34. CRUSH ME

319 54 28
                                    

Pada pertengahan bulan Maret di London, matahari baru mulai terbit sekitar pukul 07:20 pagi dan terbenam sekitar pukul 19:30.  Hari ini, aku terbangun ketika jarum jam menunjukkan pukul 5:30. Belum ada jejak kedatangan matahari dan langit masih sangat gelap ketika aku membuka jendela kamar.

Aku segera ke kamar mandi. Setelah mandi, aku memilih baju dari dalam lemari.  Dress merah muda lembut dengan motif coral menjadi pilihanku. Kukeluarkan flat shoes berwarna biru muda senada dengan motif coral dress-ku. Sedikit pulasan di wajah untuk menutupi wajahku yang kelelahan. Aku siap kembali ke kamar Will. Semoga kali ini Will mau berubah pikiran.

Kurang dari jam enam pagi, aku sudah duduk di depan pintu kamar Will. Dia masih mengunci pintunya. Aku nggak punya pilihan selain menunggunya di luar sama seperti kemarin. Aku duduk menghadp pintu kokoh yang menjadi pembatas kami.  Masih nggak ada tanda-tanda aktivitas dari dalam sana.  Jadi, yang bisa kulakukan hanya menunduk dan memainkan jariku di atas lantai granit mahal yang kududuki. Aku mencoba menuliskan nama Will dengan sia-sia di sana.

Kurasa, Will membayar terlalu mahal untuk pelayannya. Mereka sampai bekerja begitu keras agar nggak ada debu sedikitpun di lantai. Aku sampai bisa bercermin di lantainya. Pantulan wajahku terlihat kacau. Kantung mata dan lingkaran hitam masih terlihat di sana meski sudah berusaha kutambal dengan riasan.

Payah. Aku payah!

Aku bergumam kecil menyanyikan lirik lagu Amazing Day yang pernah Will nyanyikan, demi membunuh jenuh yang mulai menyerangku. Aku harus bertahan.

Entah sudah berapa kali aku mengulang-ulang lagu itu, sampai akhirnya pukul 7:15, pintu kamar Will perlahan terbuka. Ada derit pelan di sana. Aku langsung menengadan dan mendapatkan mata Will. Dari reaksinya, aku yakin kalau dia terkejut dan nggak siap melihatku ada di sini.

Hatiku melonjak kegirangan. Akhirnya aku bisa melihat lelaki yang amat kurindukan belakangan ini. Will terlihat berantakan. Brewoknya tumbuh nggak terawat. Matanya berkantung lebih parah dari milikku. Sebenarnya, sudah berapa lama dia nggak tidur dengan baik, sih? Rambutnya lebih panjang dan nggak tersisir rapi seperti biasanya, wajahnya juga kusut dan terlihat kelelahan mirip seperti Noah dalam film The Notebook waktu menunggu Allie datang ke kampung halaman mereka. Mata biru lautnya nggak sejenaka biasanya, sorotnya seperti putus asa membuat orang yang melihatnya ikut merasakan luka yang ia rasakan.

Ada apa dengan Willku? Apa yang sebenarnya Will rasakan?

Jakunnya bergerak-gerak seperti akan bicara. Aku menynggunya ,tapi dia nggak juga mengatakan apa pun. Aku berdiri untuk menghampirinya. Nggak apa-apa kalau dia belum bisa bicara, aku akan memeluknya seperti biasanya. Aku ingin memberikan dukungan agar Will bisa melewati apa pun masalah yang dia alami.

Sebelum aku berhasil memeluk tubuhnya, Will sudah lebih dulu berkata, "pergi."

Gerakanku tertahan, aku mematung mendengar ucapannya. Lagi, dia menyuruhku untuk pergi?

Tahan, Kimmy. Lo nggak boleh lemah. Begitu terus yang kukatakan pada diriku sampai aku bisa menguasai diri.

"Nggak. Sampai kamu mau ngomong sama aku aku nggak bakal kemana-mana," jawabku tegas.

"Pulang, Kim. Aku tidak ingin melihatmu."

Aku bisa melihat kesedihan di sana. Aku melihat Will berusaha sekuat tenaga demi menahan perasaannya. Aku yakin itu.

Dengan tegas aku menggeleng. "Nggak bakalan sebelum kita bisa bicara baik-baik."

Dia menghela napas kasar sambil meraup wajahnya. "Aku sudah menyuruhmu untuk pergi. Kenapa kamu masih tetap di sini?" tanya Will. Dia nggak menatap mataku. Dia sengaja menghindariku.

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now