FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 61: Fakta

150 22 6
By helicoprion_

Sejujurnya aku beneran bingung mau ngasih judul part ini apa. Karena tadinya part ini jadi satu sama part 62.

Tapi setelah dilihat-lihat, ternyata jadinya hampir 4.000 kata dong😭 Jadi harus aku pisah.

Tenang aja, besok bakal aku langsung publish part 62. Malem ini mau aku revisi dulu💙

Sama sebelum baca, jangan lupa tekan bintang ya. Harus loh :(

HARUS!

HARUS!

HARUS!

WAJIB KOMEN JUGA DI SETIAP PARAGRAF! WAJIB BANYAKIN KOMEN BIAR AKU SEMANGAT! OKE?

AKU NUNGGUIM NOTIF LOH INI YA💙

SELAMAT MEMBACA!

•|FRASA|•

Leon membanting tubuhnya di sofa panjang perpustakaan. Tersenyum jail sambil memandangi seorang murid kece dari angkatan kelas dua belas tengah menutup pintu ruangan itu. Dia melirik jam dinding.

14.31

"Enak banget sih jadi lo?" keluhnya. "Perpus udah tutup aja masih bebas keluar masuk."

Yang diajak bicara hanya tertawa sepintas.

"Lo dapet free access kemana aja, kak?"

"As you see."

"Anjir banget hidup," Leon membuka kunci ponselnya. Menampilkan wallpaper foto boneka boba yang baru dia beli beberapa hari lalu.

Tidak ada apa-apa. Leon menguncinya lagi.

"Al."

"Gue lebih tua."

Mendengarnya, Leon tertawa. Membuat matanya yang sipit hanya menyisahkan garis.

"Lo ketemu Aksa?" tanya Alfa to the point.

Mengangkat alis dan terlihat berpikir sejenak, Leon kemudian mengangguk. "Lo yang kasih alamatnya. Ngapain gue sia-siain buat ngga dateng?"

"Jadi... gue denger cincin lo itu jadi trending topik?" Alfa memandangi cincin yang sedang dia bahas, lantas beralih menatap pemiliknya.

"Lo mau ketemu gue cuma buat nanyain masalah cincin? Mau gue beliin jugak?"

"Serius, Yon!"

"Serius apanya?" -Tentu, Leon masih tertawa, "lo barusan ngasih pernyataan, bukan pertanyaan." Leon menjawab sesuai fakta.

"Lo dapet dari mana?"

"Cincin?" -Leon melirik sesaat barang yang barusan dia sebut, "ngerampas punya Aksa," lanjutnya tanpa dosa.

"Hah?"

"Terus gue harus gimana tolong? Udah gila beneran itu cewek."

"Dia habis ngapain emang?"

Leon menegakkan badan mendadak serius. "Lo nggak tau?"

Berharap mendapat jawaban kebalikan, pemuda itu malah mendapati Alfa yang menggeleng. Sontak saja Leon menganga. Dia kira Aksara sudah minta izin pada pria di hadapannya ini.

"Masalah reuni itu... lo nggak tau?" Leon masih berusaha memastikan.

Alfa diam sejenak. Mencoba mengingat ingat acara reuni apa yang Leon maksud. Tapi nihil. Sepengetahuan ingatannya dia tak pernah mengikuti kegiatan reuni apapun. Lagi, kepalanya menggeleng perlahan.

"Gue perlu cerita apa engga?"

"Kalo ada hubungannya sama gue, dan kalo lo rasa perlu ya gue ngga nolak buat dengerin si."

"Tinggal bilang perlu aja susah amat," cibirnya.
"Temen-temennya Aksa ngira lo udah tunangan sama dia."

"HAH?! Gila apa?!"

Leon meringis.

"Dapet dari mana tuh?"

Bola mata Leon bergerak ke kanan-kiri. Seolah memastikan tidak ada siapapun yang mendengar. Padahal jelas. Di perpustakaan ini hanya ada mereka berdua dan Alfandra sudah mengunci pintunya.

"Nggak dapet dari mana-mana. Mereka ngambil kesimpulan sendiri," tuturnya.

"Nggak mungkin."

"Sabar dulu. Mereka ngambil kesimpulan sendiri. Tapi emang Aksaranya yang mancing."

"Ini cincin punya mamanya Aksara. Frans dulunya tau tapi dia nggak inget. Dan sekarang Aksa make cincin ini buat maksa Frans pergi."

"Jangan bilang kalo maksud lo Aksa ngomong itu cincin tunangan?"

"Aksa nggak ngomong juga sih. Tapi dia nunjukin waktu Frans minta baikan. Ya lo bisa mikir lah maksudnya Aksa kayak gitu buat apaan." Leon meneguk ludah.

"Terus temen-temennya kenapa bisa tau?"

"Ya itu kak masalahnya. Aksara nunjukin itu cincin di depan semua orang."

"Bukan salah Aksa juga sebenernya. Siapa suruh mereka ngambil kesimpulan sendiri. Orang Aksara cuma ngangkat jari."

"Tapi harus gue akui, sih. Aksara cukup punya nyali buat ngelakuin itu."

"Kok lo diem aja sih, Yon?! Aksara itu polos! Dia nggak tau resiko dari apa yang dia lakuin bisa ngerusak nama baik dia nantinya!"

Leon termenung sesaat. Apa dia diam saja? Tidak. Tapi Leon sudah pernah mempertanyakan ini lebih lanjut pada gadis bermarga Pradikta itu.

"Aku nggak ngomong apa-apa, kan?" jawab sekaligus tanya Aksara pada nya kala itu. "Harusnya kalo nggak ngerti, mereka nggak usah berspekulasi."

Leon masih ingat dengan jelas bagaimana tatapan kosong Aksa. Bagaimana matanya hanya memandang asal pada lantai pualam gedung mewah yang sempat Leon singgahi juga.

"Aksa bukan nggak tau resikonya, kak. Tapi buat Aksa resiko itu udah nggak penting selama Frans bisa bener-bener pergi."

"Lagian Aksara bener, kok. Dia nggak salah dan dia emang nggak bilang apa-apa. Kalo Frans maupun temen-temennya berspekulasi, itu hak mereka. Tapi keputusan apa yang Aksara ambil dan caranya gimana, itu juga haknya dia."

"Kalo lo tanya... iya. Gue juga marah sama keputusan yang dia ambil. Gue juga marah sama cara dia ngusir Frans. Gue juga nggak suka."

"Tapi kalo kita mau sama-sama liat ke belakang, wajar Aksa terkesan kelewatan sekarang."

"Tapi gue pikir Frans emang udah berubah deh. Bukan berubah si, lebih ke arah dia balik jadi dirinya sendiri. Dan kita sebenernya sama sekali nggak perlu ngeraguin gimana sayangnya dia sama Aksara."

Leon mengangguk cepat. "Gue setuju tentang itu. Setuju banget malah. Gue juga nggak sekalipun ngeraguin janji-janjinya Frans kok."

"Tapi, kak. Kalo diliat dari perspektif Aksara, semua jadi beda."

"Jujur gue nggak berharap Aksa ngambil jalan kayak gini. Tapi kita juga nggak bisa ngapa-ngapain. Aksara trauma, dan kita juga harus paham itu."

"Bahkan sampe sekarang...," -Leon menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng, "gue nggak tau harus ngedukung siapa."

Alfandra Emirza. Itulah nama cowok yang sekarang terduduk tenang sambil meluruskan punggungnya pada sandaran sofa perpustakaan.

Apa Alfa mempermasalahkan anggapan orang-orang bahwa Aksara sudah bertunangan dengannya? Tidak juga. Itu bukanlah satu hal penting yang perlu dipermasalahkan. Alfa akan urus hal itu nanti.

Cuma... Pemuda itu heran. Sejauh ini Alfa sudah sangat berusaha menjadi penengah. Berusaha tidak menghakimi salah satu. Dan berusaha memaklumi kalau Aksara sekarang sudah menjadi kepala batu.

Tapi tak pernah terlintas dalam benaknya sedikitpun kalau ternyata adik kelasnya yang begitu polos bisa mengambil langkah bodoh seperti ini.

Iya. Bodoh. Benar benar bodoh.

"Sumpah gue kira dia udah ijin sama lo"

Alfandra masih tidak bicara. Fokus ingatannya kembali pada beberapa hari lalu saat Malvin tak sengaja bertemu dengannya.

"Punya lo mana?" tanya Malvin tiba-tiba saat itu.

"Lo tau dari mana?" Kepalanya mendongak seiringan dengan keluarnya pertanyaan tersebut dari mulut Alfa.

"Gue liat. Gue liat waktu dia nunjukin cincin itu dan ngusir Frans."

"Aksara bilang apa?"

"Pergi, Frans."

Terbawa suasana saat Aksara melakukan hal tersebut, Leon pun ikut-ikutan menatap kosong.

"Nggak usah protes. Gue nggak langsung klarifikasi di depan Frans kalo Aksara cuma ngaku-ngaku juga ada alasannya."

"Lo mau mereka pisah?"

"Menurut lo?"

"Kayaknya lo nggak sejahat itu deh," -Alfa menggeleng, "lo masih sukak sama Aksara?"

"Lo bener bener kenal gue ternyata," -Leon mengangguk. "Masih. Tapi nggak berarti gue bakal ngelanggar komitmen yang udah kita buat."

"Gue nggak akan ngelanggar janji, kak."

Ya ya ya. Alfa tau dan Alfa yakin itu.

"Kalo lo muncul di sana, takut dikira lo yang tunangan sama dia?" tebak Alfa dengan opsi lain yang tak kalah masuk akal.

Namun sayangnya Leon juga menggeleng. "Gue mau bilang waktu itu. Biar temen-temen lain juga nggak mikir aneh-aneh."

"Tapi, kak,-"

"Tapi lo nggak mau semakin nyakitin mereka berdua."

Bukan pertanyaan lagi. Melainkan sebuah pernyataan. Alfa mengatakan dengan tatapan mata teduhnya yang menyelami netra Asia milik Leon. Penuh akan keyakinan.

"Gue bener, kan?"

"Lo nggak mau nyakitin Frans dengan fakta kalo Aksa bisa bohong sampe segitunya cuma biar Frans nggak ngarepin dia lagi."

Leon mengambil nafas panjang. Matanya terpejam sejenak sebelum dua detik kemudian menyorot pada milik lawan bicaranya. Ia mengangguk.

"Dan gue mau nyelametin nama baik lo di depan Frans."

Alfa mengernyit. Maksudnya apa? Kalau Leon membiarkan semua terjadi bukannya nama Alfa yang justru akan jadi topik pembicaraan?

"Gue bilang di depan Frans ya, kak. Bukan di depan yang lain," ucap Leon menegaskan lantaran mendapati indikasi bahwa Alfa tak mengerti.

"Sebelum ini gue nggak tau kalo Aksara bakal ngambil langkah sejauh itu. Lo inget hadiah yang gue titipin lo buat ulangtaun Frans?"

Alfa mengangguk tanpa ragu.

"Isinya flashdisk. Gue jelasin semua sama Frans apa yang selama ini dia nggak tau."

"Kenapa gue bilang hadiah itu harus ada di Frans waktu dia udah sadar mana bener mana salah, karena kalo gue kirim dari awal juga percuma. Dia nggak bakal percaya."

"Dan di penjelasan itu gue juga bilang, kalo lo janji nggak bakal ada ikatan sama Aksara."

Oke. Alfa mulai mengerti sekarang. Sedikit demi sedikit semuanya menjadi jelas dan dirinya bisa mengambil kesimpulan.

Leon ini... Ah... Alfa ingin memaki kenapa cowok itu begitu baik.

"Sumpah, kak. Gue nggak ngira kalo Aksa bakal ngambil tindakan kayak gini."

"Jadi cincin itu lo pake, biar Frans ngira itu pasangannya yang punya Aksara?"

Leon mengangguk. "Lo berharap gimana?"

"Dari awal seharusnya lo nggak terlibat. Cuma karena abang lo yang nanganin sakitnya tante Veara, harusnya lo nggak keseret sejauh ini."

"Kalo aja Frans nggak koma waktu itu, tanggungjawab buat jaga Aksara nggak bakal jatuh ke elo, kak."

"Dan sekarang, diluar ekspektasi kita juga semua udah jadi nggak kekontrol. Gue nggak pingin lo terlibat lebih jauh."

"Gue nggak mau lo nerima akibat dari apa yang nggak lo perbuat."

"Mungkin sekarang semua keliatan udah selesai. Tapi enggak buat Aksa sama Frans."

Alfandra termenung cukup lama. Siapapun yang menganggap dirinya malaikat, mereka salah. Karena Leon lah yang pantas mendapatkan sebutan itu.

Beda.

Walaupun ikhlas, Alfa terlibat karena memang dirinya harus untuk terlibat. Sedangkan Leon? Dirinya memilih terlibat dengan kemauannya sendiri. Padahal, Leon tau bahwa terlibat artinya adalah sakit.

Alfandra menghela nafas berat. "Kapan lo ketemu Frans?"

"Semalem. Gue nyuruh dia ke rumah tengah malem."

"Cuma buat nunjukin itu?"

Berganti, Leon kini menggeleng. "Awalnya gue mau bilang kalo Aksara cuma bohong dan mau dia pergi. Awalnya gue mau bilang gitu biar Frans juga ngerti, dan semua nggak ngegantung gitu aja buat Frans."

"Lo tau, kan? Sekarang permasalahannya udah bukan lagi seputar Frans yang amnesia. Kalo kemaren-kemaren ingetan Frans tentang masa lalu yang jadi modal kebencian," -Leon menggeleng, "lo tau sekarang semua ngga se sederhana itu."

"Kita bisa milih buat ngelupain masa lalu kapanpun. Tapi masa depan nggak bisa dianggep sesimpel itu."

"Dan hak buat nentuin jalan besok, gue nggak bisa ikut campur. Termasuk juga elo, kak."

Jemari Alfa saling bertautan. Tatapannya kosong ke arah meja perpustakaan dengan telinga yang dipasang tajam terus menerima gelombang gelombang kalimat dari lawan bicaranya. Membuat suasana seakan membeku dengan keheningan nyata dari atmosfer sekitar mereka.

"Gue harap lo bisa ngerti. Bukannya gue mau egois. Lagian percuma, gue juga sadar nggak bakalan bisa sama Aksara. Cuman disini, paling engga gue juga harus ngehormati keputusan dia."

"Kita semua tau enam bulan nerima perlakuan dari Frans yang kayak gitu sama sekali bukan hal gampang."

Alfa terlihat berpikir. Dan memang sejatinya itulah yang tengah ia lakukan. Menimbang-nimbang segala kemungkinan yang akan terjadi kalau kalau Leon terus akan menyimpan fakta ini dari seorang Frans Arelta.

"Gue boleh tanya?" ucapnya membuka suara setelah beberapa menit keduanya sama-sama hening terdiam.

Selepas Leon mengangguk kecil, ia kembali melanjutkan kalimat, "gue harap gue salah nebak. Tapi jawab gue jujur! Flashdisk gitar yang lo titipin ke gue buat Frans, itu isinya juga fakta yang selama ini Frans nggak tau, kan?"

Benar. Ketika Frans bertanya apa isinya, tidaklah bohong kalau pria berambut pirang tersebut mengatakan dirinya tidak tau kala itu. Alfa hanya memiliki praduga. Itu saja.

Leonardo? Dirinya sama sekali tidak terkejut. Bagi orang cerdas seperti Alfandra, mudah menebak informasi tersebut sekalipun Leon tidak menceritakannya.

Tapi sekarang, otaknya mulai bertanya-tanya. Mengapa Alfa mempertanyakan hal ini?

"Le," panggil Alfa pelan. "Frans perlu tau masalah ini."

"Nggak perlu."

"Perlu. Kita nggak bakal pernah tau kapan ingetan Frans balik lagi. Bagus kalo dia amnesia selamanya, nggak perlu nyesek di kemudian hari. Tapi kalo dalam jangka waktu beberapa hari lagi? Beberapa miggu lagi? Dua bulan lagi?"

"Lo bener. Sekarang permasalahannya bukan lagi tentang Frans amnesia. Itu udah nggak penting. Tapi kalo sampe Frans inget itu cincin punya almarhum mamanya Aksa setelah dia belajar terbiasa, dia bakal sakit lagi."

Bener jugak, si, batin Leon.

"Tapi Ak-"

"Aksa bakal baik-baik aja. Dia bilang dia udah ngambil keputusan buat ngambil studi lanjut dari perusahaan swasta Amerika itu."

Leon tidak terkejut. Setelah semua hal ini, mudah ditebak kalau Aksara akan mengambil freepass studi lanjut luar negeri tersebut. Menghindari masalah.

Untuk masa depannya, juga untuk menghindari Frans ada di sekitarnya.

"Oke. Gue bakal ngomong sama Frans."

•|FRASA|•

Hai! Pendek ya?

Tenang aja, besok part berikutnya bakalan aku publish kok.

Aku penasaran siapa aja yang nunggu cerita ini selesai. Bisa komen pakai emot favorit kalian, nggak?

Oh iya. Sama secepatnya, insyaallah aku bakal ngasih kalian cuplikan dari dua Lunar Series yang bakal aku publish setelah Frasa selesai.

Kalian bantu pilih, ya!

Pilih kalian lebih tertarik sama yang mana.

Dan terakhir... Jangan lupa yang pada belum tekan bintang dong •-•

Aku nungguim notif dari kalian loh ini.

Biar aku semangat lagi.

Oke makasi ya, see u nect chapter 💙

Continue Reading

You'll Also Like

110K 14.4K 68
Penulis: 麻辣香鍋加辣 Jenis: Kelahiran Kembali Status: Selesai Pembaruan terakhir: 13 Februari 2020 Bab terakhir: Bab 66 (Fan Wai 1) Sinopsis ada Di Dalam...
70.6K 4.6K 30
[Teenfic, Friendship, Angst, Romance] ~Second Story~ 🎖 # 1 Penderitaan - 24 Mei 2023 🎖 # 1 Angst - 28 Januari 2022 🎖 # 1 Kesedihan - 7 Januari 202...
37.7K 3.6K 62
[COMPLETED] Bisakah ia menentukan cintanya sendiri? Mengharapkan sang kekasih kembali dan hidup bahagia bersama. Memulai awal kisah yang bahagia bers...
2.2K 1.8K 54
Mengisahkan tentang murid kelas 10, yang menyukai guru PPL nya. ✦ ✦ ✦ ❝ terkadang labirin luka itu harus kau tinggalkan, apakah tidak tertarik denga...