FRASA [✓]

By helicoprion_

34.9K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 60: Titik balik

201 30 2
By helicoprion_

Kiw! Baca part sebelum dulu ya💙
Dan jangan lupa buat mampir link youtube yang kemarin aku share •-•

Di part ini banyak banget quote yang bisa kalian kutip.

DAN SILAHKAN BERSIAP-SIAP UNTUK KETEMU SESEORANG

•|FRASA|•

"Lo bohong!"

Pelan tapi penuh penegasan. Pandangan Frans tertuju tepat pada purnama yang sekarang melambai perlahan. Lututnya sudah terkulai lemas. Frans terduduk ringkih di tengah kesepian.

Sepi? Iya, sepi.

Semua orang sudah pergi ke kamarnya masing-masing. Tentu saja. Ini sudah pukul setengah satu malam dan hanya ada tiga orang yang masih bertahan.

Berusaha menahan luka yang menganga, kini semesta hanya menyisahkan Frans, dengan dua orang yang memang bisa dibilang cukup dekat dengan Aksara.

"Lo bohong!" ulangnya memaki.

"Lo bohong, Le...," sambung Frans semakin pelan. Berharap semesta yang mendengar akan menyampaikan di manapun Leon berada.

"Lo bilang Alfa udah janji. Lo bilang semua ini nggak bakal terjadi."

"Lo bohong."

"Mending lo istirahat." Nata memberi respon. Mengundang lirikan seorang Malvino Erlian.

"Puas, lo?" tanya nya mengingat kalimat menyebalkan masalah Yupi yang satu jam lalu cowok itu sampaikan.

"Ya nggak gini juga konsepnya," balas Nata jujur. Memang bukan hal ini yang Nata maksudkan.

"Lo mau pulang?"

Frans menggeleng. Air matanya belum juga menyingkir. Layar putih yang  kini sudah bersih tak bergambar menyelimuti halaman vila dengan dingin tak terkira. Membuat puluhan lilin yang mengitari mereka seolah tak memiliki kuasa.

Tidak ada kehangatan. Tidak ada senyuman.

"Biar gue sama Nata yang nganterin. Kita juga nggak gila buat ngebiarin lo nyetir sendirian."

"Atau lo bisa istirahat sekarang, besok pagi kita yang nganterin lo pulang duluan."

Kali ini Frans menoleh. Matanya memerah dengan kantung yang membengkak tak terarah. Netra elang itu kini sudah tak lagi bisa dikenali. Hanya menampilkan sorot perih dan pandangan kosong tak berarti.

Sama seperti bagaimana Frans tidak bisa mengenali Aksara nya.

"Lo yang bilang gue harus kesini karena Aksara yang minta."

Malvin meneguk ludah. Perasaan bersalah mulai membungkamnya perlahan-lahan.

"Gara-gara ini?" tanya Frans lelah.

"G-gue... Gue nggak tau, Frans. Maaf."

Kali ini sang pemilik nama mengangguk. "Gue percaya," jawabnya. Jelas Malvin masih waras mengundangnya hanya untuk menyaksikan semua hal ini.

"Gue nggak pulang."

"Lo yakin?"

"Lo bilang gue ke sini Aksara yang minta?" Frans menatap kosong ke rerumputan di sekitar Malvin duduk.

"Hubungan gue sama Aksa ternyata nggak bisa diperbaiki. Jadi paling enggak, biar gue menuhin permintaan dia buat yang terakhir kali."

"Apa yang udah lo lakuin, Sa?"

Aksara menoleh ke sumber suara. Detik itu juga kakinya seolah patah. Aksara jatuh terduduk dengan isakan yang sudah tidak bisa lagi ia tahan. Matanya terpejam berusaha menahan sesak.

Apa yang sudah Aksara lakukan?

"Kenapa?" Suara itu terdengar lagi.

Hanya ada sesenggukan sebagai isyarat jawaban. Aksa meremas ujung bajunya. Mengingat raut wajah penuh sesal milik Frans membuat hatinya turut terhunjam ribuan pedang.

"Kenapa lo se jahat itu?" Sepasang mata letih itu menatap nanar tak mengerti. "Kenapa lo kayak gini?"

Aksara tak menjawab. Cukup. Sudah cukup dirinya disalahkan.

Ini yang Frans mau. Inilah yang Frans minta. Entah sebanyak apapun permintaan maaf akan masuk di telinganya, ingatan Aksara masih akan tetap sama. Kata maaf dari pemuda itu takkan bisa merubah apapun.

Masa itu terlalu menimbulkan lara, dan siksa yang lalu terlanjur menyisahkan luka.

"Gue harap keputusan ini nggak bakal bikin lo nyesel nantinya. Tapi sorry, keyakinan gue bilang gitu."

"Leon..." panggil Aksara lirih.

Leon.

Mendengar namanya disebut, pria itu menggeleng. "Nggak seharusnya lo kayak gini."

Aksara tertawa sepintas saking sakitnya. "Bukannya kamu yang bilang kalo aku punya hak buat milih?"

"Jangan buat aku hilang kepercayaan sama kamu jugak." Aksara meminta.

Tidak. Memohon lebih tepatnya.

Leon mendekat. Lantai pualam mewah di tengah ruangan ini membuat langkahnya hening. Tangan Leon menggenggam erat ikut merasakan sesak. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang.

Memarahi gadis bodoh di hadapannya?

Atau justru mendukung dan menenangkannya?

Dan Leon juga mulai bertanya-tanya. Ini... Salah siapa?

"Sa...."

Kini giliran Aksara yang menggeleng. Satu-dua bulir air matanya masih mengalir bergantian. Tatapannya sendu memohon belas kasihan. Meminta untuk pemuda itu diam saja dan menerima.

"Kamu yang bilang...," desis Aksara. "Kamu yang minta aku berhenti kalo udah capek."

Iya. Memang. Tapi bukan hal seperti ini yang Leon maksudkan.

"Jadi tolong... Hargai keputusan aku."

Benar benar, Leon sangat menghargai keputusan seperti yang Aksara minta. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau cowok tersebut juga sangat sangat sangat menyesalinya. Tapi sayang, dirinya juga tidak punya hak ikut campur, kan?

"Gue hargai keputusan lo," balas Leon. "Tapi nggak dengan cara kayak gini!"

"Terus kamu mau apa? Ngadu sama Frans?!"

"Jangan ngambil keputusan waktu lo lagi marah." Leon berkata bijak.

"Harusnya kamu inget apa yang terjadi setiap aku ngambil keputusan dengan pikiran dingin!!!"

Aksara membentak tiba-tiba. Dan jujur, itu membuat lawan bicaranya cukup terkejut sekaligus merasa bersalah.

"Harusnya kamu inget, Le," ulang Aksa terdengar pilu.

Apa bedanya dirinya dengan Frans kalau begini? Kalimat yang keluar dari mulut Leon sama-sama menyakiti gadis itu.

Bukan bermaksud membuka luka lama. Hanya mencegah terciptanya luka yang nanti mungkin takkan ada obatnya.

Leon tak menjawab. Ia berjongkok dengan kaki kanan menjadi tumpuan. Diselipkanlah anak rambut Aksara ke belakang telinga. Sepuluh-sebelas organ tipis itu harus ikut basah lantaran telah lancang berada di jalur terjunnya air mata. Sangat berantakan.

"Aku terlalu sering ngambil keputusan dengan kesabaran. Sampai akhirnya aku sendiri bisa narik kesimpulan kalau di sini sama sekali nggak ada yang perlu perbaikan."

Entah ini nasib sial milik Frans, atau justru milik Aksara sendiri.

"Tapi lo udah ngerusak akhir cerita Frasa."

Maaf kalau Leon agak maksa. Hak untuk memilih pergi atau tetap di sini itu mutlak menjadi milik Aksara Aurellin Pradikta. Leon takkan ikut campur.

Tapi tidak dengan cara begini. Tidak dengan kebodohan yang sedang Leon tonton sekarang ini.

Tapi lo udah ngerusak akhir cerita Frasa.

"Aku?" Aksara menatap tak percaya.

"AKU APA TEMENMU?!"

Helaan nafas berat Leon keluarkan melalui mulut. Meniup poninya yang juga terlihat sangat tak beraturan. Urusan nanti kalau Aksara juga akan membencinya. Tapi memastikan cewek di depannya ini tidak tersiksa lebih jauh lagi adalah satu-satunya hal yang harus Leon jalani.

"Jangan kayak gini."

Aksara diam. Hanya terus menangis sesenggukan.

"Lepasin cincin itu." Leon memerintah lagi. Membuat lawan bicaranya menggeleng seketika.

Sudah jelas kalau Aksara akan menolak. Maka dari itu tangan Leon meraih pergelangan Aksara yang terlihat memerah dan sedikit basah.

Gadis itu berontak. Menarik pergelangan tangannya secepat yang ia bisa. Aksara ingin mundur tapi tak kuat untuk berdiri.

"Lo bisa marah, Sa. Lo berhak milih."

"Tapi nggak gini caranya." Lagi lagi kalimat ini.

"Enggak dengan lo ngasih tau Frans kalo lo udah punya status kepemilikan."

"Terus apa? Kamu mau ngadu sama Frans?!"

Respon Leon ditunjukkan dengan gelengan.

"Ngadu aja," –Aksara mendongak dengan satu mata memicing. Pasrah menyelimuti. "Ngadu aja kalo kamu berani!"

"Gue nggak akan bil–"

"Aku nggak ngelarang," sergah Aksara. "Biar sekalian semua orang tau. Termasuk biar kamu juga tau, kalo aku siap ngelakuin apapun biar dia bener bener pergi dari jalanku!"

Sejenak, Aksara mengangguk. Berusaha mengambil nafas panjang yang tentu saja gagal ia lakukan. Cewek itu menatap tepat ke dalam manik mata legam milik Leonardo.

"Harusnya kamu ngerti, Le. Lebih baik dia nggak ada di jalanku, daripada dia di sana cuma jadi kerikil pengganggu."

***

Seminggu berlalu sejak Frans tau Aksara telah menerima ikatan orang lain sebelum gadis itu sempat memaafkannya.

Frans stress. Kurang waras. Beruntungnya belum mencapai tahap  gila.

Tapi memang benar. Kesehatan Frans menurun. Bahkan setelah semua yang terjadi, otak kecilnya masih saja tidak mau bekerja sama untuk mengingat apapun. Hanya potongan potongan tidak berguna yang Frans harap tidak datang dengan cuma-cuma. Tapi bodoh saja rasanya, cuilan-cuilan memori itu cuma sampah kalau hanya datang setengah-setengah.

Jujur saja. Sekarang Frans harap amnesianya akan permanen. Walaupun pemilik nama Sanjaya ini sendiri tidak tau apakah ada amnesia yang permanen atau tidak. Yang ia tau, dirinya tak mau lagi terjatuh. Tidak juga berkeinginan untuk mencari tau lebih jauh.

Karena sudah jelas. Ingatan langka itu hanya membawa mala petaka. Dan lagi juga, untuk apa Frans ingat?

Selama ini, luka itu hanya berusaha untuk diobati. Tanpa sadar kalau luka yang sama telah membusuk terkikis obat itu sendiri.

Tidak ada yang bisa diperbaiki. Karena pada dasarnya memang kerusakan yang terjadi sudah terlalu berarti.

Cedera yang ada sudah terlanjur menganga. Dan cerita dalam aksara frasa hanya akan mengisahkan duka.

Semakin hari Frans semakin sadar sudah tidak ada yang bisa dilakukan. Sialnya itu hanya sebatas kesadaran. Tanpa dirinya sanggup merealisasikan dalam suatu perbuatan.

Buntu. Benar benar buntu apa yang harus Frans kerjakan sekarang. Sepi yang menyerang tanpa henti terus saja memaksanya menggerogoti diri sendiri.

Banyak waktu hanya Frans gunakan untuk melamun. Dirinya tidak berani bertanya tentang kemana Aksara pergi. Tentang apakah album itu benar benar dibuang oleh pemiliknya? Frans tidak berani memikirkan akan seperti apa jika dia bertemu dengan Aksara lagi nanti.

Tidak berani.

Nyali Frans ciut hanya dengan membayangkan.

Bagaimana tidak? Mengingat hubungan rusak ini memang tidak seharusnya terus diperjuangkan.

Terlalu banyak pertanyaan yang tidak mungkin Frans lontarkan. Hal ini membuatnya bingung sendiri. Pikirannya kosong. Tapi isi kepalanya terasa begitu berat.

"Meow!!!"

"Turun, Kay," panggil Frans. Entah bagaimana kucing itu bisa ada di atas lemari.

"Meow!"

"Iya iya. Entar kalo Aksara pulang lo gue balikin langsung. Nggak usah berisik."

"Meow!!!"

"Ck!" decak Frans. Bola bulu abu-abu itu akhir-akhir ini terlihat sering marah-marah.

"Siapa suruh lo nggak mau dibawa sama Alfa? Sekarang kalo Aksa lama ya jangan nyalahin gue, lah!"

"Meowww!!!!" Kay masih menatapnya tidak bersahabat.

"Masalahnya gue juga nggak tau dia kemana. Udahlah, ah bawel bener. Sekarang itu terakhir lo bisa main sama gue. Jadi sampe Aksara pulang, mending lo puas-puasin diem di sini."

Seakan mengerti, Kay akhirnya diam. Menekuk kaki dan meringkuk di atas lemari biru milik Frans.

"Nah gitu nggak berisik kan enak." Frans ikut melipat tangan. Meletakkan kepala peningnya pada lengan yang sudah tersilang di atas meja belajar.

Clink

Frans mengabaikannya.

Clink

Lagi, Frans mengabaikannya.

Clink

Maish diabaikan.

Dua detik berikutnya Frans berdecak. Satu tangannya beranjak mengambil ponsel yang masih menancap pada charger, lalu mencabutnya dengan kasar.

Leonardo

Frans yang bermimpi atau ponselnya yang sudah sakit jiwa? Tombol hijau langsung dia geser.

"LO KEMANA AJA, ANJIR?!"

"Yon? Leon?"

Gerakan tangan Frans membuat ponsel itu menjauh dari indra pendengarannya. Frans menatap layar ponsel yang tidak mengeluarkan suara apapun. Bahkan hingga sepuluh detik berlalu, orang di seberang sana tidak juga menjawab.

Tut!

Detik ke dua belas. Panggilan telfon itu diakhiri secara sepihak oleh lawan bicaranya. Dan tanpa pikir panjang, Frans langsung membuka tiga pesan yang masuk belum sampai satu menit lalu. Tiga tiganya dari Leon.

Wooden Caffe

23.45

Toleransi telat, 5 detik. Nggak lebih.

Wooden Caffe dimana?

Bagus. Sudah centang satu. Reflek saja Frans melirik jam di bagian tengah atas ponselnya. 23.31

Oke. Ternyata bukan Frans atau ponselnya yang gila, tapi Leon yang memang sudah sakit jiwa. Cowok itu hanya memberikan waktu lima belas menit untuk sampai. Sedangkan pemuda tersebut juga tidak bilang dimana letak kafe yang dia sebutkan.

Dua menit berlalu sejak Leon menelfon. Ponsel Frans sekarang berada pada aplikasi google maps saat tangannya menyambar jaket jeans di ujung kasur. Tak lupa kunci motor dan sepatu yang baru dia beli tadi sore.

23.35

Frans pergi untuk mencari kebenaran.

Kaos putih bercorak marble memancing fokus mata Frans. Pemuda dengan topi hitam dan tangan dimasukkan saku celana itu justru berjalan menjauh. Dan tentu tak tinggal diam, Frans berlari mengejar.

"Yon!" panggil Frans.

Meskipun tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu, Frans yakin dia tidak salah memanggil. Perawakannya dari belakang persis dengan Leonardo yang pernah Frans kenal.

Pemuda itu tak menyahut. Makin mempercepat langkah. Dan tentu saja Frans tak mau kalah. Kakinya memilih berlari kecil.

"Yon!"

"Dua tiga lima dua."

Frans tersenyum meledek. "Kalo lo emang sama sekali nggak nerima keterlambatan di atas lima detik, lo bakal pergi dari tujuh menit lalu."

"Bukannya masih diem di sini dan berusaha nunjukin kalo lo nggak mau ngomong sama gue."

Cerdas. Memang pada dasarnya menebak dengan akurat perilaku orang lain adalah bakat Frans sejak lahir.

Ya... Kecuali terkait pertukaran antara Sania dan Aksara. Itu kecelakaan.

Leon menatap datar tanpa ekspresi. Kemudian kembali melanjutkan langkah dengan pelan. Frans mengikuti dari belakang. Melewati beberapa pintu dan menapakkan kaki pada anak tangga yang entah akan membawanya kemana.

"Mau ngomong apa?"

"Gue kira lo yang perlu ngomong," balas Frans keheranan.

Logikanya, Leon yang mengirim pesan duluan. Berarti dia juga yang punya topik pembicaraan, kan?

"Gue denger dari Kak Alfa kalo lo nyariin gue. Apaan?" tanya Leon.

"Lo dari mana aja?"

"Nggak dari mana mana." –Leon menatap kosong ke arah langit. "Atau..., nggak penting juga si sebenernya lo tau."

Tapi Frans penasaran. Kepergian Leon yang secara tiba-tiba tidak hanya membuat dirinya yang bertanya-tanya. Tapi sebagian warga Lunar juga memiliki pikiran yang sama.

Melihat Frans yang memperhatikannya tanpa menjawab apapun, Leon kembali membuka mulut. "Udah? Lo nyari gue cuma buat tanya itu doang? Cuma buat ngepoin gue kemana?"

"Tadinya enggak. Sekarang iya. Itu doang."

"Bagus deh. Lo bisa pergi sekarang. Gue capek. Mau mandi."

"Lo beneran nggak mau bilang lo habis dari mana? Ya...," –Frans menggaruk tengkuknya bingung, "ya maksudnya gue penasaran aja gitu besok-besok lo masuk sekolah apa enggak."

"Gue masuk apa engga juga bukan urusan lo ga, si? Atau... Lo yang udah mulai suka ikut campur urusan orang?"
Leon tersenyum miring.

"Nggak penting lo tau gue kemana. Dan ya, gue bakal sekolah lagi mulai besok."

"Ooh, oke," balas Frans tak berani memperpanjang.

"Kalo ternyata lo nyari cuma kepo gue kemana, gue nggak bisa jawab. Sekarang lo bisa pergi kalo nggak ada yang mau diomongin lagi."

"Lo sendiri? Cuma mau jawab itu?"

Tidak salah Frans bertanya. Rugi kalau dia datang kesini tergopoh-gopoh hanya untuk percakapan sialan yang tidak sampai satu menit.

Dalam hati Leon tersenyum. Umpannya dimakan dengan sangat baik oleh anak bungsu keluarga Sanjaya.

"Terus gue harus bahas apa?

"Flashdisk yang gue kirim?" Tuding Leon diiringi senyum miring.

"Buang aja, Frans. Udah nggak penting."

Anggukan kecil dilakukan Frans untuk merespon perintah lawan bicaranya. Benar, semuanya sudah tidak penting.

Ah... Walaupun dalam bagian terdalam hatinya tidak bisa menyangkal, kalau kedatangan Frans ke sini memang karena isi dari flashdisk itu.

Bukan apa-apa. Frans masih dalam fase menjauhi dan melupakan Aksara. Atau simpelnya, belum berhasil.

"Justru gue kira lo ngajak ketemuan buat bahas flashdisk itu. Ternyata enggak. Ya udah, gue mau balik."

Leon melipat kedua tangannya di dada. "Tadinya gitu," tutur Leon sambil kembali menatap langit.

"Cuma gue udah denger berita terbaru. Dan gue kira lo nggak tertarik bahas tu cewek sekarang."

Alis Frans bertautan seketika. "Lo bilang lo baru balik malem ini?"

"Iya, terus?"

"Gue perjalanan ke sini udah nanya semua orang yang sama-sama kita kenal, lo ngehubungin mereka apa enggak. Mereka udah tau lo kemana apa enggak. Dan lo udah ngasih kabar ke mereka apa enggak."

"Dan semua jawab enggak, Yon."

Leon justru mengangkat alis. "Emang enggak," jawabnya yakin. "Terus? Masalah buat lo?"

"Barusan lo bilang udah denger berita terbaru. Jadi lo tau dari mana?"

"Gue?" Leon menuding dirinya sendiri dengan tatapan meremehkan. "Lo nanya gue tau dari mana?"

"For your information aja, gue lebih tau daripada lo."

"Oh, sorry sorry, harusnya nggak gue perpanjangan pembahasan ini. Lo bisa pergi sekarang."

"Le..."

"Hng?"

"Keberatan kalo gue yang minta perpanjang?"

Oke. Frans kalah. Hanya untuk mencari tau informasi tentang Aksara tanpa menghubungi atau mengganggu gadis itu bukan hal yang salah, kan?

Tahan, Frans... Tahan. Tahan agar tidak lagi mempertanyakan Pradikta. Tahan agar Aksara tidak lagi tersakiti olehnya. Tahan, dan pulang.

"Keberatan."

Sorot netra Frans tampak sendu. Memohon. Hingga indra pendengaran Frans menangkap helaan nafas panjang dari lawan bicaranya.

"Lo bilang lo udah mau berhenti. Gue nggak mau memperkeruh suasana."

"Lagian lo juga dikasih tau kalo Aksara–"

"Udah tunangan, kan?" potong Frans.

Leon mengalihkan fokus. Menusuk bola mata legam yang tertimpa remang cahaya bulan. Berusahalah menyelami setiap detail, dan mencari tau apa yang pria itu pikirkan. "Dan gue udah dikasih tau kalo lo nyerah," imbuh Leon.

"Jadi... Apa lagi yang musti diperpanjang?"

"Lo udah tau duluan kalo Aksara tunangan?"

Mendengarnya, Leon langsung terdiam.

"Kapan, Le? Kenapa lo nggak sekalian tulis di file file yang lo kirim?"

Leon masih membeku. Memandangi Frans dengan wajahnya yang sama sekali tidak mebampilkan ekspresi.

Dan tepat sebelum lawan bicaranya melanjutkan ucapan, Leon duluan membalas. "Lo bisa pulang sekarang," tuturnya. "Kalo lo emang sayang sama Aksara, lebih baik lo nggak nyari tau lebih jauh."

"Biarin dia pilih jalannya sendiri."

"Dan kalo lo udah bukan lagi bagian dari jalan itu, gue mohon lo bisa terima, Frans. Ini keputusan Aksa."

"Lo pasti tau ini demi Aksara."

Iya iya iya. Frans tau. Tapi sulit untuk tidak mencari tau ketika semua informasi yang ada selalu berputar di sekelilingnya. Itu normal, kan?

"Sebelumnya gue bantu biar kalian bisa balik kayak dulu lagi. Sebelumnya gue dukung lo, Frans. Tapi sekarang, sori."

"Iya. Gue tau gue labil."

"Makanya gue nggak mau ngerusak pendirian dan keputusan yang udah lo buat," jelas Leon mengimbuhkan. Tangannya terkepal gugup.

Dan kelabilan itu masih ia rasakan bahkan sampai detik ini.

"Lo yakin? Nggak ada yang perlu lo omongin lagi?" –Frans menatap penuh harap. "Nggak ada yang perlu gue tau?"

Hanya demi mendapati lawan bicaranya yang menggeleng pelan mengecewakan.

Pemuda itu tersenyum kecut. Harapan terakhirnya adalah Leon. Kembali dari pengasingannya yang entah kemana, dan hadir untuk meluruskan semua yang ada. Membela Frans di depan Aksara dan meyakinkan gadis itu untuk memaafkannya.

Ternyata tidak.

"Oke," –Frans mengangguk. "Gue permisi."

Buku-buku jari Leon semakin menegang. Tangannya menerah terkepal kuat. Leher Leon berkeringat. Padahal, tentu malam ini dingin. Pemuda itu memejamkan mata sejenak. Membiarkan suara langkah kaki Frans memenuhi setiap inci dari otaknya. Membentuk gelombang, menembus gendang, dan membuang Leon semakin ditelan bayang.

Karena jujur, Leon rasa ini juga bukan keputusan terbaik yang bisa Aksara buat.

Jadi... Dirinya harus apa?

Bodoh rasanya. Jika haru ikut tersakiti untuk suatu permasalahan yang bahkan tak membutuhkan adanya Leonardo di sini.

Bukan hanya Frans, Leon pun menyukai Aksara.

Bukan hanya Alfa, Leon juga turut menjaganya.

Dan bukan hanya Aksara, Leon pun terluka dengan semua masalah yang ada.

Karena pada dasarnya, saat ini mereka telah sampai pada titik balik semua hubungan.

Titik balik yang sama sekali tidak memungkinkan apapun untuk diperbaiki.

•|FRASA|•

COMING SOON PART 61

Continue Reading

You'll Also Like

23.1K 2.4K 47
"Ngapain lo!" Suara seseorang menyadarkanku, membuatku berbalik lalu menatapnya intens. Cowok belagu lagi. "Menurut lo, gue ngapain disini?" Ucapku s...
5.2K 818 43
Bagas dapat melihat masa depan setelah menerima kalung keramat pemberian Diyana. Ia sering mendapatkan mimpi-mimpi aneh. Terutama mengenai hal yang b...
48.1K 11.2K 49
Siapa sangka wajah ayu nan kaku yang ia miliki ternyata topeng penutup ribuan diksi luka. Namanya 'Alkena' sebuah definisi kuat layaknya ikatan rangk...
5.3K 984 33
Sasi, perempuan pendiam di kelas. Sangat misterius. Dalam sejarahnya, tidak ada lelaki yang mendekati Sasi. Padahal usia gadis itu sudah bisa dibilan...