Emosi

1.1K 56 0
                                    

"Akhirnya selesai juga," ucap Zahra dengan lega. Aku merentangkan kedua tangan keatas, rasanya tangan pegal sehabis mengetik. Padahal kami silih bergantian mengetik.

"Iya yah, huft," kataku dengan menghela napas.

Sehabis mengerjakan tugas, aku dan Zahra masih selonjoran di ranjang. Sengaja aku membawanya ke kamar milikku, agar kita juga butuh privacy dan ketenangan dalam mengerjakan tugas.

Aku senang ketika bisa sekelompok dengan orang yang pikirannya searah. Paling tak suka kalau sekelompok dengan orang yang menerima enaknya saja, kadang tidak datang tapi ingin mendapatkan nilai. Ada juga yang datang, namun yang mengejarkan hanya satu orang. Kan percuma saja datang, membuang waktu, energi, dan biaya saja.

Aku dan Zahra memang sering memilih sekelompok. Banyak keuntungannya, aku dan Zahra salah satu orang yang tidak lalai dalam mengerjakan tugas. Tapi, entah sejak kapan aku selalu dianggap salah mengerjakan tugas setelah ada dosen killer baru itu.

Ada hal lain juga yang membuatku merasa nyaman, aku atau Zahra lebih memilih tempat sepi untuk mengerjakan tugas. Dibanding remaja lainnya yang lebih memilih mengerjakan tugas di caffe dengan alasan gratis wifi, nyatanya mereka hanya asyik nongkrong dan berakhir tidak mengerjakan tugas atau hanya satu orang yang menguras otak.

Tapi tidak bagiku dengan Zahra, kami selalu searah. Kami juga lebih memilih cepat selesai mengerjakan tugas. Setelah selesai, aku dan Zahra akan sepuasnya bercanda dan makan-makan. Kadang-kadang juga kami sering mencurahkan isi hati sambil mengerjakan tugas, namun masih fokus.

"Oh iya, kapan pengumuman lolos yah?" ucap Zahra tiba-tiba. Aku hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu.

"Kalau keterima, otomatis kita bakal pisah dong?" kata Naila.

"Kan lu juga ikut seleksi," tutur Zahra. Mereka terdiam, memikirkan hal yang akan terjadi. Apalagi Naila belum membicarakan keputusannya dengan Pak Dito.

Tetapi, dengan terpilihnya Naila untuk mendapatkan beasiswa. Secara itu, akan membuat kehidupan mereka berdua lebih tenang lagi.

"Gua mau pulang, Nai," kata Zahra tiba-tiba.

"Kok buru-buru amat?" keluh Naila, sebenarnya dia merasa malas jika harus berduaan dengan Pak Dito. Seperti terjebak dalam kehidupan rumah tangga.

"Lagian udah malam," kata Zahra.

Setelah kepulangan Zahra, lantas Naila masuk ke kamarnya lagi. Dia ingin mendinginkan suasana dengan berendam. Sudah lama juga Naila tidak luluran dengan santai, mungkin sejak dua minggu yang lalu kah? Rasanya sudah lama.

Kamar mereka memang memiliki privacy masing-masing, bukan hanya kamar utama yang ditempati oleh Pak Dito yang memiliki kamar mandi di dalam. Tetapi, kamar yang ditempati Naila pun benar-benar luas dengan kamar mandi di dalam. Tentunya tidak akan membuat mereka harus berebutan kamar maupun kamar mandi.

💊💊💊

Sebenarnya Dito ingin cepat-cepat istirahat. Tapi karena kabar dari istrinya itu kalau akan ada sahabatnya ke rumah, membuat Dito harus pulang telat. Beruntung ada teman-teman Dito yang menemaninya ngopi, bahkan mereka sampai lupa untuk pulang.

Kerinduan yang dirasakan mereka sudah menumpuk, sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing, entah kenapa untuk hari itu mereka bisa kumpul dengan dadakan tanpa janjian terlebih dahulu. Kadang percuma janjian, kalau akhirnya hanya wacana.

Seperti biasa, Dito hanya memesan coffe late yang menjadi kesukaannya sejak dulu. Rasanya tidak terlalu pahit, baginya membuat pikiran menjadi tenang.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Where stories live. Discover now