48. SPRING IN CENTRAL LONDON

350 69 44
                                    

"Jake! Astaga!" pekikku dengan jantung nyaris merosot dari tempatnya. "Ngapain kamu berdiri di situ? Kupikir kamu setan penunggu tikungan."

Bukannya merasa bersalah, dia malah terbahak puas banget. "Muka kagetmu lucu banget. Sumpah," kata Jake dengan bahasa Indonesia santai.

Aku nggak menyahut dan memilih mengerucutkan bibir sambil menatap kesal ke arahnya.  Sudah nggak aneh, sih, kalau Jake itu jahil, tapi kali ini dia sukses membuatku nyaris terkena serangan jantung. "Bercandamu berpotensi bikin aku kena serangan jantung di usia dini," omelku pada Jake sambil melipat kedua tangan.

Jake berhenti tertawa. Dia menatapku dalam, kemudian memberikan tatapan menyesal. "Jangan merajuk. Mukamu menggemaskan dan bikin aku nggak bisa berhenti jahilin kamu, Kim." 

Tangan Jake terulur dan menyentuh rambutku, pengusapnya pelan. selama bertahun-tahun mengenal Jake, berteman bahkan bersahabat dengannya, dia nggak pernah berusaha menyentuh dan membuat kontak fisik yang disengaja. Kali ini dia mengusap kepalaku. Hal baru yang nggak pernah ia lakukan sebelumnya. Bodohnya, aku malah membeku menyadari gerakan Jake. Setelah lama saling pandang begitu, akhirnya Jake menyunggingkan senyum sambil menelengkan kepalanya.

"Mau secangkir cokelat hangat?" tanya Jake dengan nada ceria seperti biasanya.

Astaga, Kimmy! Sadar, kalian cuma sahabatan. Otaknya nggak usah traveling gitu.

Aku berusaha tersenyum. "Kamu cenayang hebat, Jake.  You know what i need even my lips never talk anything."

Jake berhenti berjalan dan kembali menatapku.  "Mulutmu mungkin diam, tapi matamu mengatakan ribuan bahasa yang nggak terucap lewat kata." Setelah ngomong begitu, Jake langsung mengedipkan sebelah matanya dan kembali berjalan.

aku baru sadar setelah tertinggal beberapa langkah dari Jake. "Jake," panggilku sambil berusaha mengejarnya.  Cepat-cepat aku berjalan mundur tepat di depan Jake.

Kening Jake berkerut saat aku berjalan mundur tepat di hadapannya.  "Apa?" tanya Jake.

Kuulurkan tangan kananku ke arah keningnya, persis seperti mama kalau sedang memeriksa suhu tubuhku yang lagi demam. "Kupikir kamu sakit, Jake." Kedua alis Jake nyaris bertaut. "Sikapmu upnormal hari ini. aku khawatir kamu demam atau salah minum obat."

Sudut bibir Jake berkedut menahan tawa. aku bergerak ke sebalah Jake, berjalan beriringan menyeimbangi langkahnya.  "Hidupmu udah terlalu lama tegang, Kim. Aku akan dengan senang hati mencairkan hidupmu lagi." Jake menahan pintu lift. Dia membiarkan aku masuk lebih dulu. Sambil menatapku dia berkata, "aku kangen kekonyolanmu yang dulu, Kim. Hidupmu terlalu serius belakangan ini."

Kucoba mengalihkan topiknya dengan menjawab, "hidupku jadi serius demi kemajuan AHM, Jake. Nggak ada yang bercanda kalau soal bisnis."

"Kalau begitu, sudah waktunya kamu bersantai sejenak, Kim."

"Aku selalu santai kalau berurisan dengan cokelat," sahutku.

Lift yang kami tumpangi meluncur naik ke puncak gedung hotel ini. Ada restaurant dengan pemandangan Central London yang menakjubkan di teras atap.  Lift berdenting dan pintunya terbuka. Jake menahan pintu lift untukku. Bukan hal yang aneh, dia memang selalu melakukannya. Tapi, hari ini rasanya berbeda. Mungkin hanya perasaanku saja. Kami memilih kursi di bagian luar restauran. Satu sisi pembatas gedung ini terbuat dari kaca tebal, jadi memungkinkan kami tetap mendapatkan pemandangan Central London tanpa terhalang beton pembatas.

"Ini spot favoritku di sini," kataku sambil memandang jauh pada kota London yang sibuk.

Jake tersenyum tanpa melihatku. "Sudah kuduga," katanya.

KIMMY ;Lost in LondonWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu