CHAPTER 012

20.7K 941 7
                                    

KEESOKANNYA, KAMI BERAKHIR di karpet beludru di ruang kerja Harding. Dalam keadaan telanjang dan saling berpelukan. Aku tertidur di dada bidangnya, sedangkan Harding mendengkur akibat kelelahan, bersamaan dengan miliknya yang masih berada di dalam diriku.


Tentu saja aku lemas, tapi mustahil untuk tetap bertahan di posisi demikian. Pasalnya, aku benar-benar merasa penuh, lembab, serta basah. Selain itu, akal sehatku telah kembali dan seharusnya aku segera pergi. Ke mana pun asalkan tidak ada Harding.

Aku menarik tubuhku perlahan, bermaksud agar tidak membangunkan Harding yang memungkinkan akan ada permainan lanjutan. Tubuhku terasa lengket akibat sisa es krim yang kami gunakan tadi, sehingga tujuan pertamaku adalah kamar mandi.

Tak sulit menemukan kamar mandi di apartemen Harding karena kami adalah penghuni bumi dan Harding tidak tinggal di planet mars. Sehingga tanpa menunggu lama, aku segera membersihkan diri—ala kadarnya—tapi sialnya, masih membutuhkan waktu tiga puluh menit.

Waktu yang cukup lama, karena ketika aku selesai dan siap mencari pakaian, Harding tampak berdiri menggoda di depan pintu kamar mandi. Bersandar sambil melipat kedua lengan di atas dada telanjangnya, serta hanya menggunakan lilitan handuk di pinggang.

Ia menyeringai nakal. Menatapku dari atas hingga bawah, seolah belum puas menikmati tubuh telanjangku.

"Apa?" tanyaku, sambil sebisa mungkin menutupi bagian private menggunakan kedua tangan dan menatapnya sangar.

Tersenyum lebar, Harding mengabaikan pembatas yang kubuat secara tidak langsung. Ia mendekat, membuatku mundur selangkah dan ia menumpukan kedua tangan di kusen pintu. "Kupikir." Harding memutus jarak di antara kami lalu berbisik di telingaku, "Aku tidak pernah puas denganmu."

Aku meneguk saliva. Lagi-lagi Harding memancarkan aroma seks yang luar biasa. "Kita bukan partner seks, Harding. Hanya hubungan kontrak, kau tahu?"

Harding tertawa kecil, sembari ia meletakkan keningnya di bahuku. "Aku ingin menambahkan peraturan tentang partner seks, jika itu berarti kau akan menyetujuinya."

Tentu saja aku mau. Memang apalagi?! Kau sudah seperti candu saat pertama kali, Harding. Aku terdiam kaku, bukan berarti terkejut atau apa pun itu. Aku hanya ingin diam saja, sebagai reaksi bahwa aku meng-iya-kan tawaran Harding.

Namun, mungkin tidak ada tawaran seperti itu karena dalam waktu singkat, Harding kembali menggodaku dengan ciuman serta sentuhannya.

Dan sial! Aku tidak mungkin hanya menghabiskan waktu untuk seks, lagipula sekarang hari senin dan aku harus bekerja.

"Harding." Kudorong tubuh Harding perlahan, meski dewi batinku memberontak mati-matian. "Jangan sekarang, aku harus bekerja."

"Kau yakin?"

"Ya, hari ini senin dan aku ... oh, bukan, tapi kita. Yeah, kita bukan pengangguran gila seks." Bergerak secepat mungkin, aku melangkah keluar dari kamar mandi. Bisa bahaya jika terus bersama lelaki itu, dalam kondisi tanpa busana.

Harding mengikutiku. Aku bisa mendengar langkah kakinya dan berdiri tidak jauh dariku, saat aku mulai memunguti pakaian yang berserakan di lantai marmer terkutuk itu.

Tapi, brengsek! Di mana g-string-ku?! Aku ingat benar, bahwa Harding melucuti semua pakaianku di ruang tamu. Jadi mustahil jika barang itu hilang, kecuali jika ....

"Kau mencari ini?" Harding bertanya padaku, membuatku langsung menoleh dan mengumpat dalam diam.

Dialah pencurinya. Dan sekarang dengan bangga memutar-mutar G-stringku menggunakan telunjuk.

"Apa yang kau lakukan?! Kembalikan!" Aku segera menghampiri Harding, setelah mengenakan bra sambil berjalan. Namun, lelaki itu mengelak dengan keunggulannya dalam hal tinggi badan.

Burger! I hate this situation.

"Tidak akan. Kujadikan ini sebagai kenang-kenangan, sekaligus tanggung jawab karena kemarin meninggalkanku."

"Idiot! Apa kau maniak, eh?!"

"Of course not. Tapi aku suka aromanya." Harding menghirup G-string hitam tersebut, membuatku bergidik sekaligus berpikir bahwa berdebat dengan lelaki sinting itu hanya membuang waktu.

Jadi kucoba untuk mengabaikan G-string sialan itu dan pergi tanpanya. "Persetan dengan apa yang kau lakukan, tapi aku harus pergi sekarang," ujarku setelah mengenakan sepatu boots di sofa bekas kami bercinta semalam. "Excuse me, aku akan terlambat jika tidak pergi sekarang."

Harding masih mengekoriku, seolah itu hobi baru untuknya. "Tanpa celana dalam, eh?"

Aku menoleh. "I don't care."

"Hmm ... kau yakin?" Kali ini Harding mengubah posisinya dengan menghalangi akses keluar dari apartemennya.

Aku bertolak pinggang. Kenapa lelaki ini terkesan begitu menyebalkan. "Harding, seriously?! I need to go dan kita sepakat akan hidup masing-masing di hari kerja."

"Ya, tapi ini minggu."

Aku mengerutkan kening. Mustahil aku melupakan hari, Harding pasti mengada-ada agar aku tetap bersamanya demi mendapatkan seks. "Oh, ya?"

"Yeah. Kau bisa lihat ponselmu." Memberikan ponselku yang entah sejak kapan ada di tangannya, akhirnya aku hanya bisa menahan malu.

Sial! Dia benar dan itu menandakan bahwa aku masih terikat kontrak untuk bersamanya satu hari lagi.

Aku memutar mata, membuang rasa malu dan segera duduk di sofa sambil melipat paha. Sengaja kulakan yang mungkin itu bisa mengundang hasrat.

Dan benar, secara terang-terangan Harding menatap pahaku dengan masih menggunakan lilitan handuk di pinggangnya.

Aku berdeham pelan. "Jadi sekarang apa?" tanyaku, tanpa basa-basi dan berharap bukan seks sebagai jawaban Harding.

Harding mengedikkan bahu. "Pergi denganku ke peragaan busana Christian's Woman di Seattle."

Kedua mataku membulat. Hell yeah, aku tidak pernah ke peragaan busana, aku tidak punya pakaian yang layak, dan—mungkin—tidak siap menjadi santapan para wartawan.

"A-aku—"

"Tidak ada bantahan, Barbara," sela Harding, "kau ada untukku, begitu pula sebaliknya." Lalu Harding menciumku dan ia menarikku menuju kamar mandi yang kuharap tidak ada seks lagi di sana.

The Hottest Night With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang