39. CONFUSED

309 52 14
                                    

Lama kami seperti itu, sampai kupikir Will akan melunak, tapi ternyata pikiranku salah. Dia meraih tanganku dan menyingkirkannya.

"Tidak sepantasnya kamu melakukan ini." Will berbalik ke arahku. Dengan mata yang sedikit memerah mungkin karena menahan marah atau entah apa. Dia berkata lagi, "aku paling benci pada orang-orang yang tidak profesional. Jangan pernah membahas persoalan pribadi di tempat kerja. Itu sangat tidak tahu malu."

Setelah mengatakan itu, Will langsung berjalan ke arah ruangannya. Dia mengurungkan niat ke toilet. Waktu Will menghilang, aku langsung bersandar di dinding agar nggak jatuh ke lantai. Aku menghabiskan bermenit-menit di sana tertegun dengan mata berkaca-kaca. Beruntung nggak ada orang lain yang ke sini.

Waktu aku kembali ke mejaku, Nat sedang membereskan barang-barangnya ke dalam tas dan bersiap pulang. Aku mengintip ke dalam ruangan Will, ruang kerjanya susah gelap. Will pasti sudah pulang.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi di antara kalian," kata Nat yang tiba-tiba saja berdiri di depan mejaku. "Tapi, aku lebih tidak mengerti lagi dengan perubahan sikapnya." Nat memberi kode dengan sudut matanya yang mengarah pada ruangan Will.

Aku tersenyum getir. "Akan adil jika aku tahu di mana letak salahku.  Mungkin aku bisa menerimanya." Aku menggeleng dengan wajah putus asa di akhir kalimat. Aku benar-benar nggak tahu apa penyebab sebenarnya Will bersikap begitu padaku.

"Melihat kondisi kalian saat ini, kupikir kamu tidak tahu kalau besok siang kami akan kembali ke London," kata Nat dengan sorot prihatin.

Aku nggak bisa menutupi keterkejutanku. Dia benar-benar ingin menjauhiku. Dia merencanakan pulang tanpa memberitahuku lagi. Apa aku harus menyerah sekarang?

"Saranku, jika ada yang mengganjal, lebih baik selesaikan sekarang sebelum terlambat." Nat mendesah pelan.  "Sebenarnya, aku berharap bisa mengatakan itu pada Mr. Smith," katanya lemah.  Nat terlihat berpikir apa yang akan ia katakan berikutnya. Ada desahan menahan kesal yang keluar dari mulutnya. "Kamu mengenalku, Kim, aku tidak pernah tertarik apalagi peduli dengan urusan percintaan bossku. Kamu juga tahu tidak banyak nama yang ada di dalam daftar temanku. Masalahnya, kamu termasuk ke dalam daftar temanku yang jumlahnya sedikit itu. Ini membuatku tidak bisa menutup mata pada ketololan bossku kali ini. Aku yakin dia akan menghabiskan sisa malam-malamnya dengan meratapi kedunguannya."

"Setelah semua sikap dingin yang sudah Will lakukan--" Aku mengangkat bahu nggak bersemangat. "Aku nggak yakin."

Nat nggak berkomentar lagi, mungkin karena dia juga bingung mau mengatakan apa. Aku memang nggak bercerita banyak pada Nat tentang apa yang sudah kualami di London kemarin. Sejauh ini, hanya Jake yang tahu dengan rinci apa yang sudah terjadi antara aku dan Will.

Sebelum pulang, Nat memelukku. "Aku bersumpah akan menjadi orang terdepan yang menertawakan bossku kalau dia sampai nyaris tidak bisa bernapas akibat penyesalannya."

Aku kembali mengeluarkan senyum palsu. Senyum yang seolah mengatakan kalau aku baik-baik saja. "Dia tidak akan menyesalinya, Nat."

Setelah Nat pergi, aku terus menimbang apakah aku perlu menemui Will lagi atau nggak? Terjadi perang batin di dalam jiwaku.

Pergi, nggak, pergi, nggak, pergi ... arrggghhh!

Aku mengerang kesal sambil mengacak rambut. Masa bodoh dengan penampilan. Ini lebih sulit dari menentukan taruhan pacuan kuda.

"Belum balik lo?" Suara Brama sukses mengejutkanku. Aku sampai melempar post it yang berada di dekatku ke arahnya. Bagus gerak refleks Brama sangat cepat, kalau nggak pasti lemparanku sukses menghantam hidungnya.

"Lo ngapain, sih, pakai acara cosplay jadi setan segala?" omelku dengan jantung masih maraton.

"Kim, besok ke HRD, gih. Minta mereka bikin iklan lowongan pekerjaan," kata Brama acuh.

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now