Debat

878 45 3
                                    

Mereka makan dengan diam, rasanya suasana seperti mencekam. Sejak tadi Naila sedikit membentak suaminya karena menganggu, tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Mas Dito. Mungkinkah dia tersinggung?

"Mas, aku minta maaf karena sudah membentak kamu," ucap Naila dengan cepat, rasanya tak enak hati yang dirasakan Naila saat ini.

"Makan dulu, Nai!" titah Dito dengan tegas, seakan tak ingin membahasnya.

Terpenting Naila sudah mengutarakan maafnya, walau Mas Dito tak menghiraukan maaf dari Naila. Seakan suasana sunyi, tak ada asisten rumah tangganya yang datang ke ruang makan. Padahal Naila menantikan itu.

Selesai makan, Naila dan Dito sama-sama merapihkan ruang makan. Naila mencuci piring kotor dan Dito yang membersihkan meja makan. Semuanya terasa cepat selesai ketika dilakukan bersama.

Setelah selesai semuanya, Naila beranjak pergi ke lantai 2. Dia duduk di balkon dengan beberapa cemilan yang menemaninya. Naila sangat suka mengemil, sehingga Dito membeli banyak makanan sebagai cemilan untuk Naila.

"Nai, aku ganggu kamu?" tanya Dito menghampiri Naila, Naila menggelengkan kepalanya.

"Aku boleh duduk disini?" tanya Dito lagi, kini Naila menganggukkan kepalanya.

Akhirnya Dito duduk di samping Naila, seakan membuat Naila bergeser. Dia sedikit menghindari Dito sejak tadi pagi.

"Ada apa, Nai?" tanya Dito dengan wajah yang sulit diartikan.

"Ada apanya?" tanya balik Naila dengan sinis.

"Kamu sejak tadi pagi menghindari saya?" ujar Dito seperti pernyataan.

"Nggak kok, aku cuman lagi pengen belanja aja kebetulan libur. Lagipula aku pengen berbaur dengan tetangga disini," jelas Naila beralibi, dia semakin kesal dengan adanya perdebatan ini.

"Saya ngerti, Nai. Maksud saya bukan itu, saya tahu kalau kamu menghindari saya. Sebenarnya ada apa?" tanya Dito berusaha untuk mencari tahu penyebab Naila berubah.

Naila langsung menangis.

Ketika akan dipeluk oleh Dito, Naila semakin menghindari jarak dengan Dito. Membuat Dito semakin bingung dengan sikap Naila.

"Kamu nggak menganggap aku sebagai istri kamu, bahkan kamu bilang ke Bu Vivi kalau kamu adalah om aku. Kalau kamu suka dia, kenapa malah nikahin aku? Padahal nikahin aja Bu Vivi," tutur Naila sambil terisak menangis, malah membuat hati Dito merasakan sakit melihat Naila menangis karena dirinya.

"Nai, bukan gitu," kata Dito berusaha menenangkan Naila yang sudah emosi.

"Lalu apa? Kalau bukan gitu, lalu apa? Hah?! Aku capek, Mas. Selalu seperti ini, aku udah berusaha menjalankan pernikahan ini, nyatanya apa? Semuanya tetap sama saja, kamu malah tidak menganggap aku ada setelah enam bulan sejak persetujuan aku memulai pernikahan ini," ucap Naila lagi semakin emosi, bahkan tangisnya semakin pecah. Dito berusaha untuk memeluk Naila untuk menenangkan, namun Naila beberapa kali menolaknya.

"Nai, diam dulu bisa?" ucap Dito dengan dingin, jangan sampai dia tersulut emosi juga.

Naila mengangguk pelan.

"Dengerin saya, Nai. Saya bukan maksud mengaku kalau saya adalah om kamu, tetapi saat itu kondisi mendesak sehingga saya bilang seperti itu. Bukan ada saya saja, tetapi banyak rekan dari luar juga. Saya takut malah mereka berpikiran tentang kamu jelek, maka dari itu saya bilang seperti itu," jelas Dito membuat Naila mengusap air matanya.

"Kamu tahu, Nai? Betapa sangat saya mencintai kamu, walau kamu cuek dan perubahan kamu sangatlah lamban. Saya sempat ingin menyerah, namun saya mengingat kalau kamu adalah istri saya dan akan tetap menjadi istri saya," tutur Dito setenang mungkin, Naila sudah tak menangis lagi malah pipinya bersemu merah.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Where stories live. Discover now