Lama kemudian, kegelapan malam yang diterangi oleh nyala api unggunlah yang tampak saat William membuka matanya.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, sesaat belum sadar apa yang terjadi padanya. Tubuhnya bersandar pada sesuatu di belakang, mungkin batang pohon, sedangkan kepalanya masih pusing.
Pandangannya lalu tertuju pada si gadis berambut kuning. Gadis itu duduk di seberang api unggun sambil menggerogoti sesuatu. Mata gadis itu melirik tajam begitu melihat William mengangkat kepalanya.
Seluruh ingatan William kembali, mulai dari bagaimana ia sampai di tempat ini dan bagaimana gadis itu tadi menghajarnya. Ia menegakkan tubuh. Tangannya terangkat hendak memegang rahangnya yang sakit.
Kemudian ia sadar, kedua pergelangan tangannya ternyata terikat menjadi satu oleh lilitan akar tanaman yang sangat kokoh. William melihat ke arah kakinya. Pergelangan kakinya hingga ke lutut pun diikat dengan akar yang sama.
Ia melirik pada si gadis berambut kuning yang masih mengunyah. Sudah jelas kini ia tidak berdaya dan menjadi tawanan. Biarpun dia hanya seorang gadis, dan William belum dibunuh olehnya, tetap besar kemungkinan gadis itu akan membunuhnya nanti atau melakukan sesuatu yang mengerikan lainnya.
William menelan ludah saking tegangnya, kemudian mencoba berpikir jernih. Mungkin ... bisa juga gadis ini tidak berniat membunuhnya. Siapa tahu dia hanya takut, dan mengikat William supaya ia tidak berbuat macam-macam.
Gadis itu terus memandanginya, seperti berusaha mempelajari William, lalu menunjuk sesuatu yang terbakar di atas api unggun. "Ikan. Makan."
William melirik setusuk ikan yang sedang dibakar. Baunya harum menusuk sampai ke hidung, memancing perutnya untuk berbunyi minta diisi.
Tetapi ia belum mau bereaksi. Harus jelas dulu apakah gadis ini memang tidak berniat buruk padanya, baru William akan menerima tawarannya.
"Ambil," kata gadis itu lagi dengan lebih keras.
William menggeleng. "Siapa kau?"
Gadis itu berhenti mengunyah. Dia mengambil tusuk ikan dari atas api unggun, lalu melemparkannya ke arah William. Ikan itu jatuh tepat di telapak tangan pemuda itu. Tentu saja rasanya panas.
William mengerang, melempar ikannya beberapa kali di udara, sebelum akhirnya bisa memegang tusuknya dengan sempurna.
"Hei!" serunya kesal bukan main. "Tak bisakah kau memberikannya dengan lebih baik? Ini makanan!"
"Makan!"
"Kalau aku tidak mau, terus kau mau apa?"
Gadis itu menenggak araknya. "Aku marah."
"Kenapa marah?"
"Sebab kamu tidak mau ikut kata-kata aku."
"Terus kalau kau marah?"
"Aku pukul kamu."
William tertawa. "Jadi aku memang harus makan. Terus apa lagi?"
Gadis itu mengangkat bahu. "Kamu tetap mau aku pukul?"
"Maksudku, apa yang kau mau dariku? Kenapa kau menangkapku?"
"Aku tidak mau tangkap kamu," gadis membantah.
"Lalu kenapa kau melakukan ini?"
"Karena kamu datang ke tempat ini. Harusnya tidak," gadis itu membalas tatapan William. Kemudian ia berkata lagi, "Setelah ini kamu pergi."
"Aku pergi kalau aku mau," tukas William.
"Kamu harus pergi."
"Kenapa?"
"Kalau tidak, teman-teman aku akan bunuh kamu," jawab gadis itu datar.
William manggut-manggut, kini mulai waspada. "Mereka banyak?"
"Apa?"
"Jumlah mereka ada banyak?"
"Banyak."
"Mereka ada di sini?"
Gadis itu memandangi William beberapa lama. "Sebentar lagi."
"Kenapa mereka datang?" William terus memancing.
"Karena kami mau."
"Kalian mau merampok desa-desa lagi?"
Ekspresi wajah gadis itu berubah. Kini ia tampak marah. "Kamu terlalu banyak tanya. Aku yang tangkap kamu. Aku yang harus tanya-tanya kamu."
"Kalau ingin mengobrol, kau bisa lepaskan ikatanku lebih dulu," tukas William. "Kita bisa mengobrol sebagai teman."
Gadis itu menggeleng. "Aku tahu kamu siapa. Jadi aku tidak akan tanya lagi. Makan. Lalu kamu pergi. Kalau tetap di sini sampai pagi, kamu mati."
William termangu. Ancaman gadis itu tampak serius. Sepertinya benar gerombolan Hualeg sudah mulai berdatangan ke selatan. William tahu ia harus secepatnya pergi kemudian melaporkan hal ini pada rekan-rekannya di desa, supaya mereka bisa bersiap-siap.
Namun ia heran, kenapa gadis itu membiarkannya pergi? Bukan menyekap, atau bahkan membunuhnya? Apakah karena gadis itu semata-mata seperti yang diucapkannya tadi: dia baik?
Pertanyaan lain muncul, kenapa gadis itu bisa ada di sini? Apakah dia mencari sesuatu, atau cuma menjadikan rumah ini sebagai tempat beristirahat? Bagaimana dia sampai bisa kemari?
William tidak melihat ada perahu lain di tepi sungai, jadi jangan-jangan dia memang tidak sendirian. Ada teman-temannya di sekitar sungai ini, yang mungkin tengah berkeliaran entah ke mana.
William memakan ikannya. Ia melirik rumah kayu di belakang gadis itu. Itu rumahnya dulu, dan sebenarnya ia ingin masuk untuk melihat-lihat. Kemungkinan besar ia tak akan ingat apa-apa, tetapi paling tidak mungkin ada sesuatu di dalam sana yang bisa mengingatkan dirinya pada sosok ayah atau ibunya.
Namun gadis Hualeg itu pasti tidak akan mengizinkannya. Dia tegas menginginkan William pergi, dan William setuju, ia memang harus pergi.
William meminum minumannya, lalu mengucapkan terima kasih.
Gadis itu tanpa ragu memutus ikatan di tangan dan kaki William dengan pedangnya.
William berdiri dan memandangi gadis jangkung yang ikut berdiri di depannya. "Kau melepaskanku. Kau tidak takut aku akan menyerangmu?"
"Tidak," gadis itu menjawab singkat.
"Ya, karena kau masih memegang pedangku. Itu. Aku tidak bisa memintanya kembali, ya?" William coba sedikit bercanda. "Tapi, aku tetap bisa menyerangmu tanpa pedang."
"Pergi."
"Kau tahu, mungkin kita akan bertemu lagi nanti."
"Mungkin," jawab si gadis datar.
"Dan bertempur lagi," lanjut William.
"Mungkin."
"Dan nanti mungkin sampai mati."
Gadis itu termenung. "Ya."
"Bisa jadi ... nanti aku terpaksa harus membunuhmu."
Kali ini gadis itu tak menjawab.
"Jadi, apa kau tidak menyesal membebaskan aku?"
Gadis itu menghela napasnya pelan. "Tidak."
William menggeleng. "Aku yang akan menyesal jika sampai melakukan itu. Tentu saja aku tidak akan membunuhmu! Malam ini kau bertindak baik padaku, dan aku akan mengingatnya. Jadi nanti jika kita bertemu di saat yang paling buruk, aku pun akan bertindak baik padamu. Aku berjanji."
"Kamu tidak perlu janji apa-apa."
"Itu terserah aku."
"Pergi."
William mengangguk, lalu beranjak pergi.
Ia menyusuri jalan setapak yang gelap, melingkari semak belukar, sampai akhirnya tiba di tepi sungai. Perahunya masih tertambat di sana. Ia melepaskan ikatannya kemudian melompat naik.
Saat bersiap mendayung, ia melihat si gadis berambut kuning berdiri tak jauh darinya. Wajah rupawan gadis itu terpapar sinar rembulan. William tersenyum padanya, tapi gadis itu tidak membalas.
William membawa perahunya menjauh. Sebersit perasaan aneh menghampiri. Ia sungguh berharap beberapa kalimat yang tadi diucapkannya pada gadis itu tidak benar.
Ia tidak ingin bertemu lagi dengan dia dalam pertempuran, ia tak ingin bertemu dalam saat yang paling buruk. Ia hanya ingin berteman dengan gadis itu, kalau bisa.
Walaupun mungkin itu hanya harapan belaka. Gadis itu orang Hualeg, dan dia musuhnya.