapus dengab kasar. Giginya dikatup rapat agar tidak ada lagi tetesan berikutnya, laki-laki itu merasa campur aduk di dalam perasaannya. Beruntung ia memesan kelas bisnis, setidaknya sedikit lebih berprivasi. Pembatas duduk antara ia dan papanya sudah dinaikkan sejak awal, sehingga Jason tak perlu melihat kondisinya yang sudah seperi orang gila.
Pemberitahuan mereka akan sampai terdengar di seluruh pesawat, Daniel segera mengemaskan barang-barangnya dan mengeluarkan kacamata hitam. Laki-laki itu malu karena matanya masih memerah meski tidak menangis, belum lagi tadi ia sempat tidur saat baru berangkat. Kondisi wajahnya sedang tak sedap dipandang, terlalu lesu dan acak-acakan.
"Kamu langsung ke rumah aja, Niel. Papa mau ke rumah sakit bawa mama. Besok kita gantian. Langsung istirahat, jangan main game atau begadang pokoknya!" perintah Jason pada anak tunggalnya.
"Iya, Pa."
Keluarga Narendra memang memiliki sebuah rumah di sini. Awalnya hanya sekadar iseng untuk mereka melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi lama kelamaan Jason sering mendapat pekerjaan di Singapura sehingga lebih memudahkan daripada harus tinggal di hotel. Sebuah mobil yang tak asing di mata Daniel sudah menunggu di parkiran bandara, sementara orang tuanya langsung naik ambulans untuk pergi ke rumah sakit.
"Mau langsung pulang, Niel?" tanya supir pribadi keluarganya di sini.
Hanya dehaman yang keluar dari mulut Daniel, ia benar-benar sudah lelah. Kepalanya mulai pusing sejak turun dari pesawat, apalagi sudah beberapa hari ini tubuhnya jarang beristirahat. Belum lagi mulai besok laki-laki itu harus bergiliran menjaga mamanya di rumah sakit, pasti akan lebih melelahkan. Akhirnya, ia memejamkan mata setelah mengatur posisi duduk agar lebih nyaman untuk tidur.
"Pak, bangunin kalau udah sampai!"
•°●°•
Selepas kepergian Daniel, Azriel masih melanjutkan pencarian. Namun, saat ini ia sedang beristirahat sebentar di kafe yang buka 24 jam. Ia membutuhkan kafein untuk tetap sadar, lagi pula hampir seluruh daerah sudah dijelajahi dan tidak ada tanda-tanda Revina.
Laki-laki itu meraih ponsel yang diletakkan di atas meja, lalu menghubungi Arman. Hanya saja sampai deringan ketiga tidak ada sambutan apa pun dari sahabatnya. "Sialan, gue capek-capek kayak gini dia malah enak-enakan tidur," gerutu Azriel.
Diliriknya jam yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi, harusnya Daniel sudah sampai di Singapura. Niat yang awalnya ingin menghubungi laki-laki itu mendadak hilang saat teringat jika sahabatnya yang satu ini membutuhkan istirahat lebih. Baru saja ingin mencari orang lain yang bisa dihubungi, chat WhatsApp dari Daniel masuk.
Daniel
Ketemu?
03.14
Belom, nyaris nyerah gue. Capek banget.
03.14
Mas Gus bilang bokap Mbak Mari gak terlibat. Gue gak yakin. Mustahil dia gak dendam sama Nana setelah apa yang dilakuin beberapa waktu lalu. Lagian, siapa lagi yang bisa kita curigain?
03.15
Bener juga, terus kita harus gimana?
03.15
Gue baru inget, ada kamera dashboard. Coba suruh Mas Gus yang periksa, mungkin kita dapet petunjuk. Kalau bokap Mbak Mari terlibat, pasti dia bakal turun juga. Mobilnya cuma satu, kan? Gak ada kemungkinan ganti mobil, kecuali pakai plat palsu.
03.17
Oke, gue kabarin Mas Gus.
03.17
Lo masih di luar?
03.17
Yap
03.17
Pulang! Tidur!
03.18
Iya, ntar gue pulang. Habis ini.
03.18
Chat terakhir darinya hanya dibaca oleh Daniel. Jika dibalas lagi, bisa-bisa mereka tidak selesai sampai pagi menjelang. Lagi pula inti dari percakapan itu sudah tersampaikan. Jadi, sekarang Azriel tinggal menghubungi Gusti untuk menyampaikan pesan Daniel. Ia berharap kali ini tidak ditinggal tidur.
"Ah, thanks, God. Akhirnya, ada yang ngangkat telepon gue," ucap Azriel lega gara-gara Arman tadi sempat tak mengangkat teleponnya.
"Kenapa, Riel?" tanya Gusti di balik telepon.
Awalnya Azriel ragu untuk meminta tolong pada Gusti seperti perintah Daniel, bahkan sempat terlintas ingin menyewa orang lain saja. Hanya laki-laki itu yang bisa dekat dengan keluarga Maria, meskipun ia sudah tahu jika bukan Ferdi pelakunya. Namun, saat membaca chat dari Daniel, ada firasat lain yang mengatakan sedikit banyak pria licik itu terlibat.
"Boleh minta tolong gak, Mas Gus?" tanya Azriel balik.
Cukup lama Gusti tak menjawab pertanyaan Azriel, bahkan cowok itu sempat mengkhawatirkan jika teleponnya ditinggal tidur. Sampai menit ketiga, barulah Gusti kembali menyahut, "Maaf, maaf, tadi lo bilang apa?"
Dahi Azriel mengerut saat suara dentuman musik terdengar dari sambungan telepon. Pastinya bukan di tempat biasa mereka nongkrong karena dari aliran musiknya sudah berbeda. Anak-anak klub jurnalis biasa berkumpul di kafe yang ada live music, bukan suara dugem seperti ini. "Bentar, lo di mana, deh, Mas? Kok, kedengerannya rame?" Tak mungkin Gusti sedang berada di kamarnya, bisa-bisa didatangkan satu kos-an karena membuat keributan di jam orang ingin istirahat.
"Lagi ngumpul sama temen jurusan. Gue gak bisa balik, ada Maria di kamar," jawab Gusti.
Sekarang suaranya sudah tidak seramai tadi, mungkin seniornya itu keluar atau pergi ke toilet agar tak terlalu mengganggu. Azriel sempat menimbang apakah ia harus berbicara dengan Gusti langsung di sana atau tetap lewat ponsel. Namun, niatnya yang ingin menghampiri lenyap saat membayangkan jika Daniel tahu. Pergi ke tempat Gusti berada sekarang, pasti tak hanya membuat Azriel duduk menyesap kopi.
"Boleh minta tolong gak, Mas Gus?" tanya Azriel sekali lagi.
"Minta tolong apa?"
"Cek CCTV mobil bokapnya Mbak Mari. Daniel bilang harusnya mobil orang penting kayak gitu punya kamera dashboard buat jaga-jaga."