Seatap

1.2K 63 0
                                    

Sesampainya di apartement, lantas aku sudah tidak sabaran untuk masuk ke dalam. Rasanya badan sudah remuk, aku sudah lelah. Akhir-akhir ini aku sering merasakan lelah, mungkin karena banyak pikiran juga.

Aku melihat Pak Dito terlihat kesulitan ketika membawa dua koper sekaligus. Dengan inisiatif aku akan mengambil alih dua koper tersebut. "Kamu aja yang buka," katanya ketika aku hendak mengambil dua koper itu.

"Sandinya?" tanyaku.

"1201," katanya singkat.

Aku langsung saja menjatuhkan tubuh di sofa yang berada di ruang tamu. Aku sedikit melihat-lihat melalui mata, ternyata begitu luas. Akhirnya aku beranjak berdiri, ingin melihat lebih detail lagi. Ruang tamu yang bersatu dengan ruang keluarga, 4 pintu kamar yang tertutup, dapur yang menyatu dengan kamar mandi dan meja makan. Tak lupa juga dengan tata letak yang membuatku jatuh cinta pada tempat ini.

"Kamar aku yang mana?"

"Ini kamar saya, ini kamar kamu. Tapi masih berantakan, kamu tinggal tata sesuka kamu saja," jelasnya.

"Oh iya, ini perpustakaan sekaligus mushola. Kalau ini ruang kerja saya," lanjutnya lagi.

"Oke."

Aku memasuki kamar, ternyata sudah begitu rapih. Tadi katanya apa? Masih berantakan? Mungkin tinggal tata letaknya saja yang harus aku rapihkan kembali. Mataku rasanya berat, selalu ingin tidur. Mungkin dalam bahasa medis sering disebut somnolen. Aku pernah membacanya ketika membuka majalah tentang keperawatan.

Dulu, memang aku pernah bercita-cita ingin menjadi perawat. Nyatanya aku malah masuk jurusan dengan meracik obat. Mungkin seorang dokter dan perawat akan terlihat cocok jika bersanding, tapi tidak bagiku. Mungkin ini pertanda jika aku tidak cocok dengannya.

Mungkin cukup lama aku tertidur di dalam kamar, saat aku terbangun jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Beruntung aku lagi haid, tidak membuat aku harus lalai dalam hal beribadah.

Aku melihat Pak Dito memasuki kamar yang kini telah menjadi milikku. "Ngapain?" tanyaku sambil mendudukkan tubuh yang terbilang mungil ini.

"Kamu belum bersih-bersih?"

Aku menggeleng.

Sontak aku berdiri dan menghampiri koper-koper milikku, dimulai dari membereskan alat-alat make up dipindahkan ke meja rias, buku-buku yang kutata dengan rapih di meja belajar, baju-baju yang dimasukkan ke dalam lemari dengan menguras kesabaran.

Aku berjalan keluar kamar, mengangkat dus yang sangat besar membuatku sedikit kewalahan. Pak Dito yang melihatku akan terjatuh, lantas mengambil dus yang aku bawa.

"Bukan dari tadi," kataku.

Aku membukanya, dan menata sepatu dan sandal milikku yang diletakkan di rak sepatu. Aku juga menata tas dan alat-alat lainnya di dalam sebuah laci. Seperti ini saja sudah membuatku semakin lelah. Dari tadi dia hanya menontonku saja, tidak ada niatan untuk membantu sama sekali. Setidaknya membantu orang yang sedang kesulitan merupakan mencari pahala juga.

Sebenarnya dia ingin membantu, tapi aku menolaknya dengan halus. Bagaimana tidak kesal? Dia ngasal dalam menata barang-barangku, berakhir dia hanya menontonku saja.

Aku terduduk di depan meja belajar, membuka laptop. Dia menyodorkan kartu, lebih tepatnya black card. Aku mendongak menatapnya bingung, dia hanya diam membisu.

"Pake kartu itu buat keperluan kamu, Nai," ucapnya.

"Kalau untuk biaya sehari-hari saya akan transfer kamu setiap bulannya," lanjut dia.

"Iya, Pak Suami....," kataku dengan menekankan kata "Pak Suami" wajahnya hanya datar.

Dipikirnya dia memiliki kepribadian yang sering berubah-ubah, kadang hangat, kadang juga dingin. Membuatku kadang harus bisa memahaminya dengan baik.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Where stories live. Discover now