53. BROKEN PIECES

361 71 16
                                    

Aku berjalan cepat, nyaris berlari. Bahkan aku berharap bisa terbang saat ini saja. Will yang berada di sebelahku juga melakukan hal yang sama. Kami nggak banyak bicara setelah Will menjelaskan secara singkat kondisi Jake. Kami berhenti di depan sebuah ruangan intensif. Seorang wanita paruh baya yang tetap terlihat awet muda duduk di salah satu kursi di depan ruangan. Saat melihat kedatangan kami, wanita itu langsung menghampiri kami sambil menahan tangis. Will langsung memeluk wanita yang kuyakini adalah ibunya.

Will membawa Mrs. Smith kembali duduk di kursinya sambil terus menggenggam tangan wanita yang melahirkannya. Aku bisa mendengar Mrs. Smith mendesah pelan beberapa kali. Matanya menatap tangan Will yang menangkup tangannya.

"Aku sudah curiga sejak pertama dia muncul di kebunku sore ini. Wajahnya jauh lebih pucat dari biasanya," kata Mrs. Smith dengan wajah yang nggak bisa menutupi perasaan syok.

"Dokter akan menanganinya dengan baik, Mom," kata Will menenangkan ibunya. Mrs. Smith mengangguk.

Aku menunduk sambil meremas kuat-kuat tanganku. Berharap Jake akan baik-baik saja. Will terus mendekap ibunya sambil mengusap lembut bahu Mrs. Smith. Kami menunggu dalam diam dan penuh kecemasan. Hingga akhirnya dokter keluar dari ruangan Jake. Will yang paling dulu mencapai dokter disusul ibunya. Aku berdiri tepat di belakang Mrs. Smith.

"Mr. Allen melewatkan banyak sesi kemoterapinya. Akibatnya, kondisi kesehatannya menurun dengan sangat cepat. Meski Mr. Allen rutin meminum obatnya dan mengatur pola hidupnya, tapi Kankernya tetap bertumbuh dengan cepat," ujar dokter yang menangani Jake.

Mrs. Smith semakin terisak mendengar penuturan dokter. Melihat reaksinya, aku yakin Will nggak membual soal ibunya yang begitu menyayangi Jake. Aku jadi teringat dengan cerita Will yang mengatakan salah satu alasan Jake menghentikan pengobatannya karena dia merasa kesepian di dunia, terlebih karena cintanya yang nggak berbalas. Aku merasa turut andil jadi penyebab kemunduran kondisi kesehatan Jake.

Aku nggak bisa mendengar dengan jelas ucapan dokter selanjutnya. Kepalaku terasa penuh sesak. Sampai dokter meninggalkan kami dan Will membawa Mrs. Smith kembali ke tempat duduk, aku masih terpaku di tempat menyalahkan ketololanku.

"Miss Prahadi." Suara samar mulai mengusik pikiranku dari suatu tempat. "Miss Prahadi," panggil suara itu lagi.

Jarang banget orang memanggil nama keluargaku. Meski berada di luar, biasanya orang akan memanggilku Miss Pravena karena nama Prahadi nggak pernah papa cantumkan di akta kelahiranku.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian mencari sumber suara yang memanggilku. Mrs. Smith berdiri di depanku. Matanya bengkak meski dia sudah menyeka semua air matanya.

"Maaf," kataku.

Dia mencoba untuk tersenyum tipis. "Tidak apa. Kamu butuh istirahat. Pulanglah," katanya dengan suara lembut.

Aku menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja," jawabku. aku benar-benar nggak ingin meninggalkan Jake. 

"Kamu dan Will butuh istirahat setelah perjalanan dari Southampton. Lagi pula, dokter mengatakan kalau kemungkinan Jake tidak akan siuman dalam waktu dekat. Aku akan menjaganya malam ini." 

Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Aku akan pulang untuk berganti baju, lalu kembali ke sini," kataku.

setelah tersenyum tipis, Mrs. Smith berjalan masuk ke ruangan Jake. Aku memerhatikannya hingga mengihilang di balik pintu. Waktu aku berbalik, pandanganku bertemu dengan Will yang juga sedang menatapku. Perasaanku jadi campur aduk. Aku nggak tahu apa yang kuinginkan saat ini.  Bahkan menatap mata Will pun aku nggak bisa.  aku memilih menunduk dan berjalan menjauh. Aku nggak berpaling meski mendengar derap langkah kakinya. Aku berharap Will nggak ngomong sesuatu karena aku nggak bisa menyahutinya saat ini. Dadaku terlalu sesak untuk bisa menghadapi Will saat ini. sampai beberapa saat lalu, aku nggak tahu kalau kenyataan saling mencintai tapi nggak bisa bersama, tuh, semenyakitkan ini. Ditambah besarnya rasa bersalah yang kini bersarang di dadaku, nggak mungkin aku bisa baik-baik saja.

"Kamu baik-baik aja, Kim?" tanya Will yang sudah bisa mengimbangi langkahku.

aku mengangguk tanpa mau menatapnya atau mengeluarkan suara. kerongkonganku tercekat, mana mungkin aku bisa menyahutinya.

"Biar aku antar kamu pulang," kata Will lagi. Kali ini aku nggak menyahutinya dan memilih terus berjalan tanpa melihat ke arahnya.

Aku menurut saja waktu Will membawaku ke mobilnya. Aku juga diam saja waktu Will memacu mobilnya meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, dia juga nggak mengatakan apapun. Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Apa yang Will pikirkan? Apa dia merasakam sakit yang kurasakan juga?

Mobil Will berhenti di parkiran bawah tanah. Aku menunduk nggak tahu harus mengatakan apa.

"Terima kasih," ucap Will setelah lama hanya hening yang mengisi di antara kami.

Jujur, aku nggak mengerti untuk apa Will mengucapkan itu. Jadi, aku bertahan dalam mode diam. Will juga malah ikut membisu.

"Will," panggilku pelan dengan masih tertunduk.

"Hmmmmh?" Dia berguman dengan nada rendah.

"Pernahkah kamu berpikir untuk kembali bersamaku?" tanyaku pelan.

Will nggak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan tatapan yang nggak bisa kuartikan. "Bahkan hingga detik ini, aku sedang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menciummu."

Mataku mulai pedih. "Lalu, bagaimana denganmu kalau aku bersama Jake?"

"Itu akan menjadi patah hati terbesarku, sekaligus pengorbanan terberat dalam hidupku."

Cekatan di kerongkonganku semakin kuat. "Pernahkah kamu berharap kita akan bersama lagi?"

Will membasahi bibir. "Itu satu-satunya yang tidak pernah berani untuk kupikirkan. Keduanya sama menyakitkannya, tapi setidaknya aku tahu dia akan mencintaimu melebihi hidupnya."

Payah! Padahal beberapa tahun terakhir ini aku berhasil menyembunyikan kesedihanku, tapi baru beberapa jam bertemu dengan Will sudah menghancurkan benteng pertahananku.

"Aku akan bersama Jake," kataku di sela tangis.

Pelan, Will mengangguk samar. Sorot matanya menggambarkan kepedihan. Ini bukan hal mudah bagi kami. Sebenarnya, aku nggak pengin menangis tersedu-sedu begini, tapi aku juga nggak bisa menahannya. Tubuhku seperti bereaksi sendiri tanpa bisa kukendalikan.

Will mendekat, dia meraihku ke dalam pelukkannya. Will mendekapku erat. Dari tubuhnya yang bergetar, aku tahu dia juga sedang manahan tangisnya agar nggak pecah di depanku. Dia berusaha terlihat kuat.

"Kamu akan bahagia, Kim," katanya tepat di telingaku.

Aku pengin banget bilang kalau kebahagiaanku itu dirinya, tapi rasa bersalah yang menggelayutiku menahan perkataanku hanya sampai kerongkongan. Aku cuma bisa menangis lebih parah lagi.

"Kuharap kamu bahagia, Kim," bisiknya dengan nada bergetar.

Bagaimana bisa dia sanggup mendoakan kebahagiaanku padahal hatinya juga babak belur? Bagaimana caranya dia bertahan merelakanku dengan orang lain di saat perasaannya hancur lebur?

"Masuklah sebelum aku berubah pikiran dan menjadi egois," katanya sambil mengurai pelukan.

Saat tubuh kami saling menjauh, aku jadi bisa melihat matanya yang memerah. Aku pengin banget ngomong banyak hal sama dia, tapi aku sadar apa yang akan kukatakan mungkin berpotensi menghancurkan tekat yang sudah susah payah kami bangun. Akhirnya, aku membuka pintu dan keluar dari mobil Will. Aku bertahan sekuat tenaga agar nggak menoleh ke belakang. Sepertinya Will juga sama. Dia nggak menunggu lama untuk pergi dari tempat ini.

Malam ini, kami jatuh dan terluka bersama.

❤️❤️❤️

Kimmers, maaf lama nggak update.
Semoga kalian nggak ngambek ya.

Adakah yang ikut nyesek kayak aku pas denger curhatan Kimmy yang ini?

Author note kali ini nggak bakal panjang2.
Semoga besok aku bisa menyapa kalian lagi ya.

Jangan lupa vote dan komen sebanyak mungkin.

Ketjup Manjah 💋💋💋
Sarah Fransisca

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now