21. JAKARTA 1

462 74 31
                                    


I miss you already.” Itu kata pertama yang Will ucapkan begitu aku tiba di Jakarta.

Jangankan Will, dadaku saja sudah sesak menahan rindu padanya. Awalnya kupikir perlahan aku akan mulai terbiasa dan rindu ini nggak bakal begitu menyiksa. Nyatanya aku keliru. Semakin hari, aku semakin merindukannya. Rasanya video call setiap hari nggak mampu meredam hasrat untuk mendekapnya dan menyesap aroma tubuh lelaki yang kueamba itu.

Aku mempertanyakan takdirku yang terus saja berjibaku dengan hubungan jarak jauh. Nggak jarang, ketakutan menghantui diriku. Mengingat hubungan LDR yang kujalani sebelumnya harus kandas mengenaskan. Kadang ragu menggerogoti batinku. Apa Will yang terkenal sebagai playboy bisa menjaga hatiku, atau malah akan membawa kisah tragis seperti sebelumnya?

Sudah satu bulan berlalu setelah kepulanganku ke Indonesia. Kami masih berkomunikasi dengan baik melalui pesan whatsapp, video call dan telepon. Aku juga membuat grup whatapp yang beranggotakan aku, Will dan Jake. Awalnya mereka keberatan dan membuat kegaduhan di grup dengan saling ejek khas lelaki, tapi lama-kelamaan grup terasa menyenangkan juga. Kami juga sering melakukan video conference. Ya, contohnya saja seperti saat ini.

What’s your problem, Dude?” keluh Will dibarengi erangan kesal dari mulut Jake.

Fuck, Will!” balas Jake. Dia meraup wajahnya seolah dengan begitu perdebatannya dengan Will akan berhenti.

Will baru saja akan membuka mulut. Ini nggak boleh dibiarkan lebih lama lagi atau akan terjadi pertumpahan ingus di sini. “Hentikan!” Aku sengaja membesarkan volume suara agar mereka menuruti perintahku. Terbukti, mereka langsung menghentikan perdebatan sia-sia itu. “Kalian seperti bayi yang rebutan menyusu.” Keduanya serempak memberikan protes. “Nah, itu. Itu dia. Coba tolong kalian kompak begitu aja, jangan berdebat. Kepalaku seperti dihajar palunya Thor.”

“Ini semua karena Si Tua pemalu itu. Apa susahnya membalas sinyal dari model majalah itu, huh?” ujar Will yang ditujukan pada Jake.

Can you shut the fucked up!” Jake terlihat kesal, sedangkan Will terbahak puas karena telah sukses menggoda Jake.

“Ok, stop it,” kataku kembali melerai. “Will, jadi sekarang kamu alih profesi menjadi komentator percintaan?” sindirku pada Will.

Salah kalau aku berharap Will mau menutup mulutnya agar nggak menyudutkan Jake lagi. Dengan bangga dia berkata, “setelah berhasil menemukan malaikat dari Tuhan?" Dia mengangkat bahu acuh. "Well. Ya, bisa dibilang begitu.” Dia tersenyum penuh kemenangan.

Aku tersipu. Omelan yang tadi siap kutembakkan pada Will mendadak buyar. Kepalaku dipenuhi bunga-bunga, ada burung-burung bernyanyi dan kupu-kupu yang beterbangan juga. Will tersenyum penuh makna. Waktu seakan berhenti berputar.

Enough! Just get the fucking room.” Omelan Jake sukses memecahkan kebekuan antara aku dan Will tadi.

“Akan kulakukan, Jake,” balas Will tanpa mau repot-repot menghentikan tatapan juga senyumannya padaku.

Oh, shit. I’m out,” ujar Jake kemudian layar hanya menampilkan gambarku dan gambar Will. Jake benar-benar memutus sambungan video call.

“Will, kamu udah keterlaluan, deh, sama Jake,” keluhku. Aku nggak enak Jake sampai ngambek begitu.

“Sengaja. Aku memang hanya ingin ngobrol berdua denganmu.” Will menanggapi dengan santai. “Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu”

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now