CHAPTER 035

10.9K 598 15
                                    

KETERKEJUTAN SEOLAH MENGAMBIL alih napasku, seperti pukulan kuat di ulu hati yang jika dilakukan terlampau keras akan mengakibatkan kematian. Dia duduk di hadapanku mengenakan kemeja biru seperti awal kita bertemu dan dengan sepasang kaca berbingkai yang bertengger di hidung untuk melindungi matanya. Sejak pertama itu adalah salah satu penampilan favoritku. Rambut kecokelatannya sesekali diterpa angin, membuat mereka bergoyang sedikit akibat belum disentuh oleh tangan dewa sang penata rambut.

Dia cukup berantakan untuk saat ini, kantung mata tampak jelas seolah memberitahu bahwa ia mengalami kurang tidur, juga memiliki sedikit rambut kasar di bagian dagu serta tempat kecil antara bibir dan hidung.

Sejak lima menit pertama kami berada di rumah makan kawasan Rooselvet, kebisuan ternyata menjadi pilihan terbaik.

Kami saling terdiam, hanya memandang satu sama lain sambil menunggu pesanan kami datang atau jika beruntung, salah satu diantara kami akan memulai pembicaraan sebelum pelayan datang. Namun, aku sendiri pun tidak tahu harus mengucapkan apa? Bahkan di pikiranku senantiasa menyatakan pertanyaan serupa seperti;

Apa yang harus kukatakan untuk saat-saat seperti ini?

Bagaimana harus memulainya?

Dan apa yang selama ini terjadi di antara kami?

Aku tidak menemukan jawaban, selain memilih pilihan mana yang harus kulakukan untuk situasi ini. Apakah sapaan, makian, atau tangisan?

Be honest I no idea.

Aku hanya mampu diam, menatap sosok yang sekarang duduk di hadapanku yang juga turut memandangku.

Dia tampak tidak seperti terakhir kali kami bertemu. Terlihat menderita, tergambar jelas dari air mukanya yang pucat pasi bagaikan memiliki efek tembus pandang.

Lalu ... dia tampak kurus. Entah berapa banyak pound yang lenyap dalam dirinya hingga perubahan tersebut tergambar jelas hanya dengan sekali pandang.

Ternyata bukan hanya aku yang menderita. Pikiran itu terbesit di dalam benakku, memberikan reaksi refleks berupa cairan hangat menggantung di kedua mataku. Sebisa mungkin kutahan agar mereka tidak terjatuh karena perasaan yang berkecamuk bukan hanya berupa kesedihan dan penderitaan, tapi juga diiringi dengan kemarahan serta kerinduan mendalam.

Oh, aku sangat membutuhkanmu Harding dan kau hadir dalam keadaan yang begitu menyiksaku.

"Beritahu aku apa yang terjadi?" tanyaku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan suara serak, agar tetap terdengar baik-baik saja.

Harding mengerutkan keningnya, kemudian mengusap wajahnya menggunakan kedua telapak tangan saat sepasang sikunya bertengger di atas meja. "Just ... don't do that to me, Barbara."

Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya demi menguasai diri. Demi Tuhan, baru kali ini aku diperlakukan seperti demikian. Seorang lelaki menderita karena dan di waktu bersamaan dia juga melakukan hal serupa denganku. Serius hubungan macam apa yang telah kami lewati selama ini?

"Kapan terakhir kali kau hidup normal?" tanyaku lagi dan ia menatapku dengan tatapan frustrasi. "Minimal kapan terakhir kali kau makan?"

"Kesibukan membuatku mengesampingkan hal-hal yang kau tanyakan."

Kerutan di keningku semakin dalam. Kurasa ini adalah alasan lemah untuk seorang CEO yang pandai berbicara di hadapan umum, sehingga rasanya mustahil jika di hadapanku sekarang adalah Harding Lindemann.

... atau mungkin dia adalah Harding Lindemann yang lain.

"Aku ...." Kalimatku menggantung saat baru saja ingin mengatakan sesuatu akibat kehadiran seorang pelayan yang mengantarkan pesanan kami.

Kami kembali terdiam hingga nyaris satu menit, menunggu pelayan selesai dengan pekerjaannya.

Dalam diam, seolah memiliki kemampuan komunikasi batin kami saling berbincang. Menyampaikan betapa besar kerinduan masing-masing hingga sedetik setelah pelayan itu pergi, Harding menggenggam tangan kananku.

"Aku mohon padamu, jangan pergi lagi, Barbara." Itu yang dikatakan Harding, terdengar tulus hingga mampu menendang jantungku sampai terasa sakit luar biasa. "Seminggu lebih tanpamu, kau telah mengacaukan kehidupanku."

"Begitu pula denganmu, Harding."

Harding mengangguk pelan. "I know," katanya, "aku melihat setiap tindakanmu, melihat apa yang kau lakukan dan aku marah. Bahkan semakin murka karena tidak bisa berada di sisimu."

Sedikit lagi air mataku akan jatuh, sehingga menggunakan tangan kiri segera kuhapus cairan tersebut sebelum membasahi pipi. "Seharusnya ini bukan lagi urusanmu."

Menggeleng, Harding mempererat genggamannya di tanganku. "For God's sake, apa pun itu, jika tentang dirimu maka akan menjadi urusanmu."

"Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu sekarang?"

"Because I love you, Barbara!" Harding meninggikan suaranya, menggebrak meja dan akhir berdiri sambil memijat keningnya.

Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh keterkejutan. Sebenarnya apa yang terjadi di antara kami selama ini? Kontrak konyol yang dibumbui dengan scandal, mengapa berhasil membuat kami berdua se-frustrasi demikian? Dan lagi bagaimana Harding bisa mencintaiku?

Lalu mengenai Vektor dan sisi lain Jared ....

... apakah ada Harding di baliknya?

Aku menatap Harding lekat-lekat hingga ia pun memberikan balasan. Namun, bukan kerinduan lagi yang mendominasi, melainkan amarah di mana aku tidak tahu apakah itu tertuju untukku atau--

"Please, just one kiss and come back to me before you really kill me, Barbara."

The Hottest Night With You [END]Where stories live. Discover now