CERITA TENTANG MIA

By IdkuSalmanputra

1.8K 1K 137

Mia, gadis cantik, anak dari salah satu konglomerat di kota Jakarta. Mia memang sudah terkenal dengan sifatny... More

CERITA TENTANG MIA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.Seseorang
24.
25.
26.Masalah
27.
28.Kencan
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.Rasa

38.

11 2 0
By IdkuSalmanputra

38.

Dear: Bubu

Aku udah siapin sarapan diatas meja, maap ya, nggak ada roti atau susu adanya cuman nasi goreng buatan aku. Kalau nanti kamu suka, makan ya sampai habis, kalau nggak suka, ya udah buang aja. Aku duluanx soalnya ada urusan di sekolah mendadak.

From: PacarKamu.

Cowok itu hanya cengengesan sambil menggeleng-geleng kepala setelah membaca isi dari selembar kertas yang ada di tangannya ketika bangun tadi. Sejak kapan gadis itu selembut itu padanya 'Aku kamu' haha. Bima bergegas pulang untuk bersiap-siap menyusul Mia yang sudah terlebih dahulu pergi ke sekolah.

****

Bima turun dari sepeda motornya, melepas helm, jaket hitamnya yang terdapat bacaan F*ck society di bagian punggung, dan berjalan sambil menggantungkan tas ransel bertumpu di bahu kanannya. Bertepatan sewaktu dia ingin masuk, matanya menangkap Laras juga baru datang. Tapi cewek itu terburu-buru menghindar begitu menemukan Bima di sebelahnya, Bima mengdesah jengkel. "Lo kenapa, gue ada salah sama lo?" teriaknya sampai jadi pusat perhatian.

Pandangan Bima tertuju pada papan pengumuman yang terlihat ramai. Seluruh murid berkumpul di sana, pemandangan terlangka, sejak kapan papan pengumuman dipadati oleh siswa? Karena biasanya yang ditempel disana hanya puisi tentang guru, terima kasih guru, atau cerpen cinta picisan. Dan yang mau meluangkan waktu melihat papan pengumuman hanya dari golongan anak kutu buku yang gemar membaca. "Eh ada apaan?" Bima bertanya pada salah satu siswa yang baru saja melihat.

Cowok itu tergagap, terlihat ketakutan. "Aaa__itu__ada, foto__"

"Apaan sih?"

"Itu ... Kak__" Bima melihat badge kelasnya. Kelas sepuluh. Pantas setakut itu.

"Nggak guna ya gue nanya sama lo, dah awas minggir," bentaknya kesal. Adik kelasnya itu segera lari.

Dengan tubuh tingginya, Bima bisa leluasa untuk bergerak maju dan akhirnya bisa melihat apa yang ada di papan pengumuman. Foto Mia, foto yang pernah Arka tunjukan waktu itu setelah Arka diam-diam menyelipkan kamera di kamarnya. Bima melihat Mia yang berdiri di kerumunan itu, cewek itu awalnya membeku, wajahnya memerah, lantas detik berikutnya dia berlari untuk merobek semua foto yang ada di papan pengumuman.

"Siapa yang nempel foto ini? Cepat ngaku!" teriaknya dengan suara bergetar.

Bukannya menjawab, orang-orang itu justru bersiul, bersuit, dan segala macam jenis pelecehan verbal. "Boleh juga bodinyaaaa, mulussss," terutama para siswa yang berkomentar melecehkan.

"Ini apaan sih berisik?" suara Bima membuat orang-orang menoleh ke belakang, sebagian memilih untuk tutup mulut. Keheningan mencuat, kini menyorot pada seseorang yang menjadi pusat perhatian dari seluruh pasang mata. Para siswa itu saling sikut-menyikut, dan berbisik, "Eloo sih," satu sama lain.

"Kok diem? Gue nanya, ini lagi pada ngapain?"

Melihat kemunculan Bima, entah mengapa air mata Mia tumpah. Satu-satunya orang yang dia harapkan untuk membela saat semua orang kini menghujamkan pedang bersiap menusuknya. Mia menatap sosok tinggi itu, seperti tatapan seorang anak kecil yang mengharapkan pembelaan pada ayahnya.

Bima membalas tatapan Mia. Tidak bisa dia pungkiri, dia mengerti arti tatapan itu meskipun dalam jarak jauh. Seolah ada redar otomatis menyala dan membisikan melalui isyarat tanpa bahasa. "Iya udah kalau nggak mau jawab, silahkan dilanjutkan aksi kalian, tapi jangan terlalu berisik ... Takut ketahuan sama guru." ucapnya dan sukses membuat Mia mati kutu. "Gue ke kelas ya," lantas cowok itu berbalik ke kelas diiringi senyuman yang puas.

Ucapan Bima berhasil menghancurkan harapan yang sudah di bangun Mia tinggi-tinggi. Nyatanya harapan itu hanya ilusi sesaat dan membutakan. Tangan cewek itu terkepal membentuk tinju, air matanya tertelan, dia tahan agar tidak keluar hingga belakang bola matanya terasa sakit.

"Ok, nggak apa-apa, gue bakalan nyari tahu siapa yang nyebarin foto ini. Jangan kira kalian bisa lari."

****

Bima menguap sewaktu mendengarkan Pak Seto menjelaskan tentang pelajaran Matematika. Bagi Bima, Matematika adalah pelajaran paling tidak penting. Mau tahu kenapa? Karena harus mengukur panjang dari sebuah persegi, atau diameter dari roda mobil dan motor, atau paling tidak pentingnya harus menghitung sin cos tan. Bagi Bima, pelajaran itu tidak akan mungkin dia aplikasikan dalam kehidupan nyata. Semacam kegiatan untuk menyusahkan diri sendiri. "Oi, gue sebat dulu ya, asem mulut gue." katanya berbisik kepada Davin dan Gavin.

Bima mengangkat tangan. "Iya ada apa?"

"Izin ke toilet, Pak, sakit perut. Kayaknya bakal lama, soalnya dari pagi__"

"Iya udah, tidak perlu kamu jelaskan. Sudah sana!" Pak Seto membentak jengkel, sementara satu kelas tertawa geli. "Diam, kita lanjutkan pelajaran!"

Setelah mendapat izin, Bima berlari menuju ke gedung belakang sekolah. Salah satu tempat terlaknat, di mana anak SMA Tunas Bangsa bebas merokok tanpa sepengetahuan guru, tidur, atau sekedar nongkrong ramai-ramai waktu jam pelajaran dan tetap tidak ketahuan guru. Terkecuali Pak Amin, tukang sapu di SMA Tunas Bangsa, karena tempatnya dekat dengan tempat peletakan sapu beliau.

Baru saja beberapa langkah Bima berada di sana, telinganya mendengar sesuatu. Isak tangis seseorang. Dia mengikuti arah suara dan menemukan Mia terduduk di pojok tembok, dengan ponsel berada di telinga. Bima bersembunyi, takut ketahuan. "Ma, Pa, aku nggak tahu kalian bisa denger ini atau nggak, tapi kalau nanti kita bisa balik kayak dulu lagi. Aku cuman mau bilang biar Mama pulang, dan Papa cepat keluar dan bisa bareng-bareng lagi sama aku."

Bima mendengar Mia semakin terisak, "Pulang Ma, aku laper tadi pagi belum sarapan. Untung aku ketemu sama Nek Ira Ma, dia baik banget sama aku karena udah mau ngajarin aku buat bikin nasi goreng. Tadi pagi tangan Mia kena gosokan, melepuh dikit, untungnya nggak apa-apa. Terus, aku juga takut Ma mau sekolah, teman-teman berubah jahat. Kalau ada Mama, kan, siapa tahu Mama bisa kesini buat belain aku. Pulang ya, Ma, jangan lama-lama di sana. Aku nggak mau tidur sendirian, suka kebayang ada hantu." Hening sekian lama, Bima masih berjongkok, bersembunyi, hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki menjauh. Sepertinya Mia sudah pergi. Bima beringsut keluar dari tempat persembunyian. Lantas merogoh saku belakang celana, mengeluarkan sebatang rokok yang dia jepit di bibir.

****

Foto yang tersebar itu tidak hanya membuat Mia mati kutu, tapi juga merasa kalah dalam segala hal. Dia pun tidak tahu siapa seseorang yang tega melakukan hal itu padanya. Mia merasa seperti di telanjangi di depan umum hingga membuatnya malu pergi kemana-mana, bahkan meskipun bel istirahat telah berbunyi. "Gimana rasanya dipermaluin di depan banyak orang?" Mia mendongka dan menemukan Tiara menatapnya, "malu, kan? Gue nggak tahu sih siapa yang nempelin itu, tapi kayaknya dia mau nunjukkin kalau cewek kayak lo memang nggak pantes ada di sebelah Bima."

Mia mengerenyit. "Mau lo koar-koar sampai mulut lo keluar busa pun, faktanya Bima cowok gue."

"Nggak tahu malu."

"Tiara, udah deh, kita ke kantin aja yuk." Jessy segera menarik lengan Tiara untuk berlalu.

"Ok deh, byeeee." Dengan gerakan yang dramatis, Tiara melambaikan tangan sambil meledeknya dengan puas karena merasa kalau kemenangan sudah berpihak padanya. Tiara segera bergegas keluar kelas bersama teman-temannya. Meninggalkan Mia seorang diri. Perutnya berbunyi, memberi bel kalau sudah waktunya untuk diisi asupan kembali. "Tahan ya, bentar lagi," katanya bicara sendiri sambil mengusap perut.

Di kantin ada banyak orang, dia tidak tahan dengan tatapan orang-orang yang menatapnya seakan sedang melecehkan. "Kenapa chat gue nggak dibales?" Mia terkejut begitu mendengar suara seseorang. Bima. "Kan gue udah bilang, kalau gue chat itu bales."

"Gue nggak liat hape."

"Gue nyuruh lo beli makanan buat gue di kantin."

"Kenapa nggak beli sendiri? Lo nggak liat apa, gue aja milih buat nggak pergi ke kantin!"

"Kenapa?" Bima balik bertanya. "Lo malu?"

"Menurut lo aja," Mia mengetuk-ngetuk pena ke meja, berusaha mengalihkan perhatian. "Udah sana pergi, gue mau sendiri."

"Lo juga udah biasakan jadi bahan omongan satu sekolah, kenapa sekarang tiba-tiba malu?"

Pertanyaan dari Bima tidak mendapatkan jawaban, Mia masih sepenuhnya terdiam. "Gue tanya, kenapa sekarang tiba-tiba lo malu?" karena tidak dibalas, Bima menaikkan suaranya dan tangannya memukul meja dengan keras hingga berhasil mengalihkan perhatian Mia untuk menatapnya tajam.

"Karena gue masih punya harga diri!" Mia mengatakan kalimat itu dengan mata memerah dan suara yang bergetar, "nggak apa-apa gue nggak dihargai, asal masih ada harga diri, gue masih bisa membela diri gue sendiri. Sekarang ... Dua-duanya udah nggak ada."

Bima menelan salivanya, butuh beberapa jenak baginya untuk berpikir ada rasa bersalah yang menyelimuti hati kecilnya. Dia merasa sangat bersalah karena tadi justru dia tertawa senang melihat penderitaan musuh bebuyutannya itu. Tapi disisi lain perasaan aneh itu kembali muncul secara tiba-tiba, ada perasaan gagal karena tidak bisa menjaga cewek yang kini hanya seorang diri saja tanpa hadirnya keluarga saat kedua orang tuanya tidak ada.

"Lo ikut gue sekarang." Bima mencengkram pergelangan tangan Mia tanpa permisi.

"Apaan sih lo maksa-maksa, nggak, gue nggak mau. Lo emang siapa?"

"Gue pacar lo!" balasnya singkat dan membuat Mia tidak bisa berdebat, akhirnya cewek itu hanya bisa menurut. Berdiri dari tempat duduknya dan mengikuti langkah Bima yang berjalan menuju kantin. Di kantin, Bima melepaskan cengkeramannya di tangan Mia dan gantian menarik kerah baju salah satu siswa yang sedang menikmati mie ayam. "Bangun lo anjing!"

Situasi kantin jadi panas. Beberapa orang berteriak dan memilih untuk pergi karena paham sebentar lagi akan pecah perang dunia ketiga. Beberapa pedang memilih untuk mengamankan piring, botol kecap dan sambal di meja. "Nggak usah narik-narik gue lagi makan," Siswa itu tidak terima. Dia tepis tangan Bima yang menarik kerah nya.

"Lo minta maap sama Mia."

"Buat apa?"

"Lo yang nyebarin foto itu!" Bima menebak tepat sasaran seperti yang ada di dalam otaknya. "Lo pasti disuruh bajingan itu buat nyebarin foto-foto itu di papan pengumuman, kan? Kasih tau gue sekarang dimana bestcamp temen lo yang cupu itu!"

"Cuma karena mau belain cewek jalang itu lo sampai rela ngajak temen lo sendiri berantem?"

BUG!

BUG!

BUG!

Berkali-kali Bima melayangkan tinju pada siswa yang terkenal dekat dengan Arka, walaupun itu Kakak kelasnya tak ada sedikitpun rasa takut dalam dirinya. "Cepat, kasih tau gue sekarang dimana Arka?"

Dengan napas terengah-engah dan satu ancaman dari Bima membuatnya tidak lagi bisa berkutik. "Dia ada di tongkrongan biasa dulu kita sering kesana." jawabnya dengan nada gemetaran ada rasa takut yang terlihat jelas di wajahnya.

Bima melepas kerahnya dengan kasar sampai membuatnya terhempas ke lantai. Bima kembali menarik lengan Mia untuk pergi dari kantin karena suasana kantin yang semakin gaduh. Bima mencengkram lengan Mia dengan emosi yang meledak-ledak, tapi Mia sendiri terisak karena melihat tingkah laku Bima yang susah sekali untuk di tebak olehnya.

Mia melepaskan lengannya dari cengkraman tangan Bima dengan kasar. "Ngapain lo tadi? Mau jadi pahlawan kesiangan, hah? Lo berharap biar nanti gue bakalan sujud-sujud berterimakasih di kaki lo karena lo udah nolongin gue gitu? Biar lo puas karena udah menang dan berhasil bikin harga diri gue semakin nggak ada harganya dimata orang lain. Itu kan tujuan lo."

"Lo ngomong apa, sih."

"Ngapain lo sok ngebelain gue tadi? Drama apa lagi?"

"Apaan sih."

"Bim, tadi gue kecewa banget sama lo, dada gue sesak rasanya pas lo nggak sama sekali ngebelain gue di depan orang sebanyak itu tadi pagi. Lo justru kelihatan senang ngelihat penderitaan gue pagi ini. Sebahagia itu ternyata lo kalau lihat gue menderita, iya? Gue berharap banget kalau tadi lo bakalan belain gue habis-habisan, tapi nyatanya nggak. Gue kecewa sama diri gue sendiri yang terlalu percaya kalau lo itu adalah satu-satunya benteng di kehidupan gue yang sekarang nggak jelas kayak ginii. Tapi yang gue lihat justru lo ngedukung harga diri gue semakin jatuh. Sesakit itu rasanya." Mia mengepalkan kedua tangannya, dadanya mulai terasa sesak dan bola matanya terasa sakit.

Bima hanya terdiam mematung.

"Sekarang, lo pergi dari hadapan gue." perintah Mia tapi tidak sedikitpun di gubriskan oleh Bima. "Pergi, gue bilang pergi sekarang!" suara Mia kembali meninggi.

"Gue minta maap."

"Pergi sekarang, Bim! Atau jangan pernah lo harap bisa kenal lagi sama gue."

Bima mengalah untuk memberikan waktu Mia untuk menyendiri. Bima membalikkan badanya melangkah tanpa arah dengan hati yang gundah.

BUG!

Bima terkejut mendengar suara itu. Langas langsung berbalik dan menemukan Mia yang sudah terkapar dan tidak sadarkan diri. "Mi ... Bangun Mi," Bima mencoba menepuk-nepuk pipi Mia agar dia sadar. Tapi tidak berhasil. Bima langsung mengangkat Mia menuju UKS. "Mi, gue minta maap." ucapnya saat menatap wajahnya, dia benar-benar merasa bersalah.

Bima langsung membaringkan Mia dan segera mengambil minyak angin untuk menyadarkan nya. "Mi gue salah, gue minta lo bangun sekarang." Bima terus menggosok-gosokan minyak angin di hidungnya.

"Aw, sakit." rintih Mia sambil memegangi kepalanya. Dia masih belum sadar kalau Bima ada di sampingnya menemaninya.

"Mana yang sakit, bilang sama gue."

Mia menatap pemilik suara itu. Bima. "Ngapain lo disini! Jangan bilang lo yang bawa gue ke sini."

"Iya, emang kenapa?"

"Drama apa lagi sih? Belum cukup mempermalukan gue tadi pagi? Belum puas? Kalau lo nanya mana yang sakit diantara anggota tubuh gue sekarang, disini." Mia menunjuk ke arah hatinya, mata Bima ikut melihat. Dia paham. "Bim tolong hargain gue sedikit aja, kalau lo emang suka sama Laras silahkan gue nggak apa-apa, kan memang semua ini cuma rekayasa kita bukan? Tapi gue cuma minta lo ada saat gue bener-bener susah dan gue nggak tahu harus berharap satu pertolongan darimana lagi."

Bima terdiam.

"Kenapa lo diem aja? Emang benar banget apa yang lo omongin sama gue, nggak akan pernah ada orang bahkan cowok yang tulus sama gue, salah gue udah berharap sama lo." Mia menyeka air matanya sambil tertawa sumbang meratapi nasibnya lagi dan lagi. "Minggir!" Mia mendorong Bima dari hadapannya.

"Mau kemana, lo belum sembuh."

"Mending gue mati sekalian." Mia melepaskan tangannya dari cengkraman Bima.

"Ngomong apa sih lo."

Tanpa basa-basi Mia langsung berlari meninggalkan Bima. "Lo mau kemana, gue anterin." teriak Bima, tapi Mia tidak sama sekali menoleh. Bima mengejarnya sampai membuntuti Angkutan Umum yang Mia naiki. Tapi Mia dia belum sadar dan masih setia dengan air matanya karena merasa kecewa dengan harapan satu-satunya. "Gue minta maap mi." ucap Bima sekali lagi dalam hati. Bima menambah kecepatannya dan menyeimbangkan motornya dengan pintu Angkutan Umum agar bisa berbicara dengan Mia untuk turun dan di antarkan. "Mi, turun."

"Heh! Gila lo ya. Lo ngapain ngikutin gue kayak gitu, bahaya. Lo balik lagi ke sekolah sekarang." teriak Mia dari dalam.

"Lo turun dulu biar gue yang anterin lo pulang."

"Gue nggak mau, nggak usah sok peduli sama gue Bim, lo urusin aja cewek lo yang maha sempurna itu. Jangan pernah dekat sama cewek kayak gue."

"Lo ngomong apa sih."

"This is reality, Bim."

"Lo yakin nggak mau turun?"

"Yakin."

"Oke." Bima langsung putar balik masih dengan emosi yang tak kunjung meredam. Bima sekilas melihat Mia, tapi Mia tidak sama sekali membalas menatapnya. Bima menghembuskan napas kasar lalu menarik gas dengan kecepatan tinggi. Setelah mendengar suara motor Bima sudah cukup jauh, Mia langsung membalikkan badannya dan tidak lagi menemukan sosok Bima disana. Apa sikapnya keterlaluan karena sudah terus-terusan menyudutkannya? Memang dia siapa, dia hanya pacar pura-pura yang dia sepakati tanpa aba-aba. Tapi rasa bersalah itu kian membesar.

"Neng, ini lanjut perjalanan nya?"

"Iya, Pak." Mia menelan Saliva nya. Ada perasaan khawatir di hatinya dan entah apa penyebabnya.

Sesampainya di rumah. Mia langsung mengganti pakaiannya dan bergegas untuk mencari keberadaan Bima karena tadi Kak Mira menelponnya dan menanyakan kemana adiknya itu pergi sampai hampir tengah malam seperti ini. "Lo dimana si Bim, lo bikin khawatir Kak Mira, termasuk gue." ucapnya dalam hati. Di dalam Angkutan Umum Mia terus merapalkan doa-doa agar Bima terhindar dari hal-hal yang buruk.

Air mata mulai menetes hangat di pipinya, dia tidak kuat lagi kalau harus mendengar kabar yang tidak menyenangkan dalam hidupnya. Mia menutup mata dengan kedua lengannya dan menenggelamkannya diantar kedua lututnya.

Cittttttt!!

Angkutan yang Mia tumpangi Tiba-tiba mengerem mendadak membuat kepala Mia terbentur pintu dan meneteskan cairan segar berwarna merah. "Pak, kenapa mobilnya? Kok tiba-tiba berhenti."

"Maap ya Neng, ban-nya bocor. Itu kepala Eneng luka maapin saya ya, apa mau saya antarkan ke rumah sakit?"

"Nggak, nggak usah Pak, saya juga lagi buru-buru saya turun disini aja ya. Ini ongkosnya."

"Nggak, nggak usah Neng, gratis buat Neng, sekali lagi saya minta maap."

"Nggak apa-apa, Pak. Yaudah saya duluan."

"Iya Neng, hati-hati."

Mia menekan salah satu nama di kontaknya, berkali-kali di hubunginya tapi tidak ada jawaban apapun dari sebrang sana. Tengah malam diluar sendirian seperti ini tentu hal menakutkan untuk Mia. Dia berjalan tanpa arah, pikirannya sudah meracau kemana-mana, takut di begal, jambret, rampok, penculikan. Argh!

Pak!

Seperti ada yang menepuk pundaknya. Mia sudah gemetaran karena pikirannya sudah terpecah belah. "Gue mohon lepasin gue, jangan culik gue ya. Gue cuma punya hape sama Ongkos buat pulang bang, tapi gue lagi ada urusan kalau mau jambret nyari ibu-ibu yang emasnya banyak aja bang, masa orang miskin kayak saya masih mau di jambret." ucap Mia sambil memohon-mohon tapi tidak berani menatap wajah yang mungkin sedang memperhatikannya.

"Mi," panggil seseorang yang tidak asing suaranya di telinga Mia. Dengan cepat Mia langsung membalikkan badannya, dan mendapatkan Gavin sedang berdiri di hadapannya.

"Ternyata lo Vin."

"Kenapa? Lo kira gue jambret? Eh btw, ngapain lo malam-malam disini jalan sendiri?"

"Gue lagi nyari Bima, Bima ada sama lo kan? Kalau ada suruh pulang, Kak Mira nyariin. Pliss deh, jangan nyusahin gue gitu."

"Tunggu," Gavin menarik lengan Mia.

"Apa lagi?"

"Justru gue sama Davin lagi nyariin Bima, gue kira sih ada sama lo."

"Hah?! Serius lo?"

"Serius. Gue udah nyariin dia muter-muter sampai kemana-mana dah, tempat tongkian nggak ada, di warung biasa juga nggak ada."

"Terus dia kemana? Apa jangan-jangan dia lagi pergi sama Laras?"

"Nggak. Tadi gue sama Davin udah telpon Laras dan Laras bilang dia nggak ketemu sama Bima sama sekali."

"Terus dia kemana, bikin gue khawatir aja sih."

"Yaudah, gimana kalau kita cari bareng-bareng aja pakai mobil gue?"

"Boleh deh."

Di dalam mobil hening sekali perasaan Mia campur aduk sekali, kemana sebenarnya Bima pergi, apa dia sedang menenangkan diri karena merasa bersalah. "Arghhh!" Mia memekikkan kalimat yang ada di dalam hatinya tanpa dia sadari, tentu membuat Gavin dan Davin terkejut secara bersamaan.

"Lo kenapa?" tanya Davin. "Sehat kan lo? Kalau lo sakit tadi gue habis beli obat Entrostop noh."

"Gue nggak mencret bangsat." ucap Mia sinis, sedang tidak ingin bercanda.

"Ya sorry, gue kan niat menghibur lo."

"Gue nggak butuh di hibur, gue cuma pengen tau Bima kemana dan dia nggak kenapa-kenapa, lo tau itu kan?"

"Iya maap."

"Udah-udah jangan pada ribut. Tadi terakhir kali lo liat Bima diamana Mi?"

"Dia tadi sama gue, habis itu dia pergi nggak tau mau kemana."

"Oke kita cari di tempat-tempat lain lagi."

Mia mengangguk. Setelah sekian banyak nya pemikiran bodoh yang dia pikirkan, akhirnya dia kepikiran untuk pergi menemui markas Arka, bisa jadi Bima pergi ke sana karena masalah yang belum selesai ujungnya. "Stop, gue berhenti disini." ucap Mia.

"Mau ngapain berhenti disini?" tanya Davin.

"Benerin genteng!"

"Astagfirullah, malam-malam kayak gini kejam amat."

"Bisik. Gue berhenti disini ya Gav, lo berdua lanjut cari dimana tempat kalian nongkrong biasanya."

"Tapi setau gue di ujung gang sana ada markas anak-anak yang brutal Mi, lebih tepatnya preman. Lo ngapain minta berhenti disini?"

"Gue ada urusan. Udah sana lo berdua pergi cari Bima, ini udah tengah malam, udah hampir pagi buta."

"Oke, hati-hati ya. Apa perlu gue temenin?"

"Nggak usah gue bisa sendiri, kalau gue ketemu Bima pasti gue kabarin, lo berdua juga sebaliknya oke?"

"Oke, hati-hati." teriak Gavin karena Mia sudah terlebih dahulu berlari meninggalkan mereka.

Mia berlari dengan sekuat tenaganya. Di ujung sana, Mia masih ingat ketika Arka pernah mengajaknya pergi sekali ke sana untuk merayakan ulang tahunnya tahun lalu. Dengan mental yang sudah dia siapkan, dan dorongan modal nekat. Mia langsung mengepalkan kedua tangannya.

Selangkah lagi Mia masuk ke dalam markas Arka, tapi langkahnya terhentikan setelah mendengar di dalam markas itu sedang ramai sekali suara tawa bersahut-sahutan. Mia membuka gerbang berukuran besar itu.

Mia terkejut ketika melihat Bima dan Arka bergulat dan sudah dalam keadaan babak belur satu sama lain. Mereka di kerumuni oleh banyak sekali orang yang ikut menonton aksi keduanya. Mereka seperti sedang menonton pertunjukan dua banteng yang sedang beradu, mereka bersorak ria ketika melihat Arka dengan puas memukul Bima. Bukannya mencari cara bagaimana memisahkan keduanya, mereka justru ikut memanas-manasi suasana. Mia tidak tahu harus melakukan apa, dia ingin sekali menghentikan keduanya, tapi Mia takut karena hanya dia sendiri perempuan disana.

BUG!

BUG!

PAKK!

ARGH!

BUG!

Suara itu bersahut-sahutan di telinganya, dia sudah benar-benar tidak tahan lagi melihat penderitaan Bima, dan luka lebam di seluruh wajahnya. Bahkan darah segar terus mengalir di bibirnya. "Bimaaa.." teriak Mia dari tempatnya berdiri. Cukup jauh. Tapi masih bisa di dengar jelas oleh telinga Bima. Tanpa rasa takut lagi, dengan cepat Mia menghampiri kerumunan menembus kelilingan para manusia biadap itu, mereka yang seharusnya memisahkan keduanya, bukan malah mengadu dombanya.

"Lo ngapain disini, gila lo, pergi!" bentak Bima, terkejut dengan kehadiran Mia disana.

"Nggak, gue nggak bakalan pergi sebelum lo udahin ini semua. Gue nggak mau lihat lo kayak gini."

"Pergi!"

"Lo jangan bodoh Bim, lo nggak perlu belain gue sampai segininya. Lo pulang ikut gue sekarang."

"Pergi!!!"

"Nggak."

BUG!

Satu pukulan mendarat di perutnya karena Bima tidak fokus. "Pergi sekarang!!"

Mia mengangguk takut. Baru saja dia ingin melangkah pergi, kedua tangannya sudah di cengkram erat oleh kedua cowok yang tidak dia kenal. "Lepasin gue!"

"Mau kemana lo."

"Lepasin gue, gue mau pergi."

"Jangan dulu, santai aja cantik, kita lihat penderitaan cowok itu sama-sama." salah satu cowok itu menunjuk ke arah Bima. Mia menatap Bima yang kembali membuat Arka babak belur tak di kasihnya ampun. Kalau Mia berteriak ke arah Bima untuk meminta tolong, pasti Bima akan kehilangan kefokusannya dan Mia tidak ingin itu terjadi, karena bisa saja Bima akan dengan mudah untuk dibuat seperti serpihan kaca. Mia berusaha bungkam.

"Heh! Lo liat siapa ini." teriak salah satu cowok yang memeganginya.

"Mia." Bima terkejut.

"Kalau lo sampai menang dan nggak nyerah sekarang juga. Nyawa cewek ini bakalan. Krghh!" cowok itu meniru adegan seperti psikopat.

"Jangan, jangan dengerin dia Bim, lo harus bela diri lo sendiri jangan peduliin gue, gue nggak bakalan kenapa-kenapa."

"Tapi ..."

"Ayok Bim."

"Lepasin cewek gue."

"Lo harus sujud minta maap dulu sama gue." ucap Arka dengan gaya tengil.

"Nggak Bim, jangan."

"Udah siap cewek kesayangan lo itu pergi roh-nya?"

"Bangsat! Pengecut." bentak Bima.

"Etss, berani nyentuh gue, dia nggak akan selamat."

BUG!

Semua terkejut.

Ketika melihat batu besar melayang dari tangan Arka. Tubuh Bima terhempas jatuh. Dengan darah segar yang mengalir dari kepalanya.

"Bimaaaaaaaaaaaa." teriak Mia histeris. Dia memberontak. Kedua cowok yang memeganginya langsung melepaskannnya dan kocar-kacir karena panik. Ini sudah termasuk kriminalisme.

"Bim, ini gue, gue ada disini." Mia mengangkat Bima keatas pahanya, lalu memeluk tubuh Bima dengan erat. Darah tidak henti-hentinya mengalir dari kepalanya. "Bim, gue mohon bertahan, gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

"L-o, ngga-k kenapa-kenapa kan?" Bima mengeluarkan suara, dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tapi bagi Bima, itu masih belum sebanding dengan rasa sakit yang tidak sengaja dia goreskan pada cewek yang kini sedang menatapnya dengan air mata yang bisa Bima pahami artinya.

"Cabut, cabut." komando Arka. Membuat mereka semua kocar-kacir. Dan meninggalkan keduanya.

"Gue udah bilang jangan sok belain gue, sekarang lo jadi kayak gini, gue bodoh banget nggak bisa cegah lo."

"Lo harus bertahan, gue nggak mau lo kenapa-kenapa." Mia mengeratkan pelukannya, tak di pedulikannya lagi darah segar ikut mengalir di lengannya.

"Lo tau kan, gue udah pernah janji buat jagain lo, jangan nangis lagi." kata terakhir yang Bima ucapkan sebelum tidak sadarkan diri.

"Bimaaaaaaa. Lo yang kuat. Jangan tinggalin gue," Mia panik. Tubuhnya gemetaran, napasnya mulai tidak teratur ketika melihat Bima sudah tidak sadarkan diri.

"Pak, Ambulance ke lokasi yang sudah saya shareloc, sekarang." napas Mia terengah-engah, dia semakin panik. Dia terus merapalkan doa di dalam hati sambil memeluk tubuh Bima ke dalam pelukannya. Dia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri, tidak seharusnya tadi dia menyalahkan Bima, ini adalah sepenuhnya salah dia karena terlalu ceroboh dalam hal apapun. Bagaimana dia menjelaskan semuanya pada Bunda, Kak Mira, dan Echa. Bunda memiliki riwayat penyakit jantung, bagaimana kalau dia drop karena kejadian ini. Dia akan menyakiti dua insan dalam waktu betsamaan.

****

"Heh! Emang dasar lo ya anak pembawa sial. Gara-gara lo Bima celaka, harusnya lo jauh-jauh dari dia dan sadar diri kalau lo itu orang miskin, nggak pantas ada di samping Bima."

"Lo pikir gue mau lihat Bima kayak gini?"

"Anak koruptor, pembawa sial."

"Jaga mulut lo, bangsat!"

"Udah-udah jangan berantem."

"Stop Tiara, kalau lo tetap nggak bisa diem, sana pergi, ini rumah sakit. " Bentak Gavin.

"Miaa." panggil seseorang. Mereka membalikkan badan, menemukan Kak Mira yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa menghampirinya.

"Kak Mira .." Mia merasa sedikiy tenang dengan kehadiran Mira.

"Udah-udah jangan nangis lagi, kamu nggak kenapa-kenapa kan? Apa ada yang sakit?" Mira mengecek seluruh tubuh Mia mencoba mencari barangkali ada luka disana.

Mia menatap Mira dengan nada sesak, dia tidak kuat lagi, Mia langsung memeluk Mira dengan erat sambil meluapkan rasa sakit di hatinya karena merasa bersalah. "Maapin aku Kak."

"Maap buat apa sayang."

"Maapin aku. Gara-gara aku Bima jadi masuk rumah sakit kayak gini, Kak." ucap Mia pasrah dan sudah siap jika harus menanggung konsekuensi dari Mira atas kejadian ini.

"Kamu nggak salah, mungkin ini udah takdirnya Bima."

"Tapi Kak ..."

"Udah jangan nangis lagi, kita berdoa aja supaya Bima nggak kenapa-kenapa."

"Kak," Tiara menghampiri Mira untuk menyalaminya, mungkin salah satu metode cari muka di situasi yang sedang mengujungkan dirinya. Tapi dari raut wajah Mira, dia seperti biasa saja, hanya tersenyum lalu kembali memeluk Mia untuk menenangkannya.

Klek

Pintu terbuka, keluar seorang dokter yang tadi masuk untuk menangani Bima di dalam. "Apakah ada keluarga dari pasien atas nama Bima disini?" tanya dokter itu.

"Saya, Pak." jawab Mira.

"Ikut saya ke ruangan saya, ada yang mau saya bicarakan."

Kak Mira mengangguk. Menghapus air mata Mia, lalu mengikuti dokter.

"Ada apa ya, Pak?"

A/N

Gimana? Pasti kepo kan sama kelanjutan kisahnya, tandain ini cerita, gas masukin halaman perpustakaan kalian sekarang juga wk. Jangan lupa votee.

Maap up nya agak tengah malam soalnya lagi sibuk banget sama sekolah yang bentar lagi ngadain PKL. Jadi sorry kalau jarang up, biasa orang sibuk hha.

Salam hangat dari gue🌻

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 143K 40
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
5.4M 368K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

539K 25.2K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.2M 253K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...