Two Side

By fatasyaa19

628 186 76

Kematian secara misterius salah satu dosen membuat anak-anak jurnalistik tergerak untuk mencari tahu penyebab... More

Bab 1 | Ada Pembunuhan?
Bab 2 | Siapa korbannya?
Bab 3 | Korban diketahui
Bab 4 | Dibalik sikap Maria
Bab 5 | Mencurigakan
Bab 6 | Paket?
Bab 7 | Jadinya, salah siapa?
Bab 8 | Terungkap
Bab 9 | Menyusun Strategi
Bab 10 | Gara-gara Sisil
Bab 11 | Berhasil
Bab 12 | Posesif
Bab 13 | Siapa sih, kamu?
Bab 14 | Masa Lalu Gilang Pramudi
Bab 15 | (Bukan) Penyesalan
Bab 16 | Kamu kah, itu?
Bab 17 | Lagi
Bab 18 | Cemburu buta
Bab 19 | Ayo spill
Bab 20 | Penyelidikan
Bab 21 | Diculik
Bab 22 | Mencari Revina
Bab 23 | Berlanjut
Bab 24 | Mendapatkan bantuan
Bab 26 | Orang dekat
Bab 27 | Dilema
Bab 28 | Apa dia orangnya?
Bab 29 | Praduga
Bab 30 | Petunjuk
Bab 31 | Dalang
Bab 32 | Usaha Pelarian
Bab 33 | Akhirnya...

Bab 25 | Menemukan jejak

11 4 2
By fatasyaa19

Lelaki yang memiliki tinggi hampir mencapai dua meter itu, berdiri menjulang di hadapan seseorang yang berkutat dengan segala peralatan komputernya hingga menutupi kedua telinganya menggunakan headphone sebesar gaban.

Saat melihat kedatangan seseorang yang ia tunggu, kursi yang dudukinya pun berputar, hingga menghadap langsung ke arah orang itu. Senyumnya merekah sempurna tatkala mendapati riak kusut dari wajah yang selama ini bersikap tak acuh dengan perang dingin--yang menyeret orang di sekitar mereka--turut merasa gerah karena keras kepala dua orang yang berselisih paham itu.

Setelah puas mengamatinya, ia pun berpaling pada layar satu hasta setengah di depan. Kemudian mengklik beberapa opsi, lalu terdengarlah suara dari mesin percetakan di sebelahnya, mengeluarkan beberapa gambar yang hendak ia tunjukkan. Semburat senyum kemenangan pun tak luput menghiasi wajahnya yang masih membiru, bekas perkelahiannya pekan lalu.

“Jadi, hanya ini yang bisa lo kasih sebagai tutup mulut itu?”

Laki-laki yang baru datang itu berdecih, meremehkan kemampuan. Ia kira akan mendapatkan apa yang ada di luar prediksinya. Namun, apa mau dikata. “Mengecewakan.”

“Wow, selow, dude!” Laki-laki dengan headphone yang diturunkan dan menggantung di leher, kembali menunjukkan lembar baru--yang sudah mencetak gambar lain. “Lo lihat ini, kan? Mereka memang menculik gadis kesayangan lo.”

Umpan berupa pemantik amarah itu harus ia tahan bulat-bulat. Manik matanya menatap rangkaian gambaran yang ditunjukkan dari sudut CCTV salah satu rumah. Ia tak perlu ragu dengan kemampuan sepupunya ini. Selain karena latar belakang kuliahnya, alat penunjang serta koneksi yang laki-laki itu miliki, kemampuannya memang tak main-main.

Rahang Daniel mengeras hingga memperlihatkan uratnya yang tegang. Gambar yang ditunjukkan, malah membuat amarahnya kembali ke ubun-ubun. Ia meremas kertas yang dipegang. “Bajingan ini nggak punya namanya rasa kapok.” Lalu atensinya teralihkan pada Arman.

Laki-laki itu kembali disibukkan dengan bahasa pemprograman yang kurang ia pahami. Sejurus kemudian, Arman menunjukkan sebuah video dari CCTV--di mana perlawanan yang dilakukan Revina--sebelum detik penculikan itu terjadi.

“Mereka main keroyokan, Bro!” sorak Arman saat melihat gerombolan keenam itu menyergap Revina dari berbagai arah.

Arman yakin, kalau lawan Revina satu lawan satu, pasti setidaknya gadis itu mampu memberikan tinjunya. Namun sayangnya, kali ini gadis itu punya nasib yang malang.

“Sialan! Giliran masalah kayak gini aja, mereka lebih cepat daripada yang gue kira.”

Umpatan itu berasal dari penghuni baru--datang bersamaan dengan membawa dua bungkus plastik berukuran besar--hingga menimbulkan bau tak sedap.

Ruangan yang mampu menampung puluhan orang dengan sedikitnya ventilasi udara dan minimnya pencahayaan itu makin pengap suasananya. Belum lagi, karena aroma mengeringkan yang dibawa masuk oleh lelaki satu itu, makin meracuni oksigen mereka.

“Bajingan gila satu ini,” geram Daniel, “Bukankah gue udah bilang, kalau lo sebaiknya hilangkan sikap sembrono itu, huh!” Ia menerjang kedatangan Azriel yang tangannya sudah kotor dengan warna merah kental.

“Orang gila, teriak gila,” cibir Azriel tanpa segan. Ia berusaha melepaskan cekalan Daniel pada kerahnya, tetapi sia-sia saja. Sosok laki-laki itu malah menatapnya murka. “Baiklah, gue kalah,” akunya kemudian.

“Tapi ini juga salah mereka yang tutup mulut!” bantah Azriel. “Daripada mereka hidupnya nggak berguna, lebih baik kita kirim potongan tubuhnya sebagai ancaman, bukan?”

Daniel menggelengkan kepalanya. “Sinting lo!” Lalu melepaskan cengkeramannya dengan membantingkan tubuh Azriel ke lantai, sekaligus pelampiasan amarahnya.

Beruntungnya samsak hidup itu masih utuh. Ia mengusap pinggang yang terasa nyeri kemudian melakukan high five dengan Daniel.

Arman yang berlaku sebagai pengamat, hanya menyaksikan kelakuan mereka tanpa peduli dengan permasalahan dua itu. “Kalau mau gelud, di luar. Gue paling males harus bersihin lantai yang kotor.”

Perkataan itu sekaligus menyindir kelakukan Azriel yang baru saja mengotori lantai ruangan tempatnya kerja dengan bercak kecoklatan, bercampur dengan cairan amis yang menyengat hidung.

“Gue nggak peduli dengan hobi aneh lo, Nyet,” kata Arman. “Tapi, kalau lo terus bersikap semaunya, bukan hanya lo yang bakalan ketahuan, kita semua bakalan habis.”

“Emang dari mana lo?”

Pemilihan topik lain itu, benar-benar seperti bukan Daniel yang ia kenal. Arman pun mendengkus. Ia membiarkan Daniel untuk menginterogasi Azriel.

Azriel menarik kursi di dekat pintu dan menyeretnya hingga ia duduk dekat kedua orang itu. “Belakang kampus,” ungkapnya sambil lalu.

“Terus, siapa yang lo bawa itu?”

“Yah, bisa dibilang kalau mereka,” Azriel mengisyaratkan lewat dagu pada tumpukkan gumpalan yang terkumpul dalam dua plastik hitam itu, “salah satu saksi mata yang melihat penculikan Revi.”

“Anjing!”

“Lo seharusnya tanya-tanya dulu kek. Bukan main asal libas sendiri, Nyet!”

Azriel menggosok kupingnya karena panas dengan umpatan yang layangkan oleh kedua temannya itu. “Marahnya satu, satu! Pusing gue,” keluhnya. Ia mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Selow. Gue juga masih sayang nyawa. Jadi, nggak bodo-bodo amatlah.” 

Ia merogoh salah satu saku pada celananya. Lalu memberikannya pada Daniel yang sudah menatapnya seperti singa menemukan mangsanya. “Gue juga punya hadiah yang jauh lebih baik dari yang Arman kasih barusan.”

Kunci motor dengan gantungan boneka keju di ujungnya. Sebagai turofili, yang menggilai berbagai olahan makanan berbahan dasar keju, tentu saja Daniel sangat mengenali boneka pemberiannya yang ia hadiahkan pada Revina beberapa tahun lalu, saat mereka berada di masa putih-biru dulu.

Pandangan Daniel teralihkan pada benda kedua yang diberikan oleh Azriel. Gumpalan kertas yang sudah kotor dengan campuran tanah dan merah darah, tetapi tak membuat isi surat itu berubah. Tulisan yang amat ia kenali pun masih sempat terbaca jelas.

Gue mohon jangan datang. Bahaya. Tolong kasih tahu pihak kepolisian tanpa libatin Niel. Gue nggak mau laki-laki itu terlibat dalam masalah ini dan membuatnya makin menderita.

Daniel mengumpat seraya mengepalkan tangannya yang meremas kertas temuan Azriel--bagaikan tulisan dokter--dan ia yakini kalau gadis itu menulisnya dengan terburu-buru. Dan, entah mengapa dapat ditemukan oleh orang seperti Azriel.

Gadis bermuka tak ramah yang saat ini sedang perang dingin dengannya, malah mengkhawatirkannya? Daniel menertawakan masa lalu mereka. Hanya karena gadis itu mengingat bagian dalam hidupnya, membuat Daniel semakin berkeinginan merampas kebebasan Revina. Ia ingin agar Revina hanya bisa bergantung padanya. Bukan pada orang lain!

Sebuah senggolan pada bahunya, menyadarkan Daniel dari fantasi liarnya. Ia menoleh pada Arman yang memperlihatkan tanda merah pada layar komputernya. Simbol itu berkedip, menunjukkan tanda keberadaan Revina yang terlacak.

Sementara itu, terdengar decakan kekaguman dari Azriel yang memberikan Daniel tepuk tangan heboh. “Woah, gue nggak nyangka kalau lo segitu posesifnya sampai masang alat pelacak pada ponsel Revi.” Ia tersenyum jenaka sambil mengusap dagu, menggoda sang lawan bicara. “Jangan-jangan lo juga nyadap hape Revi juga, kan? Atau... lebih dari itu. Kira-kira, hal gila apa lagi yang lo lakuin ke Revi tanpa sepengetahuan gadis itu, hm?”

“Bacot lo!” Daniel tak mengubris perkataan Azriel. Ia mengibaskan tangan agar laki-laki itu menyingkir dari pandangannya. Lalu, menepuk bahu Arman. “Thanks. Gue cabut dulu.”

Pamitan Daniel dibalas acungan jempol oleh Arman. Kemudian saat ia teringat sesuatu, ia pun menghentikan langkah Daniel yang keluar dengan terburu-buru. “Gue rasa, lo lebih butuh mesin pembunuh itu daripada gue.”

Pandangan Daniel yang menyiratkan penolakan pun bergulir pada sosok Azriel yang tampaknya kegirangan ketika memperkirakan jawaban Daniel.

“Terserah!”

Bukan sejenis penolakan. Laki-laki itu pun merangkul pundak Daniel setelah melambai-lambai pada Arman untuk pamit.

Namun, belum genap langkah mereka menuju parkiran, tangannya sudah ditepis oleh Daniel. Laki-laki itu memberikan peringatan padanya dengan kesungguhan.

“Jangan mengacau!”

Ayeay, siap! Lo tenang aja. Udah lama gue nggak pemanasan.” Ia berkata jumawa, “Bukankah ini akan lebih menyenangkan daripada mencincang ikan teri? Ikan hiu tentu lebih menarik dan menantang.”

Continue Reading

You'll Also Like

16.3K 1.7K 9
# ONGOING Jake Shim adalah siswa yang baru saja pindah ke Future Perfect High School. Ia menyadari bahwa kelas yang ia tempati sekarang terlihat begi...
MONSTERS? By rachel

Mystery / Thriller

3.3K 214 20
" Aku membutuhkan darahmu sayang, untuk hidup ku " - monsters. *** Di malam hari, banyak manusia yang menghilang karena muncul suara seruling yang t...
557K 84.9K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...
1.3M 94K 58
⚠️SEBAGIAN PART TELAH DI PRIVAT, FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBUKANYA⚠️ [Sedang dalam masa pengembangan cerita dan Revisi] "Heh kuman!" panggil se...