"Jadi, tidak ada yang aneh dengan kedatangan kita berdua ke rumah ini," kata Vida. "Benar, bukan? Atau kamu masih punya pertanyaan lain?"
"Mmm ... tidak," kata William ragu.
"Bagus. Kalau begitu sekarang waktunya tidur. Perjalanan masih sangat panjang, sementara kita sudah berada di sungai ini terlalu lama."
"Nah. Ini. Berapa lama lagi kita akan sampai di ... dukun yang kamu maksud itu?" tanya William. "Maaf, kalau aku bertanya lagi."
"Dua minggu. Bisa lebih cepat, karena kita mengikuti arus ke utara."
"Setelah itu, aku bisa kembali ke selatan?"
Vida termenung sesaat. "Jika kamu ingin kembali, kamu bisa kembali."
"Begini. Aku tahu kamu ingin aku membantumu lagi, dan mungkin aku akan membantu," kata William, "tapi kuharap aku bisa tetap punya pilihan."
"Aku mengerti."
"Dan jika aku hendak pulang, aku butuh perahu."
"Kami akan mengantarkanmu."
"Walau artinya kamu akan berada di selatan lebih lama?"
"Ya, itu konsekuensinya. Kamu tidak perlu ragu, itu janjiku," kata Vida.
William mengangguk-angguk. "Terima kasih."
Walau dalam hati sebenarnya ia masih agak ragu dengan janji itu. Ia masih belum bisa sepenuhnya percaya pada Vida.
Vida balas mengangguk. "Ada lagi?"
"Aku punya beberapa pertanyaan untuk William," tiba-tiba Freya berkata. Senyuman gadis berambut merah itu mengembang. "Cukup banyak. Bolehkah?"
"Tentang apa?" William nyengir melihatnya. Ia sempat takut, tapi kemudian yakin kalau pertanyaan dari Freya pasti akan ringan-ringan saja.
"Tentang ayah dan ibumu. Apakah mereka orang selatan juga?"
Senyuman di bibir William perlahan-lahan lenyap.
Freya memandanginya. Begitu pula Vida. Menunggu.
"Tentu saja," William menjawab. "Memangnya dari mana lagi?"
"Dari mana tepatnya?"
"Jika aku cerita, berarti kamu juga harus cerita tentang orangtuamu," balas William, coba mengelak. Untuk saat ini, ia belum mau Freya dan yang lainnya tahu kalau ayahnya adalah orang Hualeg, dari suku yang sama dengan mereka. Dari cerita ibunya dulu, ayahnya berselisih dengan saudara-saudaranya dari suku Vallanir, dan William belum tahu apakah hal itu baik atau buruk baginya jika Vida dan rekan-rekannya tahu. Bisa jadi berbahaya.
"Aku tidak masalah cerita tentang orangtuaku," kata Freya. "Ayahku—"
"Menurutku sudah cukup," Vida memotong.
Freya menoleh, menatapnya kesal.
Vida balas menatap dengan sengit. "Soal ini bisa dibicarakan lain waktu."
Diam sejenak, kedua kucing galak itu saling menatap, lalu dengan santai Freya menoleh sambil mengangkat bahu.
"Begitulah, kakakku sudah bertitah, dan artinya itu harus dituruti." Ia tersenyum pada William, dan pura-pura berbisik, "Kita bisa bicara besok, berdua saja, soal ini. Bagaimana? Setuju?"
"Hmm ... boleh ..." William meringis.
"Hei, kubilang sudah," Vida langsung menukas. "Waktunya tidur."
Semua orang patuh padanya. Kadang jika sedang diperintah begitu William jadi teringat pada ibunya, yang perintahnya singkat tetapi selalu terbukti efektif.
Setiap orang mengambil tempat favorit masing-masing. Vida dan Freya tidur di tanah berumput di samping rumah, William agak jauh di seberang api unggun, sementara tiga prajurit tidur lebih jauh dan berjaga bergantian.
William awalnya tidak merasa mengantuk. Mungkin itu gara-gara ia sudah tertidur selama tujuh hari. Tentang hal ini, semua orang bilang ia pingsan, tapi ia masih menganggapnya sebagai tidur. Jadi, jika ia sudah tidur lama selama berhari-hari, buat apa lagi ia tidur sekarang?
Namun ternyata pada akhirnya William tertidur juga, dan dalam lelapnya ia bermimpi. Ia berada dalam sebuah tempat gelap, yang kemudian disadarinya adalah lorong panjang dalam gua, mirip seperti yang pernah didatanginya baru-baru ini. Bedanya kali ini ia sendiri, tak lagi bersama Vida.
Ia berjalan lambat-lambat menyusuri lorong, hingga akhirnya bertemu dengan makhluk raksasa berwajah mengerikan di tengah gua. Dia berbulu gelap di sekujur tubuhnya, matanya kemerahan, dan taring-taringnya besar serta tajam.
William mengayunkan pedangnya berusaha membunuh hewan itu. Cukup lama hampir memenuhi seluruh mimpinya. Hingga akhirnya ia mampu menusukkan ujung pedangnya ke dalam mulut si raksasa yang terbuka lebar. Hewan itu tersungkur, meringkuk dalam gelap.
Dari sudut gua muncul sesosok laki-laki. Di tempat gelap wajahnya cukup jelas, seolah bercahaya. Matanya biru, alis dan rambutnya tebal berwarna keemasan. Tangan kanannya teracung ke arah William. Dia memegang sebuah benda yang tampak bercahaya.
Orang itu berkata, "Tunduk, dan ambil. Ambil!"
Tak sedetik pun dia melepaskan tatapan tajamnya dari William, sampai pemuda itu gemetar karena seperti terus disuruh untuk tunduk, tunduk dan tunduk. William berlutut, hendak mengambil benda yang disodorkan itu, ketika lalu terdengar suara lain.
Suara perempuan, yang sangat dikenalnya.
"Jangan ambil. Jangan pergi. Itu bukan untukmu ..."
Suara ibunya.
William tak mampu menahan tangis, dan seketika itu pula terbangun.
Ia terbaring di samping sisa-sisa api unggun, tak jauh dari rumah tua di tepi hutan. Jantungnya berdegup kencang. Rasa takut dan sedih masih tersisa di dalam hatinya. Lalu ia duduk dan memandang berkeliling. Langit tak lagi segelap seperti sebelum ia tidur. Mungkin matahari sudah terbit di ujung timur sana. Vida dan Freya masih tidur, demikian pula Gunnar dan Adhril.
Sementara itu Svenar duduk bersandar di samping pohon. Ia mengamati William yang beringsut bangun, kemudian mengangkat dagunya memberi salam. Laki-laki bertubuh besar dan berjanggut cokelat itu berkata, "Baru saja mendapat mimpi buruk? Jangan biarkan mimpi memakan semangatmu, dan merusak pagimu."
William tertawa, di sela kantuk dan sisa mimpi yang masih campur aduk. "Kau? Memberi nasehat? Kukira kau hanya bisa menakut-nakuti orang."
Svenar menyodorkan sekantung minuman hangat.
William minum satu teguk. Dadanya menghangat.
"Sungai-sungai di selatan tak seindah yang orang-orang bayangkan, kamu tahu?" Svenar, laki-laki menakutkan itu ternyata bisa juga puitis mencurahkan isi hatinya. "Selama perjalanan ke selatan aku berkali-kali mendapat mimpi buruk. Seperti ... ada sesuatu yang terus menghantuiku di tempat ini, mengintaiku setiap saat. Sayangnya aku tak bisa mengingat seperti apa sosok yang kulihat dalam mimpi itu, setelah aku bangun. Tapi rasanya selalu tertinggal di dalam diriku, aku selalu bisa merasakannya. Hah, mungkin karena aku belum pantas."
"Belum pantas? Maksudmu?"
"Belum pantas mati dengan layak. Belum pantas dijamu Odaran di Valahar."
William nyengir. "Memangnya siapa yang pantas?"
"Yang sudah berhasil membunuh musuh-musuhnya."
"Oh. Dan ... siapakah musuh-musuhmu?"
"Semua yang kubenci. Semua yang pantas mati di tanganku."
"Hmm ... oke. Bisa lebih spesifik? Apakah orang-orang Logenir?"
"Ya," kata Svenar datar. "Mereka salah satunya. Yang paling utama."
William manggut-manggut. "Maaf, apa ini tidak sedikit aneh? Kau baru merasa pantas mati, jika membunuh orang-orang yang menurutmu pantas mati? Berarti kalian sama-sama pantas mati, dan nanti akan dijamu dewa di Valahar, benar begitu? Maaf kalau aku sedikit bingung. Apa lalu kalian akan meneruskan perkelahian kalian di sana, di depan dewa-dewa?"
"Pertarungan sejati tidak akan pernah selesai, sampai kapan pun, di mana pun."
"Hehe. Itu agak gila, terus terang."
"Apa?"
"Tidak," tukas William. "Tidak usah dipikirkan. Kalau aku, untuk hal apa pun, aku ingin tahu selesainya nanti di mana, dan seperti apa. Perjalanan ini, misalnya. Pasti ada akhirnya."
"Mungkin kau berharap terlalu banyak, bocah."
"Oh ya?"
"Segala sesuatu selalu berulang," kata si raksasa berfilosofi. "Tidak ada awal, tidak ada akhir. Dalam seribu kali kehidupan, seorang petarung akan tetap menjadi seorang petarung, dan mati sebagai petarung."
"Hei, kalian," suara Freya terdengar.
Gadis itu ternyata sudah bangun. Demikian pula Vida di sampingnya.
"Membicarakan apa sih?" tanya Freya, yang matanya masih separuh terbuka. "Ini masih pagi. Kalian sudah mabuk?"
"Svenar sedang mengajariku soal nilai-nilai kehidupan." William menyeringai. "Sangat menarik. Tapi kebetulan, Freya, sebelum kita mendayung nanti aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Soal penting."
"Boleh. Aku bisa memberitahumu soal nilai-nilai kehidupan yang lain. Yang pasti lebih menyenangkan."
Freya tertawa, sementara Vida mengerutkan dahi.