"Sudah cukup." Tahan Dafa saat Celine ingin menambahkan lauk pauk, dengan patuh Celine menjauhkan dirinya sembari duduk bersisihan dengan Zee yang sudah asik menghabiskan ayam gorengnya, rencana diet bocah itu harus ditunda dulu soalnya tadi pagi Zee guling-guling ngamuk pengen makan ayam goreng, alhasil bocah itu berhasil mendapatkan ayamnya dengan siasatnya itu.
"Hari ini biar aku yang anter Zee ke sekolah, kamu istirahat aja di rumah." Ujar Dafa disela sarapannya.
"Gak usah—"
"Gak ada bantahan!" tegas lelaki duda itu membuat Celine tak mampu berkutik, kalau Dafa sudah tegas begini artinya sudah tidak dapat diganggu gugat.
Celine menghela napas panjang, menatap lamat wajah Dafa yang sama sekali tidak meliriknya. "Mas Dafa marah ya sama aku?"
Dafa yang ingin menyuapkan makanan ke mulutnya langsung terhenti, seperti gerakan slow motion lelaki itu memutar leher menatap wajah Celine, terdengar helaan napas panjang darinya. "Aku gak marah sama kamu, jangan overthinking."
"Gimana aku gak overthinking kalau sejak kemarin Mas banyak diemin aku, bahkan kayak dingin gitu!" balas Celine lugas, lebih baik blak-blakan daripada memendam unek-unek yang bikin sakit hati.
Grep.
Celine terkesiap menatap jemarinya yang digenggam Dafa, lelaki itu menatapnya kembali, namun dengan lebih lembut. "Aku cuma kepikiran aja sama omongan lelaki itu." Celine berkedip bingung, Dafa lagi-lagi mengeluarkan helaan napas beratnya. "Cepat atau lambat aku harus menghadap orang tua kamu." Imbuhnya membuat Celine tak mampu menyembunyikan kekagetan wajahnya.
"Ngapain sih, gak usah pikirin mereka."
"Mereka orang tua kamu Cel."
"Orang tua mana yang kurung anaknya sendiri, aku itu manusia bukan hewan Mas!" suara keras Celine agaknya menarik perhatian Zee, bocah yang celemotan minyak di tangan dan bibirnya itu melongo polos, lalu meletakkan ayam gorengnya yang cuma sisa tulang ke atas piring.
"Mamah marah ya sama Papah?"
"Eh?!" Celine terperanjat, Dafa ikut menoleh cepat.
"Jangan berantem, Zee gak suka lihatnya." Ujar Zee dengan sorot mata lugunya.
Celine menyendu, sadar kalau tidak seharusnya ia bertengkar di depan bocah sekecil ini. "Nggak kok, tadi Mamah cuma bercanda, kamu udah selesai belum makannya?" Celine mengelus kepala Zee, bocah gembul itu mengangguk semangat.
"Udah!"
"Good, ayo cuci tangan dulu!" titah Celine lalu membantu menurunkan Zee dari atas kursi dan membawanya ke dapur.
Diikuti tatapan diam Dafa, lelaki itu terlihat sedang bergulat dengan pikirannya.
***
Tok tok tok!
Pemuda yang sedang bergelud dengan pekerjaannya itu melirik daun pintu, disibaknya rambutnya perlahan.
"Masuk!" titahnya dan tak lama terlihat sekretarisnya masuk.
"Ini jadwal hari ini Pak." Ujarnya sembari meletakkan catatan ke depan Jordi.
Jordi menghela napas, mengangguk sekilas sebelum memberi tanda menyuruh sekretarisnya keluar. Lelaki itu tidak mengecek jadwalnya melainkan malah membuang muka ke luar jendela untuk melihat keadaan kota karena kebetulan ruangannya berada di lantai paling atas.
"Huft ..." suara helaan napas dengan sorot mata lelahnya begitu ketara, terlihat sekali kalau ia sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat.
Perlahan Jordi beranjak dari kursinya, lalu berjalan mendekati jendela kaca besar dan menatap ke luar dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
Sepertinya ada hal yang membuatnya mulai goyah.
***
"Kamu yakin ini sudah benar?" tanya Cakra pada bawahannya yang ia suruh mencari informasi tentang Celine.
"Sudah Pak, saya juga sudah mengecek CCTV dan itu memang Nona Celine." Balasnya membuat Cakra mengangguk, selanjutnya lelaki paruh baya itu membuka berkas laporannya, dan alis matanya seketika menukik tajam.
"Caritahu plat mobil ini, dan siapa lelaki dan bocah itu." Perintah Cakra serius, ia menatap poto yang diambil dari video CCTV ketika awal Celine bertemu dengan Dafa dulu. Sebenarnya jika mau serius mencari keberadaan Celine itu sangat mudah bagi Cakra, tapi ia selama ini tidak terlalu serius melakukannya karena ia yakin jika anaknya yang manja itu pasti menyerah dan pulang dengan sendirinya karena tidak mampu hidup susah.
Tapi kenyataannya Celine sekarang justru tidak pulang berbulan-bulan, membuat Cakra harus mulai bertindak.
"Baik Pak, saya permisi." Pamit bawahannya itu yang hanya diangguki kecil Cakra, lelaki paruh baya itu menatap foto di depannya dengan sangat tajam, terlihat sangat serius.
"Apa ini pacar Celine?" gumamnya dengan tanda tanya besar.
***
Celine duduk merenung di ruang tamu, keadaan rumah sepi karena Dafa dan Zee sudah pergi. Celine berdiam diri sendirian, tapi pikirannya melalangbuana jauh entah kemana. Gadis itu menyendukan matanya, melipat kedua lututnya dan menyembunyikan setengah wajahnya disana.
"Kenapa sih hidup aku selalu berantakan, kapan aku bisa tenang, aku juga mau hidup seperti gadis pada umumnya." Gumamnya sedih, setelah perdebatan singkatnya pagi tadi dengan Dafa ia belum mempunyai waktu berbicara lagi dengan Dafa karena ada Zee. "Mas Dafa kenapa gak bisa ngertiin aku sih, aku cuma mau hidup tenang sama kamu, kalau kamu menghadap Papah pasti hubungan kita hancur." Suara Celine makin terdengar serak, terlihat kalau ia sedang memendam sesak di dadanya.
Dan air matanya tiba-tiba keluar, entah kenapa ia jadi suka cengeng beberapa waktu ini, mungkin karena lagi datang bulan moodnya jadi sangat sensitif. Cukup lama ia menangis sampai ia kelelahan, dan entah sejak kapan ia terlelap.
Celine mulai lelah menjalani hidupnya.
***
"Kenapa Papah yang jemput Zee, emangnya Mamah kemana?" celetukan ringan bocah itu membuat Dafa tersenyum kecil.
"Papah pengen Mamahmu istirahat, jadi hari ini kamu Papah yang jagain."
Zee langsung manyun cemberut. "Padahal biasanya Papah lebih mentingin pekerjaan Papah ketimbang Zee." Balasnya membuat Dafa kali ini tak mampu menyembunyikan senyuman kecutnya.
"Maafin Papah ya Nak."
Zee langsung menatap horor Dafa, tanpa berbicara pun sudah sangat jelas kalau Zee sedang julid karena tiba-tiba Papahnya melow gini.
"Gak papa lagian Zee udah gede kok, udah mandiri, hump!" balas Zee bersedekap dengan pipi menggembung chubby nya membuat Dafa tak mampu menyembunyikan kekehan gelinya.
Zee adalah satu-satunya mutiara hatinya saat ia hampir menyerah pada hidupnya dulu. Zee bagai anugrah terbesar yang Tuhan beri kepadanya.
"Kamu mau jajan apa? Biar Papah beliin?"
Zee langsung melebarkan matanya, sudah pasti kalau berhubungan dengan makanan Zee akan paling excited apalagi tumbenan Papahnya mau memberi kelonggaran begini.
"AAAA SAYANG PAPAH DEH!!" seru Zee antusias bertepuk tangan.
Membuat Dafa mencibir tanpa suara.
***
Dafa memarkirkan mobilnya di garasi, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, mereka pulang telat karena Zee benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan buat makan apapun yang diinginkannya.
"Mamah pasti suka ini!" ujarnya semangat meneteng ayam goreng, Dafa tersenyum lembut.
Mereka berdua berjalan bersisihan menuju dalam rumah, dan langsung terlihat Celine yang tidur di atas sofa. Zee seketika berlarian heboh menuju Celine.
"MAMAAAAH ZEE BAWA MAKANAN KESUKAAN MAMAH LOOOH!!" teriak Zee melengking sambil menggoyang heboh tubuh Celine.
Dafa yang masih tertinggal di belakang menggeleng geli tak habis pikir, "pelan-pelan Zee, nanti Mamahmu kaget." Instruksinya geli.
Zee mencebik, mulai kesal karena Celine tak bangun-bangun.
"Mamaaaah! Mamaaaah ... astaga Mamah tidur apa gimana sih susah amat banguninnya!" dengus Zee makin merengut.
Dafa seketika tergelak saat sudah sampai di depan mereka, dengan lembut lelaki itu menepuk pipi Celine, tapi justru berjengkit kaget saat merasakan panas menjalar di kulitnya.
"Cel?!" Dafa berlutut, memegang wajah dan leher Celine, "Celine bangun! Celine!" sekarang ekspresi panik Dafa mulai muncul, di belakangnya Zee pun juga ikutan panik.
"Mamah kenapa, Pah?!"
Dafa tidak menjawab, terlihat makin kelimpungan khawatir dan panik karena Celine tak kunjung bangun. Akhirnya Dafa menggendong Celine, dan membawanya berlari ke mobil diikuti Zee yang membuntut masih dengan meneteng ayam gorengnya.
"Mamah kenapa Pah? Kita mau kemana?"
Dafa memejamkan matanya dengan tubuh mulai bergetar tremor, "kita ke Rumah Sakit!" putus Dafa dan mobilpun melaju kencang.
***
TBC.