51. REASON

429 65 30
                                    

Saat jarak kami semakim dekat, aku langsung berdiri dengan sikap siaga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saat jarak kami semakim dekat, aku langsung berdiri dengan sikap siaga.tanganku terkepal menahan marah. Dia terus menatapku tanpa ragu. Keadaannya nggak lebih baik dari yang terakhir kali kulihat. Dia kacau dan semakin kacau.

"Ngapain ke sini?" tanyaku dengan suara nggak ramah waktu dia berdiri tepat di depanku.

"Kita perlu bicara," katanya.

Aku tersenyum kecut. "Sangat menggelikan," sinisku. Lelaki itu diam dengan raut wajah yang sulit untuk kupahami. Nggak apa-apa. Aku nggak perlu memahaminya. Aku cukup memahami kalau aku murka padanya. "Lucunya, setelah kekacauan yang kamu buat, baru kali ini kamu ngajak bicara. Apa kami amnesia?"

Dia membasahi bibir dan meneguk ludah. "Aku minta maaf."

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan," kataku dengan cara yang sama persis seperti yang dia lakukan dulu.

Aku berjalan melaluinya. Dia menahan tanganku dengan cepat kuempaskan tangannya dan memberinya hadiah sebuah tinju ke perutnya. "Jangan pernah menyentuhku," kataku memperingatinya.

Dia mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. "Bagaimana kalau sebagai permintaan maaf, kamu boleh memukulku. Tapi, setelah itu kita tetap harus bicara."

"Habisi saja dirimu, aku tidak peduli. Dan aku tetap tidak ingin bicara denganmu." Aku kembali berjalan meninggalkannya.

"Aku melakukannya bukan tanpa alasan, bukan hanya karena kami bersahabat. Aku tidak akan mengorbankanmu demi persahabatan lelaki, atau hanya karena penyakitnya. Perasaanku tidak sedangkal itu," kata Will dengan suara keras karena jarak kami yang semakin jauh.

Aku tahu ini bodoh, tapi aku menghentikan langkah kaki. Ada sebagian kecil diriku yang peduli pada hal ini. Aku bisa mendengar suara langkah Will yang mendekat. Dia berdiri tepat di belakangku dengan jarak setengah langkah saja.

"Aku tahu, aku sudah meninggalkanmu dengan cara yang paling buruk. Aku paham kalau kamu begitu membenciku, Kim. Aku tidak menyalahkanmu." Mendengar ucapannya, aku kembali melangkah. "Jake lebih dari sekadar sahabat," kata Will lagi berusahaenahanku, tapi aku nggam berhenti. Dia terus mengekoriku. "Aku berhutang nyawa padanya. Bukan hanya aku, tapi juga ibuku."

Kali ini perkataannya kembali berhasil menahanku. Dia nggak menyia-nyiakan kesempatan ini. Will berjalan cepat dan berdiri di hadapanku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami saling tatap sedalam ini.

"Bisa kita berhenti main kejar-kejaran dan bicara?" tanya Will ragu-ragu.

Aku melihat ke sekeliling dan berhenti pada rumput hijau di bawah kami. Will seperti mengerti maksudku. Kami duduk di atas rumput menghadap kebun anggur. Will sempat menarik napas kemudian mengembuskannya dengan berat berkali-kali.

"Aku dan Jake sudah berteman sejak lama. Jauh sebelum kejadiaan Jingga di London. Sesama pebisnis, kami memiliki satu lingkaran yang sama. Aku dan Jake lebih akrab dibanding dengan yang lain. Hari itu, kami dan beberapa teman lainnya ke Pembrokeshire, Wales. Kami bermain paragliding. Sialnya, saat aku terbang anginnya menjadi sulit dikendalikan. Angin dari sisi kiriku sangat kencang ,juga ada turbulensi. Aku mendarat dengan buruk." Will mengangkat bahu. "Lebih tepat jika dikatakan kecelakaan. Mereka melarikanku ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan. Aku membutuhkan banyak transfusi darah. Sayangnya, tidak ada darah yang cocok dengan golongan darahku di rumah sakit saat itu. Jake satu-satunya orang yang mau mendonorkan darahnya untukku. Dia menyelamatkan nyawaku."

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now