CHAPTER 018

15.2K 761 6
                                    

Selalu ada kebaikan dan keburukan dari setiap peristiwa, tergantung bagaimana cara pandangmu.

KUPEJAMKAN MATA UNTUK sesaat, kalimat dad yang selalu ia lontarkan setiap kali aku tertimpa masalah kembali melintas di benakku.

Peristiwa Jared mempermalukanku di ballroom Four Season Hotel Seattle, masih menjadi luka basah yang terbuka lebar di dadaku. Perasaanku campur aduk, meski sekarang tidak sendiri lagi karena Harding berada di sisiku—membicarakan kelanjutan kontrak kami—tanpa peduli bahwa aku merasa tak pantas untuk bertemu dengannya lagi.

Entahlah, hanya karena kontrak sialan itu, aku jadi lebih memperhatikan Harding dalam segi perasaan dan merasa tidak professional dalam bekerja karena telah melanggar peraturan.

Beruntungnya itu bukan pekerjaan, jadi Harding tidak akan memecatku. Namun, ia akan membatalkan perjanjian yang menguntungkan untukku dan menambahkan namaku ke dalam black list.

Dan aku tidak ingin berada di  list tersebut, sebab itu sama saja dengan pembatalan secara tidak terhormat.

Sehingga, sebelum Harding mengatakan hal yang kuhindari itu, maka aku memulainya terlebih dahulu saat ia masuk ke dalam kamar hotel dan setelah aku membuatkannya secangkir kopi.

"Jangan pergi."

"Aku telah menghancurkan kontraknya, Harding."

"Kau yang mengatakannya, bukan aku. Dan aku tidak peduli tentang itu."

Di kamar hotel, Harding menyeruput secangkir kopi yang kubuat kurang dari lima menit lalu. Sejak pertama kedatangannya di kamar ini—setelah melakukan lari pagi—dia memperlakukanku seolah semua baik-baik saja. Meskipun kutahu bahwa perbuatanku bersama Jared telah memicu skandal murahan.

Aku mengetahui hal tersebut dari tayangan TV yang khusus membicarakan kehidupan seleberiti, serta ketika Veronica dan Kate menghubungiku melalui aplikasi video call—mengomel—memintaku untuk bersujud meminta ampun pada Harding. Namun, tidak kulakukan karena bagaimana pun derajat kami masih sama dan Harding, bukan Tuhan yang patut menerima hal tersebut.

"Tapi dengan bahasa mereka, itu cenderung meremehkanmu dan IDK why, Jared justru dipuji-puji sebagai ...." Aku menggantung kalimatku, rasanya sulit untuk dikatakan seperti gumpalan batu yang menyangkut di tenggorokan. "Shit! Aku tidak bisa mengatakannya."

Harding menaikkan sebelah alisnya. Wajah tampannya memperlihatkan sikap tenang, meski skandal antara aku, Harding, dan Jared telah menjadi hotline di sana-sini. Terlebih karena Jared adalah tunangan Kyle si Model yang sedang naik daun.

Melihat sikap Harding yang demikian, diam-diam hal itu justru mengingatkanku tentang dad. Dia adalah lelaki terbaik dalam hidupku, selalu berusaha menenangkanku, serta membantuku untuk melihat segala sesuatu dari segi positif. Seperti saat aku berada di bangku high school, cheerleader adalah impianku sejak kecil dan aku berhasil masuk ke dalam tim, tapi ketika pemilihan ketua—yang mana—aku adalah salah satu kandidatnya, dia (tidak kusebutkan namanya karena lupa) mencurangiku. Lalu dad di masa-masa kemarahanku, berusaha meredakannya dengan memberikan pandangan bahwa kecurangan tidak akan bertahan lama.

Dan itu benar.

Seperti yang kulakukan sekarang. Kecurangan, membuat sesuatu tidak akan bertahan lama sama seperti hubunganku dengan Harding.

"Skandal hanya untuk mereka yang haus perhatian, haus materi, dan haus popularitas karena siaran gosip tentu akan mengundang mereka untuk membicarakan skandal tersebut," kata Harding, sambil menggenggam tangan kananku, hingga kehangatan menjalar sampai lubuk hatiku. "Cara yang kotor. Idiot—jika dari bahasamu—aku tidak punya waktu itu dan kuyakin kau cerdas dalam menghadapinya."

Dari sorot mata itu, aku yakin Harding mengatakannya dengan tulus dan haruskah aku senang mendengarnya?

Kurasa tidak.

Harding melarangku pergi karena ia menuntut pertanggungjawabanku. Mengatakan kata-kata manis, alih-alih dukungan agar Jared tidak mendominasi drama ini.

Dan yang terakhir, secara tidak langsung Harding menciptakan ide luar biasa dalam benakku serta motif mengapa Jared melakukan hal tersebut kepadaku.

"Kumohon terima permintaan maafku," kataku entah yang keberapa kali, dengan penuh kesungguhan.

Harding mengangguk.

Meneguk saliva, aku memberanikan diri untuk menatap Harding setelah sebelumnya sama sekali tidak berani menatapnya. "Aku akan melanjutkan ini."

Lalu senyum puas terbit di wajahnya.

Oh, aku sangat suka senyum itu. Setidaknya, senyum itu adalah awal penyemangatku.

"Kau memang harus melanjutkannya," kata Harding, "lalu sekarang apa?" tanyanya santai yang kupikir itu merupakan pertanyaan pancingan agar aku memulai sesuatu.

Well, sekarang senin pagi dan aku punya pekerjaan jadi yang kuinginkan adalah kembali ke Manhattan.

Aku melirik ke arah jam dinding berbingkai emas (entah asli atau tiruan) di atas meja TV, dengan hiasan lukisan burung merpati berukuran kecil di sisi kanan-kirinya, lalu kembali menatap Harding.

"Hari ini senin dan aku punya pekerjaan. Jadi bisa kita kembali ke Manhattan sebelum jam makan siang?"

"Hanya itu?" Harding bangkit dari tempat duduknya, merapikan kemeja garis biru dan mengenakan kacamata minus-nya yang sebelumnya tergeletak manis di atas meja bersama secangkir kopi, Ipad, serta surat kabar.

Aku pun mengangguk. Yakin tidak ada urusan lebih lanjut di Seattle karena selanjutnya kita akan menjalani drama di Manhattan sebagai pasangan terkuat, walau banyak badai yang berusaha menghancurkan kami.

Kapal yang kami tidak akan hancur dengan mudah. Dan kekuatan itu, pasti akan menarik banyak perhatian publik, hingga akhirnya Jared akan diam seribu bahasa dalam keadaan merana akibat Kyle memutuskan untuk pergi.

Yeah, gadis pintar.

"Aku hanya ingin menjalankan tanggung jawabku, tanpa meninggalkannya hanya karena skandal sampah itu," ujarku yang dijawab anggukan dengan mimik kecewa Harding, di mana aku pun tidak tahu alasannya dan enggan untuk bertanya.

"Baiklah kita pulang sekarang dan kau bisa kenakan pakaian yang ada di tas itu." Harding menunjuk ke sofa lain di sekitar kami, di mana beberapa paper bags diletakkan. "Aku membelikanmu pakaian yang layak untuk perjalanan pulang, jika gaun adalah hal berlebihan untukmu."

"Trims." Beranjak dari tempat duduk, aku menghampiri paper bags tersebut dan pada saat itu pula kedua netraku melebar. "Seriously, Harding!" seruku, benar-benar terkejut, "Demi Tuhan, ini terlalu mahal untukku. A-aku ... baiklah, akan kucicil tagihannya."

Ucapanku disambut tawa renyah khas Harding, seperti setiap kali kami melemparkan lelucon payah sebelumnya dan kami tertawa bersama. Ia menghampiriku, menepuk pundakku, dan memberikan ciuman di sana.

Jantungku berbedar.

Darahku berdesir.

—tapi, ini bukan nafsu. Melainkan hal lain yang masih kupertanyakan hingga saat ini.

"Akan kuterima cicilanmu, tapi hanya jika kau mampu membayarnya dengan malam-malam terpanas," goda Harding yang membuatku refleks menoleh ke arahnya.

Allright, the real Harding Lindemann is come back.

The Hottest Night With You [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt