"Cha," Acha tak juga memberikan jawaban pertanyaan Fana.

"Oke, kalo lo diem berarti iya," ucap Fana tiba-tiba. Acha tidak bisa berkata-kata lagi karna Fana sudah menghampiri pramuniaga.

"Mbak, saya ambil dress ini."

****

Lagi-lagi Fana mentraktir Acha makan di McDonald's. Acha berkali-kali harus menghela nafasnya. Dia menurut saja kali ini. Daripada nanti Fana akan merecokinya lagi karna menolak tawarannya.

Fana dan Acha menunggu pesanan mereka datang. Cewek itu sedikit kepo pada acara pesta ulang tahun yang akan diselenggarakan oleh Arjuna. Eh- bukan sedikit. Banyak!

"Fan, di pesta ulang tahun Arjuna nanti. Ada acara apa aja?"

Fana yang tadinya bermain ponsel kembali meletakkan benda pipih itu di atas meja.

"Acaranya?" Acha mengangguk.

"Yang pertama pastinya menunggu kehadiran tamu yang akan datang. Sebagian tamunya adalah teman sekolah. Beberapa lagi, dari kolega perusahaan bokapnya."

"Biasanya kita bakal ngobrol dulu sebelum acara utama mulai. Terus nanti akan ada dansa misteri."

"Dansa misteri?" pekik Acha terkejut.

Cewek itu menganggukkan kepalanya. "Iya, ntar kita bakal pakai topeng sebelum acara mulai. Dan kita cari pasangan dansa untuk kita masing-masing,"

"Makanya hal itu dinamakan dansa misteri."

"Acara yang satu ini adalah acara yang paling dinantikan siapapun. Karna kebanyakan dari mereka, akan mencuri kesempatan buat dansa sama gebetan," Fana sedikit terkekeh mengingat jika tahun lalu dia berhasil berdansa dengan Koko, gebetannya.

Acha menggeleng kepala melihat tingkah Fana.

"Tapi kalo gue gak ikut acara dansa itu gimana?"

Fana menghentikan tawanya dan mengarahkan pandangan pada Acha. "Semua harus ikut, karna itu peraturan yang dibuat Arjuna."

"Tapi gue gak bisa dansa Fan,"

Fana memincingkan matanya. Lantas ia mengangguk. "Hal yang mudah, ntar gue dan Vinda bakal ajarin lo,"

Keduanya menghentikan obrolan karna pesanan datang. Mereka menyantap makanan dengan hikmat. Karna dari pagi sampai sore mereka belum memberikan asupan makanan sama sekali.

"Oh iya Cha, lo tau gak kalo anak pemilik yayasan yang asli itu ternyata baru tinggal di Jakarta?"

Acha menghentikan kunyahan. Cewek itu menatap Fana. "Bukannya pemiliknya Riska ya?"

"Bukanlah," tegas Fana.

"Si Lampir itu pemilik abal-abal, orang bokapnya aja gak ada wewenang lebih selain hanya menjadi pengganti orang suruhan Pak Barafian buat mengurusi sekolah kita."

"Mereka aja yang terlalu membanggakan itu. Kalo aja nanti anaknya sudah mengambil alih semua aset perusahaan milik Pak Barafian, pasti tuh orang bakalan gak sewenang-wenang lagi. Apalagi kalo anaknya tau kalau mereka sudah mengandalkan uang yayasan demi kepentingan pribadi, gue jamin mereka bakal hancur-sehancurnya. Biar tau rasa," ucap Fana kesal dengan segenap hatinya.

Acha tertawa melihat kekesalan Fana.

"Gue harap juga gitu, karna Riska udah membuat banyak siswa menderita. Tapi, setidaknya dia bisa membuat keluarga Riska menyesal."

Fana mengangguk setuju. "Setuju,"

"Oh iya, kata lo anaknya Pak Barafian itu baru tinggal di Jakarta, emangnya dulu dia tinggal dimana?"

"Denger-denger sih dia tinggal dan sekolah di Korea,"

"Dia masih sekolah?" tanya Acha sembari menyeruput jusnya.

"Iya, bahkan dia masih seumuran dengan kita."

"Oh ya?" Fana mengangguk menjawab pertanyaan Acha.

Fana menoleh ke kanan kiri. Lalu dia mendekat ke Acha. Dia membisikkan sesuatu padanya.

"Btw, gue punya fotonya, tapi ini rahasia. Karna mereka sama sekali belum tau wajah aslinya dia."

"Emang lo dapet darimana fotonya?" Acha pun juga berbicara pelan.

"Gue gak sengaja nemu di perpus,"

Fana memperlihatkan foto berukuran 4×6 itu pada Acha. Acha memperhatikan foto itu lekat-lekat.

"Sumpah, dia cantik banget kan Cha?"

Acha mengangguk menyetujuinya. Senyumnya mengembang.

"He'em cantik,"

***

Langit sore berwarna jingga menghiasi birunya air laut. Ombak kecil menyisir bibir pantai. Kaki kecil itu berjalan selangkah demi selangkah. Menikmati semilir angin laut menerpa wajahnya.

Hembusan angin menerbangkan sedikit anak rambutnya. Senyum dibibir cewek itu mengembang. Kakinya mulai bermain di atas air.

"Jadi kangen maen sama Papa,"

"Kalo Papa masih hidup, pasti Acha ajak kesini, pemandangan disini indah banget."

Cewek itu tersenyum getir.

"Papa apa kabar disana? Acha rindu,"

"Kalo kata Dilan, rindu pada Milea itu berat. Tapi kalo kata Acha, rindu terberat itu rindu sama Papa yang tidak bisa lagi melihat Acha tumbuh menjadi sosok dewasa."

Cewek itu menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya pelan.

"Pa, maaf jika apa yang Acha lakukan ini salah. Tapi Acha hanya ingin memperbaiki semua yang sudah rusak. Mungkin cara yang Acha lakukan tidak akan pernah Papa maafkan. Tapi, ini adalah yang terbaik."

Air matanya merembas tanpa diminta. Matanya terpejam dan air itu jatuh semakin deras.

"Mungkin untuk saat ini Acha akan diam Pa. Tapi nanti Acha akan bertindak sesuai keadaannya."

"Biarkan dulu Acha seperti ini ya Pa, Acha masih sedikit ingin main-main."

"Acha akan pulang ke rumah jika hati Acha lekas membaik. Acha juga akan menerima kehadiran dua orang itu. Acha juga akan menelpon Mama nanti,"

"Papa jangan khawatir, di masa depan Acha pasti akan bahagia."

Acha mengembangkan senyumnya. Matanya menelisik jauh ke depan. Memikirkan masalah apa yang akan ia hadapi nantinya.

"Tunggu aku, Wijaya."

***

Jangan lupa bersyukur hari ini ^^

Thanks for Reading ❤

DIA ACHA (PUBLISH ULANG)Where stories live. Discover now