Part 9 (✓)

36K 4.8K 334
                                    

"Selamat pagi sang mentari," gadis itu menyapa hangatnya pancaran sinar matahari yang menyapu wajahnya saat membuka gorden.

Gadis itu tersenyum membayangkan matahari juga ikut menyapanya dengan hangat. Sinarnya membuat semangat dalam tubuhnya kembali menyala.

Udara yang segar pagi hari ini dihirupnya dalam-dalam. Gadis itu membuang pelan hembusan demi hembusan dari bibir manisnya. Melihat pemandangan indah di jendela kamarnya membuatnya sangat tenang dan sejenak melupakan body shaming tentang dirinya.

"Pagi, Cha." sapa Gendis yang baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah siap dengan pakaian santainya.

Gadis itu menoleh lalu tersenyum padanya, "Pagi juga Gendis," sapanya balik. "Lo jadi ke Dokter hari ini, kan?" tanyanya.

Gendis menganggukkan kepalanya berkali-kali. Gendis mengarahkan telapak tangannya menyentuh dada, ia merasakan jantungnya berdetak begitu kencang seakan mau meloncat keluar. "Gue nervous, Cha," ungkapnya.

"Gue udah bilang kan kalo lo gak salah santai aja." Gadis itu melangkahkan kaki ke meja belajar, dia memilih buku di jadwal hari ini.

"I-iya sih."

"Kenapa sih kok lo gugup banget?" Acha begitu penasaran kenapa Gendis sampai gugup sebegitunya, padahal dia tidak bersalah dalam hal itu.

"Lo melakukan kesalahan apa sampai lo ketakutan begitu?" tanya Acha tanpa melirik Gendis. Cewek itu memilih dan memilah buku.

Gendis mengerjapkan matanya lambat. "G-gue takut aja," katanya.

"Takut? Takut kenapa?" tanya Acha sembari memasukkan bukunya kedalam tas.

"Gue takut kalo nantinya gue juga bakal dipermalukan..."

"Seperti Anya?"

Gendis menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. "Lo tau sendiri kan Riska seperti apa orangnya?"

"Gue tau," ucap Acha, gadis itu menoleh sebentar ke arah Gendis lalu kembali memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Dan gue juga tau lo itu orangnya seperti apa." Acha tersenyum smirk.

"Oh ya?"

Acha menganggukkan kepalanya berkali-kali, "he'em."

Acha menatap datar Gendis, ia menghentikan aktivitasnya sejenak. "Tapi kenapa lo yakin kalo Riska yang nglakuin ini sama lo?" tanya Acha kembali.

Cewek itu menghela nafas panjang. Dia mengambil salah satu pita rambut milik Acha lalu mengikat rambutnya asal.

"Apa yang udah terjadi sama Anya dan gue itu hampir sama Cha, gimana gue gak yakin kalo Riska pelakunya coba?" Rasanya begitu aneh jika dia berada dalam situasi yang hampir sama seperti Anya.

Cewek itu melirik Acha yang sedang menatapnya dengan alis yang tertaut jadi satu. "Siapa lagi kalo bukan Riska? Apapun yang Riska ingin miliki harus tercapai saat itu juga, sampai-sampai dia akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Apalagi Bokapnya selalu nurutin semua permintaan anak tunggalnya." Tutur Gendis.

Acha hanya mengangguk-angguk saja. "Lo itu orangnya berani ya," ungkap Acha. "Berani mengambil resiko," kata Acha sambil menarik sudut bibirnya.

Kening Gendis membentuk kerutan, "Resiko? Resiko apa maksud lo?" tanya cewek itu bingung.

"Lo inget gak? Waktu kita latihan cheers, lo sampai rela lawan Vania demi gue. Padahal Vania salah satu anteknya Riska."

Gendis menghela nafas lega. Dia kira Acha akan menuduhnya yang tidak-tidak. Tapi mengingat tentang Vania, Gendis semakin yakin jika Riska lah yang membuat dirinya di usir dari rumah.

DIA ACHA (PUBLISH ULANG)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum