33. FAR FROM HOME

287 58 23
                                    

Setelah menghabiskan tujuh belas jam dua puluh menit berada di udara, ditambah dua jam transit di Abu Dhabi, akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di Heathrow, Inggris. Rasanya seperti de javu, tapi kali ini aku nggak bakal berakhir seperti di Walts Art Galery. Willku nggak mungkin melakukan itu, kan?

Aku masih harus menempuh perjalanan sejauh 22 kilo untuk sampai ke Alta Tower. Setelah menghabiskan empat puluh menit di perjalanan dengan taxi, akhirnya aku tiba di Alta Tower. Beruntung kartu identitas yang kugunakan saat bekerja di sini belum di blokir. Jadi, aku bisa langsung ke lantai delapan belas, di mana ruangan Will berada. Sayangnya, nggak ada siapapun di sana. Menurut resepsionis yang berjaga di lantai ruangannya, Will masih belum masuk kerja setelah pergi ke Indonesia.

Aku bergegas ke rumah Will dengan menggunakan taxi. Jarak antara Alta Tower dan rumahnya nggak begitu jauh.  Sampai di sana, aku disambut oleh Gustafo.  Dari raut wajahnya, aku bisa melihat ada yang nggak beres di rumah ini.

"Ada apa Gustafo? Apa Will ada di rumah?" tanyaku saat kami berjalan menaiki tangga.

Dia mengangguk sopan. "Mr. Smith ada di kamarnya..." Dia menjeda kalimatnya. Gustafo juga menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" tanyaku dengan rasa penasaran setinggi gunung.

"Sejak tiba di rumah, Mr. Smith terus mengurung diri di kamar." Gustafo membasahi bibirnya. Dia nampak menimbang ucapan yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Kami sering mendengar suara benda yang dibanting dan itu membuat kami mengkhawatirkan kondisinya."

Ini aneh. Will bukan lelaki kasar. Dia juga bukan orang pemarah. Kalau dia sampai begitu, pasti ada penyebabnya.

"Apa dia mengatakan sesuatu saat tiba di sini?" tanyaku dengan kening berkerut dalam.

"Selain jangan ganggu aku?" Gustafo menggeleng dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke bawah. "Tidak ada," imbuhnya lagi.

Ini sangat mengejutkan sekaligus membingungkan. Apa sebenarnya yang terjadi? Jika Will ada masalah pekerjaan, dia pasti berada di kantornya saat ini. Jika permasalahnnya dengan keluarga, Will pasti sedang sibuk dengan keluarganya. Namun, yang ia lakukan justru mengurung diri di kamar. Apa sebenarnya yang terjadi pada Will?

Gretha membantu membawakan barang-barang ke kamar yang pernah kutempati tempo hari. Sedangkan aku memilih untuk langsung ke kamar Will. Kuketuk pintu kamarnya, tapi nggak ada jawaban dari dalam sana.

"Will, boleh aku masuk?" tanyaku.

Masih nggak ada jawaban. Kuputar gagang pintunya, tapi nggak terbuka. Will mengunci kamarnya. Ini nggak seperti biasanya. Will nggak pernah menolakku. Apapun keadaannya, dia selalu menceritakannya padaku. Kalau sekarang dia sampai diam begini, pasti ada sesuatu yang salah.

Aku mengembuskan napas panjang, kemudian duduk di depan pintu kamar Will. Aku nggak akan menyerah. Aku harus bisa menemui Will. Nggak ada suara apapun dari dalam kamar, benar-benar hening.

Aku melipat kedua kaki dan membenamkan wajahku di sana. Aku lelah. Kepalaku berdenyut setelah berjam-jam berada di udara. Aku sampai tertidur dalam posisi seperti itu. Tangan Gretha yang menyentuh bahu kananku membuatku terbangun.  Sudah larut malam sekarang. Will masih nggak membukakan pintu untukku. Kamarnya juga masih sunyi, tanpa suara.

"Miss, lebih baik kamu beristirahat di kamarmu. Mr. Smith tidak akan keluar," kata Gretha dengan wajah sedih.

Aku tadinya berniat menolak usul Gretha, tapi Gretha berkata lagi, "percayalah, Miss. Dia sudah seperti itu berhari-hari. Tidak ada yang bisa memaksanya keluar. Maaf mengatakan ini, tapi jika dia mau, dia pasti sudah membuka pintu kamarnya sejak pertama mendengar suaramu."

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now