-53-

2.1K 390 16
                                    

-The Men Who Need Love-

. . .

Sasuke menarik selimut hingga sampai batas pundak Sarada yang kini sedang tertidur dengan posisi menyamping di kamar tamu tempat biasa anak itu pakai ketika menginap.

Sasuke mengajaknya untuk memetik beberapa sayuran tadi siang di rumah kaca untuk mengalihkan perhatian gadis kecil itu dari masalah Sai. Dan untungnya berhasil. Berbeda dengan Sakura yang tiba-tiba menjadi pendiam setelah kejadian tadi siang.

Sasuke diam menatap Sakura yang duduk diam di ruang tengah dengan tv menyala terabaikan. Ia menghampiri wanita itu. Sasuke menurunkan volume tv, tapi tidak mematikan benda elektronik itu.

"Sedang memikirkan apa?" tanyanya.

Seolah sadar dari lamunannya, Sakura meliriknya sebelum kembali menunduk menatap tautan tangannya. "Sasuke-san. Tidak, aku hanya ..."

"Sai adalah ayah kandung Sarada. Kau tidak memberitahuku sebelumnya. Kenapa? Karena dia adalah temanku? Atau karena dia adalah kekasih sekretarisku?"

"Aku ... aku rasa itu bukan sesuatu yang harus kau ketahui ..." jawab Sakura pelan.

Sasuke mengepalkan tangannya. Ia menghembuskan napas pelan. "Aku ingin tahu, Sakura. Apa itu tidak boleh?" Kata-katanya berhasil membuat Sakura menoleh padanya. Sasuke melanjutkan, "Aku ingin tahu segala tentangmu, tentang Sarada. Aku tidak suka menjadi orang yang tidak tahu apapun. Aku tidak suka menjadi orang asing bagimu. Aku tidak mau, Sakura."

"... Sasuke-san?"

"Apa aku tidak terlihat? Apa selama ini kau hanya memikirkan Sai? Apa kehadiranku belum cukup berarti bagimu?"

"... maafkan aku ..." Sakura menunduk, merasa bersalah. Entah kenapa dadanya jadi berdegup kencang karena takut melihat ekspresi pria disampingnya.

Sasuke mengusap kasar wajahnya. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu Sakura, membuat wanita itu membeku untuk sesaat. "Maaf ... seharusnya aku tidak bicara begitu padamu. Aku kesal melihatmu begini karena dia. Aku tidak suka, Sakura. Dia bahkan tidak pantas untuk sekedar kau pikirkan. Aku tidak mau melihatmu menderita lagi karenanya ..."

"A-apa maksud—"

Sasuke tiba-tiba mengangkat kepalanya tanpa memperlebar jarak mereka yang kini saling berhadapan sangat dekat. "Apa perkataan dan sikapku selama ini masih belum jelas?" Sakura menahan napasnya. "Aku menyukaimu, Sakura. Aku peduli padamu. Aku mencintaimu. Apa jika kuucapkan begitu kau bisa mengerti? Bisakah kau menyingkirkan Sai dari pikiranmu dan memikirkanku yang selama ini tak terlihat?"

. . .

Malam itu jam menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Ino baru saja selesai dengan pekerjaannya dan pulang dengan membawa bungkusan makan malam yang dibelinya di restoran yang dekat dengan kantornya. Ia pulang ke apartemen Sai malam ini dan keadaan hening menyambutnya. Tak ada tanggapan sama sekali ketika dirinya berseru, "aku pulang!" dari arah pintu.

Ino menaruh bungkusan makanan yang dibawanya di dapur dan mencari kekasihnya yang ternyata sedang duduk termenung di balkon kamarnya dengan tiga kaleng bir yang tergeletak di sisi. Sai minum-minum?

"Sai? Ada apa?"

Ino menarik satu kursi kosong untuknya duduk dihadapan kekasihnya. Poni Sai yang memanjang menutupi wajahnya ketika dia menunduk. Tatapannya kosong menatap kaleng bir yang isinya tinggal setengah di genggamannya. Ino jarang melihat kekasihnya minum-minum seperti ini. Biasanya dia akan lebih memilih tidur untuk melupakan masalahnya, tapi sepertinya ini lebih berat dari biasanya.

"... Sarada ..." Pria itu berbicara pelan. "... tidak mengganggapku ayahnya, Ino ... dia ... tidak mau mengakuiku dan lebih memilih Sasuke untuk menjadi ayahnya, bahkan setelah tahu kalau aku adalah ayah kandungnya ... dia bilang ... Papanya adalah ... Papa Sasuke bukan Papa Sai ..."

Ino terdiam. Ia bisa merasakan sakit di dadanya mendengar itu. Ino memeluk kekasihnya, mengelus punggungnya pelan, mencoba menenangkan pria yang kini bergetar karena mulai menangis. Sisi lain yang tidak ia ketahui sebelum Sai menjadi kekasihnya adalah, pria ini sangat mudah menangis.

"Apa yang harus aku lakukan, Ino ... aku hanya ingin Sarada menerimaku menjadi ayahnya ... aku ingin menebus dosaku dulu karena pernah meninggalkan mereka berdua ... apa itu salah? Apa yang harus kulakukan, Ino agar Sarada mau menerimaku ..."

Ino terdiam, tak menjawab apapun. Karena sesungguhnya dia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ino mengerti perasaan sakit Sai dan Sakura yang ditinggalkan oleh kekasihnya dulu, tapi karena ia tidak pernah mengalaminya, dia tidak bisa mengerti sepenuhnya. Ia juga tidak bisa menyalahkan Sakura karena membenci Sai yang pernah meninggalkannya disaat wanita itu sangat membutuhkannya.

"Sarada hanya butuh waktu untuk bisa menerimamu sebagai ayahnya, Sai ... Dia mungkin terlalu shock dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya. Apalagi dia masih kecil. Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu padanya ... Jadi, tenanglah, aku yakin Sarada pasti akan bisa menerimamu nanti, hm?"

Ino mengelus punggung Sai, berusaha menenangkan pria itu. Remasan kaleng bir kosong terdengar. Sai meremasnya hingga tak berbentuk. Kekasihnya sedang terpuruk dan ia tak tahu harus melakukan apa. Masalah ini terlalu rumit untuk Ino pikirkan seorang diri. Apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Sai? Melihat pria itu seperti ini membuatnya ikut merasa sakit.

. . .

Sakura berniat pulang malam ini, tapi sayangnya sejak tertidur tadi sore, Sarada sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kalau anak itu akan bangun. Ini sudah jam 9 malam dan ia tidak tahu bagaimana caranya membangunkan Sarada supaya anak itu ikut pulang bersamanya. Apa ia tinggalkan Sarada saja disini? Tidak, tidak mungkin kan. Mana mungkin ia melakukannya.

Tapi diam disini hanya berdua dengan Sasuke membuatnya canggung. Apalagi mengingat kejadian tadi sore. Ya Tuhan. Sakura terdiam sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Dan disaat keadaan seperti itu, ponsel pria itu berdering, membuatnya harus menjauh menuju ruang kerjanya untuk mengangkat telfon dan tidak kembali hingga saat ini.

Apa yang harus dilakukannya saat mereka bertemu nanti? Ekspresi seperti apa yang harus ditunjukkannya? Tidak, Sakura belum siap. Dadanya masih berdebar kencang tiap kali mengingat pernyataan pria itu tadi sore. Setelah sekian lama bertanya-tanya apa benar pria itu menyukainya, kini mendengarnya langsung membuatnya tidak bisa tenang.

Bagaimana perasaan Sakura terhadap Sasuke? Ia nyaman dengan pria itu. Ia menyukainya, Sasuke pria yang baik, tulus dan sangat perhatian. Tapi jika sampai mencintainya ... entahlah, Sakura belum yakin. Meskipun memang ia tak bisa menampik setiap kali pria itu bersikap lembut dan perhatian padanya ia senang. Dan terkadang Sakura merasa kesepian ketika Sasuke harus bekerja lembur bahkan sampai tak pulang seperti kemarin. Apa mungkin perasaannya ini cinta?

Sakura bersandar di sofa sembari memandang tv yang menyala, tidak tertarik. Kesadarannya mulai menguap seiring rasa nyaman yang didapatkannya dari sofa yang didudukinya saat ini. "Aku juga ... ingin mencintainya ..."

Aku juga ingin bisa lepas dari bayang-bayang Sai dan kembali mencintai seseorang lagi ...

Aku ... juga ingin mencintaimu, Sasuke-san ...

. . .

Don't forget to vote and comments! Your support means a lot to me!

. . .

07:28 p.m

Thursday, 21/02/04

A Papa For SaradaWhere stories live. Discover now