(36) Retak

6.2K 355 2
                                    

Bersiap untuk konflik awal?

HAPPY READING. DON'T FORGOT TO VOTE AND COMMENT

*****

Bel istirahat telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Namun, Albar tak berniat sedikipun untuk ke kantin. Cowok itu memilih menunggu Reina yang tengah membantu Bu TW mengoreksi hasil ulangan teman sekelasnya. Lebih tepatnya bukan membantu, tetapi di hukum akibat gadis itu mendapat nilai paling jelek. Hebat, bukan pilihan Albar?

Sebelumnya, Vanilla mengajak Albar untuk berangkat ke kantin bersama. Namun, cowok itu menolaknya dan berdalih kalau sedang disuruh Pak Ronald untuk membersihkan perpustakaan.

Awalnya, Vanilla meminta izin untuk menemani Albar, tetapi ia menolak. Kalau Vanilla ikut, rencananya untuk mengintrogasi Reina bisa gagal.

Jauh di lubuk hati Albar yang terdalam, ia merasa bersalah pada Vanilla. Selain telah membohongi gadis itu, Albar juga meminta Vanilla untuk berangkat ke sekolah sendirian menggunakan mobil. Bukan karena apa-apa, tetapi karena mood-nya hari sangat buruk. Albar tak ingin bila nantinya ia lepas kendali dan malah menyakiti Vanilla dengan perkataan sarkasnya.

Dengan tangan yang bersedekap, punggung yang menyandar pada dinding, serta kaki kanan yang sedikit di tekuk dan maju beberapa derajat didepan kaki kiri, Albar tetap sabar menunggu gadis yang pernah menjabat sebagai gebetannya.

"Kenapa, Kak?" suara itu berasal dari Reina yang baru saja keluar dari kelasnya.

Tidak seperti dulu ketika melihat Reina, Albar saat ini hanya menampilkan wajah datarnya. "Ikut gue!" titahnya.

Kemudian, Albar membalikan badan dan melangkah pergi dari kelas Reina.

"Emangnya, lo, siapa berani nyuruh-nyuruh gue, hah?!" Reina bertanya dengan nada yang tinggi. Hal itu membuat murid-murid yang tengah berlalu lalang di koridor menoleh.

Tangan Albar mengepal kuat. Kalau bukan karena gender, sudah dipastikan, Reina akan habis saat ini ditangannya.

Tubuh cowok itu kembali menghadap Reina. Rautnya masih sama, tak berekspresi. "Kalau, lo, masih mau sekolah dengan tenang di sini, lo turutin aja semua perintah gue."

"Kalau gue nggak mau, gimana? Gue sekolah disini bay___"

"Lo ngomong kayak gitu seakan uang bisa ngelarin semuanya. Inget, uang nggak bisa dipake di jalur hukum." Kata Albar dingin.

Muka Reina langsung berubah menjadi pucat pasi. Matanya sedikit membulat. Tubuhnya agak gemetar karena kalimat cowok itu.

"Setiap manusia punya kesalahan, dan dari kesalahan itu, kita juga harus belajar bertanggung jawab."

"Apa mau, lo?!" tanya Reina khawatir bila nantinya Albar akan membongkar kesalahannya yang lain. Kalimat itu menyiratkan, bahwa sebentar lagi akan membongkar segala kesalahannya yang ia lakukan.

Sudut bibir Albar terangkat naik membentuk senyum sinis. "Gue cuman mau lo ikut gue."

Setelah itu, Albar kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda karena gadis dibelakangnya ini.

Sesampainya di tempat yang di rasa cocok untuk mengintrogasi Reina, ia menghentikan langkahnya. Ralat, lebih tepatnya untuk meminta pengakuan resmi dari mulut gadis itu. Karena, ekspresinya yang tadi sudah menunjukan bahwa dia memang salah.

"Gue rasa, lo, tau, siapa orang yang lo tabrak malem itu." Albar membalikan tubuhnya tanpa berkespresi sedikitpun. Kedua tangannya ia masukan kedalam saku celana.

ALBARES MADAGASKAR (END)Where stories live. Discover now