49. THE TRUTH

361 76 52
                                    

"Jake, kamu mimisan," kataku sambil merogoh saku berharap membawa tisu atau apapun yang bisa kugunakan untuk melakukan pertolongan pertama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jake, kamu mimisan," kataku sambil merogoh saku berharap membawa tisu atau apapun yang bisa kugunakan untuk melakukan pertolongan pertama.

Nihil. Aku nggak membawa apapun yang bisa kugunakan untuk menahan agar darahnya nggak menetes ke mana-mana. Darah mengalir banyak dari kedua lubang hidung Jake. Darahnya sampai menetes ke lantai lift. Perhatianku terhenti pada dasi Jake. Dengan cepat aku berjalan mendekat dan membuka dasinya. Setelah berhasil, kugulung dasi berwarna biru itu dan mendekatkan dasi yang sudah tergulung ke hidung Jake. Tanganku bergetar. Aku pasti terlihat panik.

"Kita harus ke klinik lantai 3, Jake. Tidak, tidak. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga," kataku sambil terus memegangi dasi di hidung Jake.

Perlahan, tangan Jake meraih lenganku. Dia masih berusaha tetap tersenyum. "Aku baik-baik saja, Kim." Jake berusaha menenangkanku.

"Ini darah, Jake, bukan limun. Gimana bisa baik-baik aja," ketusku. Aku memang sering sekali mengeluarkan kata-kata aneh kalau sedang panik begini.

Jake meraihku ke dalam pelukannya. Dia mengambil alih dasi di tanganku. "Aku sering begini kalau kurang tidur. Aku hanya butuh obat pengental darah dan istirahat."

"Kalau gitu, kita pulang sekarang juga, Jake," kataku.

Aku benar-benar mencemaskan Jake. Aku nggak pernah melihat orang mimisan sebanyak ini. Darah dari hidung Jake benar-benar membuatku ngeri. Aku nggak ingin memikirkan hal buruk yang terjadi pada Jake, tapi pikiran buruk terus menggelayutiku.

"Kalau itu bisa menghilangkan khawatirmu, ayo kita pulang," kata Jake sambil mengusap punggungku.

"Jangan sakit, Jake. Kumohon jangan sakit," kataku pelan.

Jake adalah orang terpenting di hidupku. Wajar, kan, kalau aku nggak mau dia sakit? Dia teman terbaikku yang selalu ada untukku di saat kami berjauhan atau pun sedekat sekarang. Aku nggak mau dia kenapa-kenapa.

Kami meluncur ke parkiran bawah tanah. Beruntung mobil Jake dilengkapi dengan auto-pilot. Aku memaksa Jake duduk di kursi penumpang dan aku di kursi kemudi. Bukan untuk mengemudi, tapi untuk memasukkan data alamat tujuan dan mobil ini akan melaju dengan sendirinya. Sepanjang jalan Jake terus memejamkan matanya dengan tubuh condong ke depan. Dasinya sudah penuh darah. Kubuka blazer dan menyodorkannya.

"Semoga aromanya nggak terlalu buruk," kataku sambil mengulurkan tangan ke arah Jake.

"Jadi kamu mau aku menyesap aromamu?" tanya Jake dengan satu alisnya yang naik ke atas.

"Kuharap mimisanmu berhenti sebelum aku kehabisan pakaianku," sahutku berusaha melucu demi mengusir kepanikanku.

Berhasil. Jake tertawa tanpa suara sambil menutup hidung dengan blazerku.

"Jangan menyumpalnya, Jake," kataku waktu Jake menempelkan blazerku terlalu dekat di hidungnya. "Darah mimisannya harus tetap keluar. Jangan sampai dia menyumbat di dalam."

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now