38. MOURNING

303 52 23
                                    

Sepertinya, kemarahan Jake nggak bertahan lama. Buktinya, waktu kami tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jake mengajak Will pergi bersama ke pemakaman Megan. Tapi, Si Keras Kepala itu menolaknya.

Hal yang menyakitkan dari penolakkannya adalah ketika dia menatapku seolah meneliti, kemudian dengan nada dingin dia berkata, "tidak."

Setelah ngomong begitu, dia langsung pergi begitu saja. Rasanya, aku pengin banget melempar boom molotov ke arahnya. Sikap Will benar-benar menguji kesabaranku. Kalau bukan karena ucapanku pada Will sebelum kami kembali ke Jakarta, pasti aku sudah mengomel habis-habisan padanya.

"Kamu baik-baik saja, Kim?" tanya Jake ketika aku masih terus memandangi punggung Will yang kian menjauh.

Aku gelagapan. "I--iya." Aku berdehem sekali. Kuulaskn seutas senyuman demi meyakinkan Jake kalau aku benar-benar baik-baik saja.

"Ayo," ajaknya sambil menunjukkan arah ke mobilnya.

Kami tiba di pemakaman saat jenazah Megan baru akan diturunkan ke liang lahat. Brama dan Biru ikut turun bersama Brice mengantarkan jenazah Megan. Brice nggak menangis, tapi tatapannya justru membuatku khawatir. Aku kenal betul sorot mata itu.

Papa dan yang lain sudah berada di sana, berdiri mengelilingi pusara. Aku langsung berdiri di sebelah papa yang langsung melirikku sekilas. Kami nggak ngomong apapun, mata kami tertuju pada prosesi pemakaman. Waktu Brice, Brama dan Biru naik, Emily, adik Megan langsung mengambil tempat di sebelah Brice. Dia memayungi Brice.

Brice langsung mengenakan kacamata hitamnya. Aku tahu, bukan sinar matahari yang dihindarinya, tapi dia menyembunyikan luka besar di dalam dadanya. Aku tahu matanya menyiratkan jutaan kesedihan atas kehilangan anak dan istrinya. Hal yang kukhawatirkan, Brice akan menjadi lebih buruk dari setelah operasi kemarin. Melihat kondisinya saat siuman tempo hari, jelas kepergian Megan akan membuatnya terpuruk. Apa yang ditakutinya, kini menjadi nyata.

Emily menyodorkan sapu tangan ke arah Brice, tapi nggak digubris sama sekali. Aku bisa melihat wajah cemberut Emily karena diacuhkan oleh Brice. Aku memang nggak terlalu dekat dengan Megan apalagi Emily. Tapi, dari keduanya nggak ada yang kusuka. Aneh, kan? Jangan berpikir aku cemburu. Nggak. Sama sekali nggak. Hanya saja senyum dan ucapan mereka seperti nggak tulus, aku selalu merasa mereka memiliki niat yang nggak baik. Entahlah.

Will baru sampai di pemakaman ketika Brice baru saja maburi bunga di atas gundukan tanah basah. Dia memilih berdiri di sebelah Emily. Will mengenakan kacamata hitam, aku jadi nggak bisa melihat mata biru lautnya.

Papa ikut dengan orang-orang yang langsung membubarkan diri, tadi sih papa bilang mau ke toilet. Aku jadi berdiri bersama Jingga, Ranu dan Jake. Kami mengantre untuk menyalami Brice. Aku sengaja mengulur waktu dan berdiri di barisan belakang. Aku bingung apa yang harus kukatakan pada Brice mengingat ucapanku padanya sebelum berangkat ke London.

Perlahan, antrean menyusut hingga tiba saatnya aku mesti menyalami Brice. Aku berdiri dan terdiam cukup lama sampai akhirnya kupeluk saja dia.

"Aku turut berduka, Brice," kataku.

Bodoh, Kimmy! Dari begitu banyak ucapan untuk menguatkan, kenapa lo milih kalimat standard gitu, sih?

"Mereka pergi, Kim," kata Brice dengan bibir menahan tangis.

Kueratkan pelukanku sambil menepuk punggungnya, seperti yang sering mama lakukan untukku. Kuharap ini juga bisa membuat perasaan Brice sedikit lebih baik.

"Allah tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya, Brice," bisikku sambil melepaskan pelukan.

Dia tersenyum kecut tanpa mengatakan apapun lagi. Tuh, kan, apa kubilang. Firasatku buruk soal ini.

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now