Secret | Treasure ✓

By rvelie

218K 52.1K 9.7K

[TERSEDIA DI SHOPEE] "Ada kasus pembunuhan berantai yang terjadi di antara dua belas remaja di sana." --- Sej... More

CAST
PROLOG
Part 01
Part 02
Part 03
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 08
Part 09
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
EPILOG
❗ Explanation
VOTE COVER
[ PRE ORDER ]

Part 22

3.6K 1K 372
By rvelie

"Junghwan!" Hyunsuk mengetuk pintu besar yang merupakan akses masuk utama ke rumah Junghwan.

Seperti yang ia ucapkan pada Jihoon dan Yedam tadi pagi, Hyunsuk datang malam ini untuk meminta maaf secara langsung pada Junghwan.

Pintu akhirnya terbuka, membuat Hyunsuk bernapas lega karna penantiannya telah berakhir.

"Ada apa, Dek?" tanya seorang wanita parubaya yang membukakan pintu, yaitu asisten rumah tangga keluarga Junghwan.

"Junghwannya ada, Bi?" tanya Hyunsuk dengan ramah.

"Nggak ada, Dek Junghwan lagi pergi."

Hyunsuk mengernyit. "Ke mana?"

"Nggak tau, dia cuma bilang mau pergi, nggak bilang mau ke mana."

"Oh." Hyunsuk mengangguk-angguk, lalu monyodorkan sebuah kantong plastik berisi sekotak donat kesukaan Junghwan. "Saya titip ini buat Junghwan, Bi. Tolong dikasih, ya?"

Wanita tersebut mengangguk sambil mengambil pemberian dari Hyunsuk. "Iya, Dek."

Setelah itu, Hyunsuk pamit untuk pulang. Ia berjalan seorang diri dengan kepala yang penuh dengan pertanyaan tentang ke mana perginya Junghwan. Yang pasti, kemungkinan besar Junghwan mengunjungi rumah salah satu temannya yang ada dalam kawasan perumahan, karna ia tak mungkin pergi jauh di malam hari seperti ini.

Tapi kenapa, perasaan Hyunsuk mendadak tidak enak?

••••

Junghwan berjalan menyusuri sebuah jalanan kayu yang sudah terlihat lama dan tua. Cukup menyeramkan berjalan di atas sana, karna jika kayu itu patah, Junghwan akan langsung jatuh ke genangan air besar yang ada di bawah.

Junghwan terus berjalan lurus dengan hati-hati, takut tersandung sesuatu karna yang menerangi gelapnya malam hanya beberapa bintang dan sebuah bulan yang sedikit tertutup awan hitam.

Junghwan menghentikan langkah ketika melihat air di bawah kakinya, menandakan ia sudah berada di ujung jalan. Jika Junghwan kembali melangkah, maka ia akan jatuh ke dalam air dan tenggelam karna ia tak bisa berenang, lalu berakhir mati.

Seperti yang Junghwan inginkan.

"Capek."

Junghwan menatap lurus ke depan, memandang suasana danau yang gelap dan senyap. Seperti biasa tiap ia datang, selalu hanya ada dirinya di sana.

Danau kecil yang letaknya cukup dekat dengan perumahan itu merupakan salah satu tempat yang sering Junghwan kunjungi seorang diri, untuk menenangkan diri sekaligus pikiran apabila ia sedang kacau dan dalam masalah. Seperti sekarang.

Jalanan kayu yang Junghwan lalui tadi, memiliki ujung yang berjarak beberapa meter dari tepi danau, dan Junghwan selalu berdiri di sana setiap datang. Rasanya tenang, ia bisa melihat ke sekitar danau dengan lebih jelas dengan angin segar yang menerpa wajah.

"Junghwan."

Junghwan tersentak, nyaris terjatuh jika tak mempunyai keseimbangan yang baik. Ia lantas menoleh ke asal suara dan mendapati sosok lelaki sedang berjalan mendekat.

"Lo kenapa bisa ada di sini, Bang?" Junghwan nampak kaget ketika melihat kemunculan salah satu temannya secara tiba-tiba.

"Emang kenapa? Lo pikir yang tau dan boleh ke tempat ini cuma lo doang?" elaki itu balik bertanya. "Pertanyaan lo kesannya nggak suka gue ada di sini."

"Bukan gitu maksud gue." Junghwan membantah dengan cepat, berusaha menepis pemikiran temannya itu. "Gue heran aja, ngapain lo ke sini malem-malem?"

"Lo juga, ngapain ke sini malem-malem?" Lelaki itu membalik pertanyaan Junghwan.

"Kok malah balik nanya sih?"

"Lo kebanyakan nanya, giliran ditanya balik nggak mau."

Junghwan mendengus pelan, lalu memilih diam dan kembali menatap ke depan, memandang danau yang tenang. Ia tak lagi berniat untuk bertanya apapun, karna kesal pertanyaannya tak dijawab dan justru dikembalikan padanya.

Meski sebenarnya, Junghwan sangat penasaran kenapa temannya itu datang ke danau di jam seperti ini. Padahal sebelumnya, Junghwan tak pernah bertemu atau melihat sosoknya setiap datang.

"Lo lagi ada masalah, Hwan?"

Junghwan menggeleng pelan. "Enggak, Bang."

"Yakin?" Lelaki itu nampak ragu. "Kalo ada masalah, cerita aja sama gue. Jangan dipendem sendiri, nanti jadi penyakit."

Junghwan terdiam mendengar itu, mendadak ingin menceritakan semua masalah dan kegundahannya saat ini; tentang dirinya yang tertekan karna dituduh sebagai pembunuh, tentang sang ibu yang baru saja marah karna nilai ujiannya tak mendapat nilai sempurna, dan tentang banyak hal lain yang selama ini Junghwan pendam seorang diri.


"Gue nggak papa kok, Bang." Itulah jawaban yang Junghwan pilih pada akhirnya, karna ia tak sanggup untuk menceritakan apa-apa.

Bukan Junghwan tak percaya, ia hanya tidak mau terlihat terluka. Semua orang menganggapnya sebagai anak yang selalu bahagia, dan Junghwan ingin orang-orang terus menganggapnya seperti itu, sedihnya tak perlu ada yang tahu.

Selama ini, yang tahu tentang lukanya hanya Mashiho. Itupun karna Mashiho tak sengaja mendengar orangtua Junghwan memarahi dirinya ketika hendak mengantar makanan.

Lalu setelah Mashiho mati, Junghwan kehilangan satu-satunya tempat untuk bercerita dan kembali menyimpan semua sendiri.

"Lo capek, Hwan?"

"Iya." Junghwan menjawab tanpa sadar, namun sedetik kemudian nampak kaget dengan jawabannya sendiri. "Eh, maksudnya capek apa?"

Lelaki itu tersenyum tipis. "Jangan pura-pura bego, gue tau, lo pasti paham maksud gue."

Junghwan merutuki diri sendiri dalam hati karna telah salah bicara dan mungkin membuat temannya itu mulai tahu jika Junghwan sedang dalam kondisi lelah.

Lelah dalam segala hal, termasuk hidup.

"Kalo capek tuh istirahat."

"Gimana kalo capeknya nggak hilang walau udah istirahat?" tanya Junghwan, entah apa yang ia pikirkan sampai menanyakan hal itu.

"Berarti yang lo butuhin itu bukan istirahat biasa."

"Terus istirahat yang kayak gimana?"

"Istirahat selamanya."

Junghwan tertegun. "Maksud lo?"

"Gue tau lo capek sama semuanya, termasuk hidup. Iya, kan?"

"Tau dari-"

"Gue tau semua tentang lo, Jungwan." Lelaki itu memotong sebelum Junghwan sempat bicara. "Gue tau semuanya."

"Lo tau darimana, Bang?" Junghwan nampak penasaran sekaligus panik. Karna sepertinya, temannya itu tak sedang bercanda.

Berarti, selama ini ada orang lain yang tahu tentang Junghwan selain Mashiho?

Lelaki itu hanya tersenyum tipis sebagai respon, lalu memandang ke depan, tepat ke arah danau.

"Danau ini, tempat yang selalu lo datangi setiap ada masalah. Karna di sini sepi, nggak ada yang akan ngeliat lo nangis atau denger lo teriak-teriak frustasi," ujarnya yang berhasil membuat manik Junghwan membola, karna ternyata ia setahu itu.

"Bang, lo-"

"Danau ini senyaman itu buat lo?" Lelaki itu kembali memotong ucapan Junghwan. Namun bukannya protes, Junghwan justru mengangguk sebagai jawaban. "Kalau gitu, kenapa lo nggak istirahat di sini buat selamanya?"

"Maksudnya?"

"Lo capek hidup, kan? Jadi kenapa nggak mati aja?"

"Lo gila?" Junghwan nampak percaya dengan perkataan sang teman yang sepertinya dikatakan tanpa dipikir dahulu. "Lo pengen gue mati?"

"Bukan gue, tapi lo sendiri yang selama ini pengen mati."

Junghwan terdiam, lagi-lagi temannya tahu tentang itu.

Sebenarnya, sejauh apa ia tahu tentang Junghwan?

"Lo menderita bertahun-tahun, kekurangan kasih sayang orangtua sejak kecil tapi selalu dituntut untuk jadi anak yang sempurna, terus sekarang dituduh sama temen-temen lo sebagai pembunuh." Lelaki itu memulai cerita, tentang apa yang ia ketahui mengenai penderitaan Junghwan selama ini. "Dunia sejahat itu sama lo, Hwan. Lo terus dikasih luka dan nggak ada tanda kedatangan obatnya. Jadi apa alasan lo masih bertahan?"

Junghwan menunduk, hatinya sakit ketika mendengar itu. Dadanya sesak, hingga sesak itu menguap dan keluar dalam bentuk air mata. Kepalanya mulai memutar kilas memori tentang permasalahan dan kesedihannya selama ini.

Orangtua Junghwan adalah pengusaha super sibuk, sehingga sejak kecil, Junghwan tak pernah merasakan kehangatan sebuah keluarga karna orangtuanya jarang berada di rumah. Lalu, Junghwan juga dituntut untuk menjadi anak yang cerdas dalam segala hal dan bisa melakukan apa saja.

Orangtuanya meminta Junghwan menjadi anak baik yang sempurna, tapi mereka lupa untuk memperlakukan seorang anak seperti seharusnya.

Sejak kecil, Junghwan hanya seorang anak pintar yang kesepian dengan berbagai keinginan. Dan salah satu keinginan yang paling mendominasi, adalah keinginan untuk mati.

Sampai kemudian, keluarganya membeli rumah baru dan Junghwan menemukan sebelas keluarga barunya di kawasan perumahan itu. Ia memiliki satu alasan sederhana untuk hidup, yaitu teman-teman yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Meski sebenarnya, keinginan untuk mati itu tetap ada.

Lalu pembunuhan itu terjadi, dan semuanya berubah dalam satu hari. Junghwan kehilangan kehangatan dalam hubungan persahabatan, membuatnya kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap hidup, cahayanya redup.

"Kalo lo mau selesaiin semuanya, lo punya kesempatan sekarang."

Junghwan menyeka air matanya, lalu menatap sang teman dengan bingung. "Maksud lo?"

Lelaki itu maju selangkah, menipiskan jarak antara mereka berdua, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Junghwan.

"Loncat, Hwan," bisiknya pelan. "Dan setelah itu, lo akan tenang karna semua beban lo bakal hilang."

Tubuh Junghwan menegang karna bisikan itu. Bisikan yang tak membuatnya takut, tapi justru membuatnya berpikir; apa benar?

"Kalo lo nggak selesaiin sekarang, mungkin bakal ada masalah baru lagi yang menimpa lo. Karna dunia emang sejahat itu kan sama lo?" Lelaki itu menepuk pelan bahu Junghwan. "Pilihan di tangan lo, selesaiin semuanya sekarang atau siap-siap buat hadapin masalah berikutnya."

Lelaki tersebut lantas berbalik, memasukkan kedua tangannya dalam saku jaket karna cuaca yang cukup dingin, lalu melangkah pergi.

Namun ketika baru sampai di tepi danau, langkahnya terhenti ketika mendengar suara sesuatu jatuh ke dalam air.

"Keputusan yang bagus. Gue tau lo udah lama pengen mati, dan sekarang akhirnya terwujud."

Lelaki itu tersenyum melihat Junghwan meronta-ronta dalam air. Lalu perlahan tenang, seolah siap untuk proses pencabutan nyawanya.

Malam sudah mulai larut, dan Junghwan sudah tertidur di tempat ternyamannya. Tidurnya kali ini berbeda, karna kini Junghwan tertidur dengan tenang, tanpa harus memikirkan semua hal yang selama ini membebani.

Junghwan benar-benar tidur, dan tak akan bangun lagi. Tidurnya kali ini untuk pergi, bukan untuk mengembalikan energi.

Setelah berjuang melawan semua kekejaman dunia, kini Junghwan dapat beristirahat dengan tenang untuk menghilangkan seluruh lelahnya.

"Selamat istirahat, So Junghwan."

Continue Reading

You'll Also Like

26K 5.9K 24
Tiba-tiba di kota terpencil koneksi internet terputus. Siapa sangka tidak tersambung ke internet berakhir dengan kekacauan dunia. Genre : scifi-horr...
12.5K 944 31
Menceritakan tentang kisah anak-anak kelas IPA 2 yang gesrek dan juga paling benci kalau guru lagi nerangin materi. Beberapa juga sering membolos di...
156K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
1M 86.6K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...