Two Side

By fatasyaa19

628 186 76

Kematian secara misterius salah satu dosen membuat anak-anak jurnalistik tergerak untuk mencari tahu penyebab... More

Bab 1 | Ada Pembunuhan?
Bab 3 | Korban diketahui
Bab 4 | Dibalik sikap Maria
Bab 5 | Mencurigakan
Bab 6 | Paket?
Bab 7 | Jadinya, salah siapa?
Bab 8 | Terungkap
Bab 9 | Menyusun Strategi
Bab 10 | Gara-gara Sisil
Bab 11 | Berhasil
Bab 12 | Posesif
Bab 13 | Siapa sih, kamu?
Bab 14 | Masa Lalu Gilang Pramudi
Bab 15 | (Bukan) Penyesalan
Bab 16 | Kamu kah, itu?
Bab 17 | Lagi
Bab 18 | Cemburu buta
Bab 19 | Ayo spill
Bab 20 | Penyelidikan
Bab 21 | Diculik
Bab 22 | Mencari Revina
Bab 23 | Berlanjut
Bab 24 | Mendapatkan bantuan
Bab 25 | Menemukan jejak
Bab 26 | Orang dekat
Bab 27 | Dilema
Bab 28 | Apa dia orangnya?
Bab 29 | Praduga
Bab 30 | Petunjuk
Bab 31 | Dalang
Bab 32 | Usaha Pelarian
Bab 33 | Akhirnya...

Bab 2 | Siapa korbannya?

59 10 4
By fatasyaa19

Pernyataan Sisil membuat seisi ruangan jadi senyap. Pikiran para senior mengarah untuk memanfaatkan peluang agar klub Jurnalis diakhir masa jabatannya, tidak dihapuskan. Sementara dua berandalan yang mengungsi ke klub dengan tujuan terbebas dari kewajiban memasuki salah satu klub selama kuliah, hanya menjadi penyimak yang memboroskan oksigen di ruangan tersebut.

Lain halnya dengan kelakuan Azriel dan Niel yang memilih bergosip tentang kekalahan tim jagoan mereka yang kalah saing dalam laga sepak bola piala presiden kemarin, Revina menatap Sisil sambil menopang dagu dan berkata, “Lo pikir, klub kita ini bakalan jadi pelopor Lambe Turah kampus?” tanyanya sarkas.

“Anjir, si Revi!” Azriel tertawa nyaring saat mendengar ucapan Revina yang punya kebiasaan bermulut pedas. “Nyebut lo, ngebut!” katanya yang belum bisa menghentikan tawanya.

Niel yang satu komplotan dengan Revina, dengan titel 'sohib sepopok', menimpali perkataan gadis yang diklaim akan menjadi Ketua Jurnalis, menggantikan posisi Gusti semester depan. “Sisil maunya bikin channel gosiper kali.” Ia sengaja mengompori Sisil yang sekarang ini sudah bermuka mendung.

Maria menepuk jidat dengan sesekali memaki kelakuan para juniornya. Bisa-bisanya mereka bekerja sama dalam menindas orang. “Kalian itu  ... ah, lupakan!”

Sementara tersangka yang dinistakan, menghampiri Gusti dan mengadu pada sosok yang dianggapnya sebagai 'kakak' milik bersama. “Mas Gus, lihat, ‘kan, kelakuan setan-setan itu? Udahlah, blacklist mereka dari klub. Biar mereka kena ospek lagi tahun depan,” ungkap Sisil dengan memasang muka memelas. Namun, bukannya bikin orang-orang mengasihinya, malah makin semangat untuk menistakannya.

“Ngadu, ngadu bisanya,” cibir Azriel.

“Udah-udah, jangan berantem lo pada,” lerai Gusti yang mencoba menengahi.

Sisil menjulurkan lidahnya pada Azriel tanpa malu. Kepalanya masih pusing akibat kuis, kemudian datang ke klub dengan semangat berkobar, tetapi teman tidak tahu diuntungnya malah kompak sekali untuk mengejeknya.

Ugh, dasar titisan dedemit! rutuk Sisil dalam hati.

Revina berdeham, membuat kelima manusia yang menyumbang karbondioksida di ruangan makin banyak, menoleh padanya. “Maksud gue gini lho, Sil.” Ia hendak menjelaskan, takut-takut Sisil jadi salah paham, karena anak itu meskipun enerjik dan ekspresif, memiliki kelambatan dalam menerjemahkan keadaan. Syukur-syukur gadis berambut sepinggang itu berada di Jurusan Desain Kreatif, bukan nyasar di rumpun saintek.

“Jurnalis itu, kita-kita ini,” Revina menunjuk kelima orang dalam ruangan secara bergiliran, “Mempublikasikan fakta. Inget, lho. Fakta, Sisilia Sayang. Kalau berdasarkan yang lo punya, meski ada rekamannya, kita nggak tahu mayatnya siapa, dan bahkan foto mayatnya itu nggak lo punya, ‘kan?”

Maria yang sedari menyimak, kali ini menambahkan perkataan Revina. “Nah iya, betul kata Revi. Kita nggak bisa sembarangan 'oke'-in berita ini, abis itu kita sebar gitu aja.”

“Bisa-bisa kita malah nyebarin hoaks, bukannya fakta,” cibir Niel yang sepertinya punya dendam kesumat untuk membuat Sisil nelangsa.

“Niel, ih!” Sisil mendelik kesal pada laki-laki Jurusan Teknik itu. “Awas, ya, kalau besok-besok di jurusan lo pada ribut-ribut soal ini,” ancam Sisil.

“Oke, siapa takut!”

“Oke, guys, attention!” Imbauan Gusti membuat atensi mereka tertuju padanya. “Kumpulan hari ini sampai sini dulu, ya. Thank's untuk saran-sarannya. Sisil terutama.” Mata Gusti bergulir pada Sisil yant tersenyum seraya mengacungkan kedua ibu jarinya untuk Gusti.

“Selagi belum ada konfirmasi tentang kasus ini, kita keep dulu masalah ini sampai semuanya udah pasti. Jangan sampai ada yang jadi pembocor, oke?” Saran dari Gusti diangguki oleh lima nyawa tersebut.

Kemudian Sisil yang belum puas dengan aksi balas dendam, akhirnya menceletuk, “Tuh, Mas Gus! Azriel mulutnya mirip Mak Komplek sebelah. Lemeees, banget. Sumpel mulut dia aja!”

Di balik tenggelamnya sinar mentari di ufuk timur dan iringan dari kepergian arak-arakan burung di angkasa, kedua manusia yang masih belum selesai dengan pertengkaran kecil mereka, menjadi penutup hari bagi orang-orang yang bersemangat menantikan kabar akan hari esok.

•oOo•

Praduga Sisil kemarin hari, jadi buah kemenangan. Niel mesti menelan kekalahannya dengan memberikan 'sogokan' bagi anggota klub Jurnalis. Biaya tutup mulut untuk tidak mengolok-oloknya adalah dengan mentraktir makan siang mereka.

Azriel datang dengan semangat '45 ketika mengetahui makanan gratis yang disponsori oleh Niel. “Bro, duit lo aman, ‘kan? Besok-besok lo nggak bakalan jadi Kang Minta-minta yang ada di perempatan jalan, ‘kan?”

Hinaan Azriel dibungkam Niel dengan menjejalkan bakwan panas ke mulut Azriel. “Banyak bacot, Nyet!”

Panggilan Nyet. Monyet. Panggilan 'kesayangan' yang disematkan oleh Niel pada sohibnya itu, karena sewaktu sekolah menengah dulu, Azriel berkelakuan layaknya monyet yang sering jail sekaligus menghabiskan banyak waktu untuk nongkrong di pohon.

Sementara itu, Azriel tertawa. Ia menepuk-nepuk punggung Niel lumayan keras. “Sering-sering traktir ya, Beb!” kata Azriel yang sengaja mendayukan suaranya.

“Jijik, Nyet! Sono lo gabung sama yang lain!” usir Niel dengan menyingkirkan Azriel dari sisinya. Ia tengah menunggu kedatangan sesosok makhluk yang tumben-tumbenan datang paling terlambat.

Setelah menunggu sekitar lima menit, orang yang dinanti-nanti akhirnya muncul dari arah perpustakaan dengan menjinjing setumpukkan buku tebal yang terlihat menonjol dibalik tote bag yang dibawa.

“Masih di ajar sama asdos-nya Pak Anwar? Pak Gilang belum balik dari mudik?” Niel mengambilalih tote bag milik Revina yang ternyata seberat karung 1 kg. “Gila! Lo bawa ginian dari perpus?”

Revina mengangguki pertanyaan terakhir Niel. Dia mengipas-ngipasi wajahnya yang memerah karena kegerahan dan capek. “Ho'oh, abisan kelompok gue pada banyak urusan. Ya udahlah, daripada banyak ribut, gue bawa,” jawabnya dengan setengah napas yang tersenggal.

“Buruan deh, tenggorokan gue paceklik, nih!" Revina berjalan duluan di depan Niel yang membawakan barangnya. Padahal tote bag yang ia bawa berwarna mint, terlihat cukup mencolok untuk dibawa oleh Niel yang notabene-nya maskulin. Namun, jangankan merasa malu, kelihatannya urat malu laki-laki itu tidak pernah tersambung sejak mereka masih sering ngompol.

“Pak Gilang belum balik, Na?” Niel mengulangi pertanyaannya.

Panggilan Nana bagi Revina hanya digunakan oleh orang tertentu saja. Niel termasuk di dalamnya. Gusti pun demikian. Hanya segilintir orang saja, sebab mereka lebih sering memenggal nama 'Revina' dengan sebutan Revi. Tentu saja itu tidak dipermasalahkan oleh Revina.

Revina yang masih dalam mode senggol-bacok, menanggapi pertanyaan Niel dengan tak acuh. “Mana gue tahu. Gue bukan bininya.”

“Na, gue seriusan nanya.”

Bosan dilemparkan pertanyaan, Revina berdecak sebal. Dia menggerutu sebelum akhirnya berbalik dan berhadapan dengan Niel. “Gue. Nggak. Tahu. Niel.” Ia sengaja menekankan tiap katanya. “Gue masih diajar asdos-nya Pak Anwar. Pak Galang dosen baru, jadi belum punya asdos. Sekarang, puas lo?”

Reaksi Niel yang hanya membulatkan mulutnya berbentuk O membuat Revina makin kesal. Ia mengentakkan kakinya dan berlari meninggalkan Niel di belakang. Ketika jaraknya sudah jauh, Revina mengumpati Niel sambil berteriak. “Dasar kaparat nyebeliiin!” Ia bahkan tidak mengindahkan pandangan orang lain yang menatap aneh padanya.

Niel yang melihat Revina bergabung dengan klub Jurnalis, akhirnya bisa melengkungkan senyuman dengan lega. Jarang-jarang suasana hatinya terasa lapang, apalagi penyebabnya adalah karena Revina.

•oOo•

“Coba kalian tebak kenapa korbannya belum disebut-sebut? Ini tuh semacam teka-teki yang harus kita selesain!”

Seperti biasanya, Sisil berkoar paling ekspresif. Apalagi sejak aksinya mendapatkan wewenang dari pihak BEM kampus kalau klub Jurnalis berhak untuk menerbitkan press rilis untuk kasus ini yang sudah menghuru-hara di lingkungan kampus, bahkan sebelum genap 24/7 jam.

Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Begitulah sekiranya yang berada dalam benak anggota klub. Selain mereka dapat menyelamatkan tempat yang sudah hampir sekarat, mendapatkan hak rilis berita secara eksklusif dari BEM bagai reward yang berkemungkinan besar nama klub akan mewangi dan dikenal lagi oleh orang.

Banyak praduga yang bermunculan terkait identitas si korban dan si pelaku yang hingga kini belum diketahui. Maria yang berada dalam Jurusan Ilmu Politik, menyuarakan pendapatnya setelah lama terdiam usai makan siang mereka selesai. “Menurut gue, ini tuh ada hubungannya dengan krisis pergantian dekan bulan-bulan kemarin yang terus ditunda-tunda itu. Kalian ingat, ‘kan?”

“Oh, yang itu! Iya, gue tahu, tuh. Di Jurusan Ilkom, pada rame bahas.” Azriel meminta konfirmasi dari Gusti yang merupakan kakak tingkat yang satu jurusan Ilmu Komunikasi dengannya. Setelah mendapatkan persetujuan dari Gusti, Azriel pun mengisyaratkan agar kelima kepala itu mendekat ke meja.

“Gue mau bongkar rahasia anak Ilkom, nih. Pastiin kuping lo nggak pada copot entar.” Azriel mulai bersuara pelan. “Mas Gus udah kasih izin, jadi jangan pada ember, lho!”

Sisil menjadi pelaku yang menjitak kepala Azriel karena berhadap-hadapan dengannya di seberang meja. “Lo yang suka ember, Congek!”

“Non, jangan galak-galak, nanti makin jelek terus nggak laku, mampus lo!”

Maria menyikut perut adik tingkatnya, membuat Azriel hampir saja mau mengumpat, tetapi urung karena melihat sorotan tajam dari Maria.

“Iya, iya, ini gue bakalan bilang,” putus Azriel. “Dari anak Hima Ilkom, kita udah sempat buat penelusuran kalau kandidat terkuat dekan Soshum itu, Pak Arya. Tapi sayangnya, setelah Pak Arya jadi public speaker di acara nasional kemarin, dia mendadak ...” Azriel sengaja menggantungkan kalimatnya, menunggu reaksi teman-temannya yang menyimak dengan serius.

“Mati, gitu?” tebak Revina.

“Bukanlah!” Azriel menantikan jawaban lain. Kemudian dia kembali menggelengkan kepala saat Sisil mengatakan kalau Pak Arya itu ketahuan selingkuh dan akhirnya didepak dari kampus karena pencemaran nama baik kampus ikutan terseret.

Maria merangkul Azriel dengan berusaha menyabarkannya. “Doi emang punya imajinasi yang luas. Jangan heran, okay? Mental lo masih aman, ‘kan?”

Azriel mengangguk mantap. Sementara Niel yang sudah kebakaran jenggot karena penasaran, mendesak Azriel supaya cepat-cepat bicara.

“Pak Arya langsung nge-ghosting, kayak mantan lo." Akhirnya Gusti yang melengkapi kalimat Azriel sambil menyindir sosok perempuan yang sekarang ini bersikap denial.

“Sok tahu lo!”

Sisil bersorak riang. “Wah, jarang-jarang Mas Gus bisa bercanda kayak gitu. Good, Mas Gus!”

Revina ikut mencibir, “Mas Gus bisanya jalur belakang. Gitu aja jalan di tempat, nggak maju-maju. Cemen!”

Gusti yang merasa pembahasan mereka melebar, menepuk sekali dan menjauhkan kepala-kepala anggotanya supaya kembali berjarak lagi. “Back to topic, guys! Jadi, kemungkinan besar ini ada hubungannya sama hierarki politik di kampus.” Praduganya mendapatkan anggukan dari anggota klub.

Maria pun ikut menimpali, “Semacam nyingkirin pengganggu yang mengancam kredibilitas wilayah kekuasaannya.”

“Duh, jadi berat gini pembahasannya, sih!” keluh Sisil yang memegangi kepalanya. “Malahan gue kira yang jadi korbannya si dekan.”

“Kok bisa dekannya, sih?” sahut Niel yang berlainan pendapat. “Justru lebih masuk akal kalau dia yang jadi pelaku daripada korban, Sil.”

“Sori, Sil. Kali ini gue selingkuh dulu buat percaya ke lo. Gue dukung Mas Niel. Lo nggak apa-apa, ‘kan?”

Sontak saja orang-orang di meja klub tersebut, kompak dalam berlagak jijik dengan ungkapan Azriel. Menyisakan Gusti yang terkekeh menikmati percakapan keluarganya di kampus. Sayang rasanya, jika kedekatan mereka harus dihentikan karena anggapan klub terpasif. Yah, walaupun tidak sepenuhnya demikian.

“Mbak Mari, bukannya lebih masuk akal lagi kalau misalkan nyingkirin dulu kandidat terlemah?” tebak Revina. Dia menautkan jemarinya dan bertumpu di atas meja. “Sering kejadian bukan, kalau orang yang paling nggak mencolok, justru yang paling harus diwaspadai. Orang kayak gitu biasanya memiliki peluang buat memberikan kejutan di akhir, ‘kan?

Continue Reading

You'll Also Like

85.8K 6.3K 25
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...
142K 17.6K 15
Book 2 Sekuel I'm not Stupid! "KAMI ADA DAN BERLIPAT GANDA!" __Basis New Generation. 3 tahun sudah kasus tenggelamnya Anarkali di danau Magnesium Hig...
6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
181K 5.2K 48
[Wajib Follow Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertingg...