Dua bulan sebelumnya
"William!"
Bortez si pandai besi memanggil muridnya, pemuda jangkung bertubuh tegap yang tengah menempa bilah besi panjang dengan menggunakan martil berukuran besar.
Bunyi hantamannya terdengar bertalu-talu memekakkan telinga, menggetarkan seisi bengkel kerja yang gelap, pengap dan panas. Tanpa henti. Tampaknya dia sama sekali tidak mendengar panggilan Bortez.
Si pandai besi tahu William bukan seorang yang lemah pendengaran. Telinga pemuda itu bisa sangat tajam kalau dia mau. Walaupun di sela-sela suara hantaman logam dan juga sedang memakai penutup telinga, dia biasanya bisa mendengar panggilannya.
Jadi Bortez yakin kalau William sekarang tidak mendengar itu bukan karena dia tuli, melainkan karena dia telah kembali ke kebiasaan buruknya selama ini: melamun sambil bekerja.
Maka ia pun memanggil sekali lagi, "William!"
Kali ini pemuda berambut hitam tebal kecokelatan itu menghentikan pekerjaannya. Bunyi hantaman mereda. Dia menoleh ke belakang, menunjukkan wajahnya yang seolah polos tanpa dosa.
"Ya, Paman? Ada sesuatu?"
"Besimu masih merah! Masih terlalu keras buat ditempa. Buang-buang tenaga! Coba panaskan lagi, tunggu sampai warnanya berubah jadi kuning. Sudah kubilang beratus kali. Aku tahu kau senang memukul-mukul, tapi sisakan tenagamu untuk pekerjaan atau hal-hal lain yang juga penting!"
"Ya, ya, Paman, maaf." William malah menyeringai. "Tapi, selain pekerjaan, hal lain yang juga penting itu misalnya apa?"
"Kau cari tahu saja sendiri. Lihat saja apa yang teman-temanmu lakukan di luar sana!"
"Berladang, beternak, mencari kayu," William menukas. "Sayangnya, belakangan aku baru saja sadar bahwa semua itu membosankan."
Bortez manggut-manggut memikirkannya, lalu terkekeh. "Ya, kau tidak salah. "
"Tapi, ada satu yang tidak. Bepergian dengan gadis-gadis di desa." William menyeringai. "Ah, ya, mungkin aku akan melakukannya. Menurut Paman, boleh aku mengajak Muriel?"
Bortez melotot begitu nama putrinya disebut. "Setelah kupikir-pikir, lebih baik kau tetap di sini saja! Lagi pula, ini pekerjaan terbaik untukmu."
William hanya tertawa kecil, kemudian tampak melamun lagi.
Sepertinya memang ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Bortez pun menyerah. "Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja. Hari ini cukup sampai di sini."
Kini ganti William yang menatapnya heran. "Kita tutup lebih cepat? Bagaimana dengan pesanan Tuan ... Tuan Hitam—siapa itu namanya?"
"Mornitz? Sudah selesai." Bortez menunjuk sebuah pedang yang terbungkus kain tebal di pojokan bengkel. "Dia tidak minta dibuatkan sarung. Katanya pedang saja cukup."
"Sayang sekali. Padahal pedangnya bagus."
"Bagus, karena besinya bagus, dan yang mengerjakannya juga bagus." Bortez terkekeh, sedikit menyombongkan diri. "Mungkin sarungnya nanti akan aku buat sekalian sebagai bonus, setelah aku kembali dari Prutton. Kurasa dia belum akan datang dalam beberapa hari ini."
Mereka mematikan tungku dan membereskan peralatan, kemudian duduk di teras di depan bengkel, menikmati minuman teh rempah mengepul yang tersaji di atas meja kecil.
Minuman itu cukup untuk menghilangkan dahaga sekaligus menghangatkan tubuh di sore hari yang dingin. Muriel, putri tunggal Bortez, yang membawakan minumannya tadi, tapi gadis itu kini sudah pergi lagi entah ke mana.
Keduanya melemaskan tangan, punggung dan kedua kaki.
Bortez memperhatikan William yang kembali melamun. Sudah jelas, ada sesuatu yang membuat pemuda itu gelisah. Beberapa kali dia tampak hendak membuka mulutnya, tetapi selalu diurungkannya kembali.
"Ada yang kaupikirkan?" Bortez akhirnya bertanya.
William termenung, sebelum menjawab, "Paman, kau orang paling baik di dunia setelah ibuku. Jasamu pada kami tak terkira. Kau memberiku pekerjaan, dan mengajariku banyak hal. Aku sangat berterima kasih."
Bortez mengangkat alisnya heran. Biasanya William tidak pernah seserius ini; pemuda itu lebih suka bercanda.
"Ya ... itu karena aku tidak punya putra, William. Itulah kenapa," jawabnya terus terang. "Kurasa kau tahu itu."
"Ya. Kau bahkan bilang mau mewariskan bengkel ini padaku." William tertawa.
"Aku tak mungkin mewariskannya pada putriku, kan?"
"Hm, soal itu, kenapa tidak? Menurutku, seharusnya bisa saja. Ya, dia perempuan, dan sedikit sembrono, tapi dia pandai, cepat belajar, kuat, dan selalu berusaha keras. Seharusnya Paman bisa lebih percaya pada putri Paman sendiri. Aku heran kenapa Paman selalu ragu."
William menyesap minuman hangatnya dengan santai, seolah tak peduli dengan ucapannya yang sok tahu.
"Kau baru saja bicara dengan Muriel?" tanya Bortez curiga.
"Itu pemikiranku sendiri. Lagi pula seharusnya Paman yang membicarakan hal ini dengan Muriel, bukan aku. Apa Paman tidak kasihan padanya?"
"Hah? Kasihan? Maksudmu?"
"Paman tidak peduli padanya."
"Eh? Omong apa kau? Aku hanya tidak ingin dia bekerja seperti laki-laki di bengkel! Dia seharusnya mengerjakan sesuatu yang ... mmm, pekerjaan, yang lebih pantas untuknya!"
"Pekerjaan apa?" tanya William datar. "Memangnya di desa ini, atau bahkan di Ortleg, ada banyak pilihan pekerjaan buat kita?"
"Hmm ... tidak. Tapi, tetap saja. Maksudku ... pekerjaan yang mestinya lebih cocok buat perempuan." Bortez merengut, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hah, ya sudah, nanti kubicarakan."
Bortez mengangguk-angguk setelah kembali tenang. "Ya, mungkin dia nanti bisa menjalankan bengkel ini ... bersamamu. Kau tahu kan, sebentar lagi kalian berdua dewasa, dan kupikir sudah waktunya kalian—"
"Paman, aku sudah berpikir juga," William memotong, seolah tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Bortez dan karenanya menghindar.
Pemuda itu diam sejenak, lalu melanjutkan, "Rasanya ... aku tidak ingin selamanya menjadi seorang pandai besi."
"Hei, hei, sebentar." Bortez hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri. "Apa ini? Rasanya baru kemarin kudengar kau ingin menjadi pandai besi terbaik di dunia. Kenapa? Ada apa? Ayolah, kau pasti cuma bosan. Bagaimana kalau nanti kau berlatih lagi membuat pedang yang bagus? Ya? Nanti kuajarkan kau beberapa hal. Dengar, menempa itu cuma langkah awal, yang paling penting adalah langkah berikutnya, mengukur kekerasan dan kelenturan di tiap sudut—"
"Ya, ya. Keras di mata pedang, lentur di tengah."
"Heh, bicara selalu mudah," tukas Bortez. "Tapi kau harus tahu, di situlah seninya membuat pedang yang bagus. Mengatur pendinginan yang tepat agar kekerasan dan kelenturan pedang bisa terbentuk. Kalau proses itu berhasil, gerinda dan proses akhirnya jadi lebih mudah."
Bortez selalu bersemangat jika bercerita mengenai pembuatan pedang. Ia tak pernah segan membagi ilmu. William pun biasanya selalu memperhatikan ucapannya dengan saksama. Tapi kali ini kegelisahan pemuda itu sepertinya memang tidak bisa ditahan lagi.
"Boleh aku bicara sedikit lagi, Paman?"
"Hmm ... tentu saja. ... Silakan."
"Umurku sekarang enam belas tahun, dan kurasa aku sudah tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan dalam hidupku."
Bortez memandanginya curiga. "Apa itu?"
"Menjadi pendekar pedang!" William mengacungkan tinjunya ke atas.
Bortez melongo melihat gaya pemuda itu yang sedikit kekanak-kanakan.
Apa bocah ini sudah gila?