18. SERENADE 2

458 80 23
                                    

Jake datang beberapa saat kemudian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jake datang beberapa saat kemudian. Dia memelukku dan mencium pipi kiri juga kananku. Takut-takut kulirik Will yang juga tengah memerhatikan kami. Aku bisa melihat rahang Will yang mengetat. Tatapannya jelas menunjukan kenggak sukaan meski dia sudah berusaha menutupinya. Apa Will cemburu?

I’m gona miss you, Kim,” ucap Jake yang kembali menarik fokusku. Suara bising musik  membuat kami harus berbicara lebih dekat dan lebih keras.

Kutatap retinanya yang terlihat sedih. Aku mengerti jika Jake merasa sedih. Selama ini, dia mggak pandai mengungkapkan dan mengekspresikan apa yang ada di dalam benaknya. Sejak kecil Jake terbiasa memendam semuanya sendirian. Aku paham kalau Jake merasa kehilangan. Dia baru saja berhasilberbagi cerita dengan orang lain --ya, dnganku--, lalu sekarang aku harus kembali ke negaraku.

Call me when you miss me, Jake. Kamu tahu nomor teleponku kalau butuh teman curhat,” kataku sungguh-sungguh.

Setelah tersenyum lebar yang memamerkan deretan gigi putih dan rapinya, dia mengacak rambutku. “Aku pasti akan membuat teleponmu nggak berhenti berdering," selorohnya, lalu Kami tertawa bersama.

Malam ini semua orang larut dalam pesta. Minum sebanyak yang mereka mau, menari sesuka mereka. Seolah semua beban pekerjaan dan masalah sudah lepas. Aku tertawa melihat Dean staff bagian Perencanaan, dia bergoyang di tengah lantai dansa dan mulai melepas kemejanya. Dean memutar kemejanya di atas kepala, mirip seperti orang yang tengah membuat adonan pizza.

Kami baru selesai saat hampir pagi. Sebelum aku masuk ke mobil Will, Jake memberiku kotak kecil berwarna merah muda dengan pita berwarna silver di atasnya.

“Aku ingin memberikan ini saat mengantarmu ke bandara.” Jake membasahi bibirnya. Dia menunduk menatap sepatunya sebelum kembali menatapku dan berkata, “sayangnya, aku tidak bisa.”

Aku menatapnya kebingungan. “Kenapa?” tanyaku.

Jujur saja aku berharap Jake bisa menemaniku ke bandara. Dia adaah teman baikku di London. Ya, meski awal pertemuan kami kurang baik.

“Ada yang harus kuselesaikan,” katanya dengan tatapan yang sulit kudefinisikan.

Kupasang raut wajah semerana mungkin agar Jake luluh. “Nggak bisa ditunda dulu?” tanyaku penuh harap.

Tatapan Jake berubah. Dia terlihat sedih. Memangnya apa, sih, yang harus dilakukannya? Apa Jake ada masalah?
“Andai aku bisa, Kim.” Jake menggigit bibir dalamnya. Mengangguk beberapa kali pada diri sendiri. Dia menahan napas sebentar lalu mengembuskannya berat, kemudian meraihku ke dalam pelukannya. “Aku benar-benar berharap bisa melakukannya, Kim.”

Aku membiarkan Jake memelukku. Sesuatu dalam diriku yakin bahwa Jake memang sedang butuh pelukan. Pelukkan dukungan meski aku nggak tahu dukungan untuk hal apa. Dari caranya mendekapku, aku bisa merasakan sesuatu yang berat sedang dipikulnya. Aku pengin banget nanya permasalahannya, tapi wajah Will sudah mirip bom molotov yang siap meledak.

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now