Part 26 (✓)

Mulai dari awal
                                    

Riska menatap Acha jengah seraya bersedekap. "Kan gue udah bilang, gue gak sengaja be," tuturnya.

Acha berdiri dan membersihkan bajunya yang sangat kotor.

"Emang gue bakal percaya sama lo?"

"Ya itu terserah lo mau percaya atau gak."

"Tapi gue seneng sih, karna lo jadi tambah dekil dan kotor." Riska menoel kepangan Acha.

"Jahat banget sih lo Ris,"

"Yes, it's me,"

Acha menghela nafas pelan. Ia membungkuk mengambil kacamata yang berada di bawah kaki Riska.

"Gue suka deh lo bersujud di kaki gue."

"Minggirin kaki lo! Gue mau ambil kacamata."

"Oh oke," Riska memundurkan langkahnya membiarkan Acha mengambil kacamata.

Saat ia mengambil kacamata, Riska menginjak tangan Acha.

"Awh," ringisnya.

"Eh, sorry tangan lo juga keinjek."

Acha menarik kacamata itu. Dia menatap malang kacamata serta tangannya yang merah. Susah payah dia menjaga kacamata itu tapi Riska menginjak kacamata kesayangannya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kasian, kacamatanya patah. Tapi karna gue baik hati, gue bakal ganti rugi."

"Gak usah! Gue gak sudi nerima uang dari lo!"

Riska terkekeh pelan. "Gak papa, gue tau kok lo itu orang miskin dan gak bakal bisa beli apapun semau lo. Dan karna gue itu kaya jadi gue bakal berbagi sama rakyat jelata yang membutuhkan,"

"Gue gak perlu-"

Tanpa mendengarkan ucapan Acha, Riska melemparkan uang lima lembar berwarna merah di wajah Acha.

"Lo gak perlu berterima kasih, gue ikhlas,"

Acha menatap uang yang berjatuhan ke tanah. Acha menatap Riska tajam, dia menahan emosinya.

"Sekalipun gue miskin, gue gak sudi nerima uang dari lo!"

"Gak usah malu-malu, kalo susah ya susah aja. Nggak usah sok berlagak gak butuh uang."

Tangan Acha semakin terkepal. Nafasnya mulai tak teratur. Dia kesal karna Riska merendahkan dirinya. Acha hampir nangis, matanya sudah berkaca-kaca tapi sekuat mungkin ia harus menahannya. Dia tidak mau terlihat lemah dimata Riska, atau dia akan lebih menghina dirinya.

Riska tersenyum kemenangan, dia mendekati Acha.

"Kalo lo berani menantang gue lagi, lo bakal dapet hal yang lebih menyenangkan lagi," bisik Riska.

Setelah mengucapkan itu, Riska berlalu pergi meninggalkannya.

Sepatu kotor, baju kotor, seluruh tubuh dipenuhi air lumpur, kacamata patah. Hah! Lengkap sudah penderitaannya kali ini.

Padahal sebentar lagi dia sudah sampai di sekolah. Terpaksa ia harus kembali ke kost. Untung saja dia masih punya seragam cadangan.

***

"Pak saya mohon buka gerbangnya."

Sudah hampir lima menit Acha berdebat dengan pria paruh baya itu.

"Gak bisa neng, ini udah peraturan sekolah. Lagian siapa suruh neng telat."

"Saya telat karna saya harus balik lagi Pak buat ganti baju," ujarnya.

Pak Satpam menatap Acha dari atas ke bawah. Acha terlihat bersih dan rapi.

Pak Satpam tetap saja keukeuh menggelengkan kepalanya. "Enggak bisa neng."

"Nanti saya beliin rokok deh."

"Sudah punya neng," rokok tujuh puluh enam filter itu ditunjukkannya pada Acha.

"Saya belikan es jeruk deh pak," Acha berusaha menganbil hatinya.

"Saya sudah ada kopi."

Acha mengusap wajahnya gusar, hari ini ada ulangan Kimia dan tadi dia juga tidak piket karna ulah Riska. Jadi, sebisa mungkin ia harus ikut ulangan, walaupun nanti dia dapat hukuman. Tapi sudah berkali-kali ia meminta Pak Satpam untuk membuka gerbang, tapi tetap saja ditolak.

"Hari ini saya ada ulangan loh Pak," lagi-lagi Acha melakukan negoisasi bersama Pak Satpam.

Kali ini Pak Satpam tak mendengarkan ocehan Acha, beliau duduk diatas kursinya sembari membaca koran ditemani secangkir kopi hitam yang masih berasap.

Acha menghentakkan kakinya. Dia kesal karna Pak Satpam tak menghiraukan dirinya.

"Ekhem," seseorang berdeham membuat Pak Satpam dan Acha menoleh bersamaan.

"Buka gerbangnya Pak," ujarnya.

Tanpa aba-aba, Pak Satpam langsung membukakan gerbang tanpa adanya negoisasi seperti yang dilakukan Acha.

Acha tercengang. Dengan gampangnya Pak Satpam membuka gerbang sepenuh hati. Se-berperngaruh apa Arjuna bagi sekolah ini?

"Lo masuk apa mau tetep berdiri di situ?"

Pertanyaan Arjuna menyadarkan Acha dari lamunannya.

"Oh i-iya,"

Acha menatap Pak Satpam sekilas lalu masuk bersama sang Arjuna.

"Katanya peraturan tetaplah peraturan, tapi nih bocah datang peraturan itu gak berlaku seketika!"

"Nih sekolah milik siapa sih sebenarnya?!"

"Siapa yang punya, siapa yang di patuhi!"

Sepanjang jalan Acha membatin dengan raut wajah kesal. Dia berjalan dibelakang Arjuna. Berbeda dengan Acha, Arjuna berjalan santai. Acha sedikit was-was karna takut dihukum, berkali-kali dia menoleh ke kanan dan ke kiri takut jika ada guru yang melihat mereka.

Tiba-tiba ada Bu Lidia yang berjalan berlawanan dari arah mereka. Guru BK itu menatap mereka berdua tajam. Ralat! Hanya Acha yang diliriknya tajam.

"Hukuman, hukuman, hukuman," dumel Acha pelan.

Acha memejamkan matanya, takut jika dia akan di hukum berat, tangannya pun sudah berkeringat dingin.

Tapi anehnya, Bu Lidia hanya melewati mereka tanpa menghukum seperti siswa telat seperti yang lainnya.

Apa karna dia terlambat bersama Arjuna?

Sebenarnya ada apa dengan sekolah ini? Kenapa peraturan hanya berlaku untuk siswa biasa seperti dirinya saja?

Entahlah, nanti ia akan bertanya pada Vinda dan Fana

***

^Jangan lupa bersyukur hari ini ^

DIA ACHA (PUBLISH ULANG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang