42.FAKE PLASTIC TREE

371 67 27
                                    

"Kamu di mana?" tanya Jake setelah aku menerima panggilan teleponnya. Suara Jake terdengar ke seluruh bagian dalam mobilku berkat salah satu kecanggihan peradaban  bernama bluetooth yang dimiliki oleh mobilku.

"Di jalan, Jake," sahutku setelah menghajar klakson sebagai tanda protes pada pengendara motor yang tiba-tiba saja memotong jalanku.

"Kupikir kita akan ke rumah sakit bersama," katanya lagi.

"Tadinya kupikir juga begitu, tapi ternyata aku harus melakukan pembakaran lemak pagi ini," jawabku dengan nada kesal.

Jake yang paham betul arti "pembakaran lemak" langsung terbahak kencang sekali. Aku sampai harus mengecilkan volume audio mobilku.

"Kalau begitu sampai jumpa di rumah sakit. Kuharap kamu bersrnang-senang dengan waktu pembakaranmu," kata Jake setelah tawanya reda.

"Senggaknya aku bisa langsing kalau terus-terusan begini, Jake," gerutuku.

Lima belas menit setelah menutup sambungan telepon, aku tiba di sebuah rumah besar. Satpam yang berjaga di pintu gerbang langsung membukakan pintu pagar agar mobilku bisa segera masuk ke area halaman rumah itu. Setelah memarkirkan mobilku, aku langsung mengambil kantung hitam yang tadi kusimpan di jok belakang.

"Assalamualaikum," sapaku begitu masuk ke ruang tengah dan mendapati kedua orang tua dan eyangnya Brice tengah berkumpul.

"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak mirip paduan suara. Aku langsung menyalami mereka satu per satu.

"Pembakaran?" tanya paman Ben ketika melihat kantung yang kubawa. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Kita sepertinya butuh teh dan camilan," kata Eyang. Beliau mengusap bahuku sebelum berlalu ke arah dapur mencari Bi Atun.

"Brice masih tidur, Tante?" tanyaku.

"Ya, begitulah," sahut tante Kahlila dengan perasaan lelah yang kentara.

Aku tersenyum ceria. "Sebentar lagi dia bakal seger, kok, Tante," kataku sambil mengedipkan sebelah mata, kemudian berjalan ke kamar cowok itu.

Aku masuk ke dalam kamar Brice yang masih dipenuni foto dan barang Megan. Kutarik selimut yang menutupi tubuh Brice tanpa ampun, lalu membuka gorden agar sinar matahari masuk ke dalam kamar ini, kalau perlu dengan mataharinya sekalian. Aku kembali mendekat ke arah Brice. Dia mencoba menutupi wajahnya dengan bantal. Aku menarik bantal itu hingga terlepas dari tangannya. Dengan kasar, kulemparkan kantung yang kubawa ke atas perutnya.

"Bangun," kataku dengan suara mirip komandan militer di film-film. "Gue hitung sampai tiga, kalau lo nggak bangun juga, itu artinya lo mau bangun dengan sensasi bollywood," ancamku.

"Satu--" Brice masih bergeming. "Dua--" Dia masih bersikeras menolak perintahku. Kuraih botol air mineral di atas nakas dan membukanya hingga mengeluarkan bunyi 'tak' saat segelnya terlepas. "Ti--"

Brice langsung duduk di tempat tidurnya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku sudah melewati lebih dari dua bulan melakukan ini, sejak keesokan hari setelah menjemput Brice di Insane pub pertama kali.

"Kenapa, sih, kamu kayak gini?" keluh Brice yang lebih mirip dengan rengekan.

"Setiap tindakan selalu diiringi dengan konsekuensinya, Brice," sahutku tak acuh. Brice mengerang sambil menaruh kedua tangan di belakang kepalanya yang tertunduk.

Aku berani bertaruh nggak ada seorang pun yang tahu kalau seorang Brice Allen, pebisnis muda yang sukses dengan kekayaan melimpah suka merajuk begitu. Dia pasti sudah gila kalau berani melakukan itu di depan orang lain. Harga dirinya yang terlalu tinggi menjadi taruhannya. Itu sebabnya, dia pasrah saja kuperlakukan seenaknya begini. Lagi pula, Brice tahu, kok, kalau aku nggak mungkin bersikap seenaknya jika bukan karena kelakuannya.

KIMMY ;Lost in LondonKde žijí příběhy. Začni objevovat