Bimbang

1K 49 2
                                    

Pagi yang membuat Naila berjalan dengan cepat, lumayan lelah kala menulusuri koridor menuju fakultasnya. Waktu yang telah mempertemukan dengan kata terlambat, bukan tanpa sebab. Semua ini terjadi karena perdebatan terlebih dahulu.

Semua yang terlihat di area fakultas hanya sepi, Naila bingung harus pergi kemana. Membuat dirinya hanya mematung di depan kelas dengan perasaan campur aduk.

Bagaimana kalau Naila tidak diizinkan masuk oleh dosennya itu? Membuat hati Naila semakin dicampur adukkan dengan segala hal.

Banyak pertimbangan kala Naila akan mengetuk pintu, saat tangannya akan mulai mengetuk pintu. Seketika dirinya terkaget karena ada seseorang yang lebih dulu membukanya.

Alhasil membuat Naila semakin mematung, dia tak tertarik untuk menatap dosennya itu. Apalah ketika mengingat perdebatan tadi pagi.

"Baru bangun, Naila?" kata dosen itu, Naila sudah jengkel oleh pertanyaan Pak Dito. Mungkin itu akan terdengar hingga seisi kelas. Sungguh malu Naila!

"Dia tidak sadarkah kalau aku yang terlebih dahulu bangun?" kata Naila dengan membatin.

Seketika membuat Naila merasakan panas dingin ketika ditatap oleh seisi kelas. Naila langsung menatap ke arah tempat yang masih kosong, Zahra kemana?

Tak ada penjelasan atas kepergian Zahra, Naila takut semua itu terjadi dengan kehilangan. Apa maksudnya Zahra meninggalkan Naila tanpa pamit?

"Naila!" panggil seseorang, Naila lantas menengoknya.

Ada Ujang, dia berlari dengan cepat hingga napasnya tidak beraturan. "Ada apa?" tanya Naila.

Ujang menormalkan napasnya terlebih dahulu, "Itu, Nai. Kamu dipanggil ke ruang rektor, katanya ada yang mau dibicarakan," kata Ujang dengan cepat, Naila langsung senang kala mendengarnya.

Apakah pengajuan beasiswa Naila lulus? Mungkinkah? Kemunculan harapan itu semakin besar di hati Naila, tanpa berpamitan dia langsung saja pergi meninggalkan kelas dan seisi kelas yang nampak memperhatikannya sejak tadi.

Dito yang berdiri masih mematung, dia ingin tahu apa yang sedang diurus oleh istrinya itu sehingga ada urusan di ruang rektor. Mungkinkah beasiswa? Tidak mungkin kalau Naila ikut pengajuan beasiswa, sedangkan mereka masih terikat dalam sebuah hubungan pernikahan.

💊💊💊

"Baik, pembelajaran hari ini saya tutup. Untuk pertemuan selanjutnya silahkan kumpulkan tugas dengan benar," ucap Pak Dito untuk terakhir kalinya, lantas dia langsung keluar kelas dengan sedikit terburu-buru.

Tujuan pertama adalah ruang dosen miliknya. Dia harus dengan cepat sampai ke ruangannya. Lumayan banyak mahasiswa dan mahasiswi yang sedang nongkrong di koridor. Sedangkan Dito tidak peduli dengan hal itu.

Rasanya tubuh seketika kaku ketika Dito melihat antrian panjang di ruang rektor. Begitu banyak antrian yang tentunya mengurus tentang beasiswa.

Apakah Naila termasuk di salah satunya? Dito yakin hal itu akan terjadi. Hanya perasaan takut yang kini terlintas di pikiran Dito. Mungkinkah kehampaan akan menghampiri kehidupan Dito?

Semua cobaan yang dihadapi Dito begitu sempurna tentang perasaan. Naila menghancurkan impiannya untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis. Seketika menyenangkan sirna dalam kehidupan Dito.

Hampir satu jam lebih Dito menunggu di dalam ruangannya. Belum juga ada tanda-tanda kalau Naila masuk ke dalam ruangan itu.

Tok tok tok

"Masuk," jawab Dito dengan wajah yang senang. Seketika pudar dengan sosok yang berbeda, dia bukan Naila melainkan Bu Vivi yang kebetulan dosen di fakultas yang sama.

"Nunggu siapa, Pak?" tanya Bu Vivi saat masuk ke dalam ruangannya.

Dengan diri Dito yang berbeda setelah menikah.

Dito memandangi arah luar yang masih terlihat ramai di ruang rektor, perasaan cemas menghantui pikiran Dito. Efek sampingnya membuat dia tidak fokus dalam mengejarkan revisi makalah tugas mahasiswa dan mahasiswinya itu.

Dito dengan cepat meminum botol minumnya, dia harus menghilangkan kegugupannya di dalam diri Dito. Orang-orang berjalan dengan cepat masuk ke ruangan Dito.

Tentunya mereka juga harus meminta persetujuan dari Dito sebagai wakil rektor yang katanya termuda. Bagian dirinya seketika lemas saat melihat Naila ada pada barisan belakang. Dirinya yang memainkan kaki dengan tak tenang, apakah dia takut berhadapan dengan Dito?

"Sini, Pak. Biar saya bantu," kata Bu Vivi, akhirnya Dito mengiyakan.

Lumayan banyak juga yang ikut beasiswa tukar pelajar. Mungkin mereka menginginkan suasana baru dan mencari ilmu lebih dalam lagi. Saat itu aku tidak fokus pada satu titik, aku memikirkan tentang Naila yang akan ikut pengajuan beasiswa.

Bergaung dengan segala harapan, membuat Dito semakin tak tahan untuk menceramahi Naila dengan tuntutan pertanyaan.

"Masih banyak, Pak?" kata Bu Vivi, dia sibuk merapihkan berkas yang diajukan oleh pengaju beasiswa.

Berada di dalam ruangan, namun raganya pada diri Naila. Membuat sedikit Dito tak fokus dalam melakukan pengerjaannya. Namun dia harus lebih semangat lagi untuk melakukan kerjaannya.

Urusan rumah dan di fakultas sangat berbeda, tidak seharusnya Dito memarahi Naila di depan umum seperti ini. Hingga dia harus menahannya setelah pulang nanti.

💊💊💊

Sebenarnya Naila merasa senang ketika mengetahui kabar kalau dia diterima untuk pengajuan beasiswa. Namun, dia juga ada perasaan sedikit tak tenang ketika mengingat kalau dia sudah menikah. Apalagi Naila sebagai seorang istri harus menuruti kemauan suami. Dia harus ikut apa kata suami.

Naila bingung harus berbuat apa, sehingga dia berada pada barisan paling belakang saat meminta tanda tangan dari wakil rektor. Perasaan dibaluti dengan kecemasan, tanda kalau dirinya bingung untuk keputusan.

"Selamat siang, Pak," kata Naila menyapa dosennya itu.

"Selamat siang, Bu," kata Naila menyapa Bu Vivi juga.

"Kamu dapat beasiswa dimana, Naila?" tanya Bu Vivi, seketika Naila bungkam dengan perasaannya sendiri. Dia takut untuk sekedar mengeluarkan kata.

"Hmm, i..tu..anu..Bu," jawab Naila gugup. Mengenai kegugupannya membuat Dito dan Bu Vivi saling pandang. Seketika api cemburu menghantam perasaan Naila, dia belum siap kala mengingat kedekatan mereka berdua.

"Dimana, Naila?" tanya Pak Dito, dia menanyakan dengan tegas walau hatinya sungguh merasa sangat gelisah.

"Itu, Pak. Saya dapat di Surabaya," jawab Naila dengan pelan.

Dia bingung dengan keadaan kini, apakah dia akan diizinkan.

"Apa?!" teriak Pak Dito dengan terkaget.

"Serius?" tanya Bu Vivi, Naila mengangguk.

"Lah, Pak Dito kenapa?" tanya Bu Vivi, Dito terdiam.

💊💊💊

Jazakumullah Khairan🙏😇

Terima kasih yang sudah baca cerita aku hhe:) Aku sayang kalian loh, kalian sayang aku ga?:v

Maaf ya kalau aku jarang update, ada yang kangen Naila?

Jangan lupa baca, vote, and coment guys👌
@Ermawati667

#Rabu
#18November2020
#10:30Wib

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Where stories live. Discover now