CHAPTER 029

11.1K 576 15
                                    

SILAKAN KATAKAN BAHWA aku wanita tidak tahu bersyukur, wanita congkak, wanita tidak tahu diri, wanita paling tolol sedunia, atau wanita gila popularitas karena menolak lamaran Harding telah sukses menjadikanku sebagai topik trending di seluruh situs gossip kehidupan para seleberiti, setelah sebelumnya skandal cinta segitiga dengan si Brengsek Jared.

Sial. Lupakan saja skandal yang dibuat Jared, lupakan saja kontrak murahan itu, dan lupakan saja tentang betapa memesonanya, perhatiannya, romantismenya, serta kehangatan seorang Harding.

Apa yang telah terjadi, jika terus berlanjut maka hanya akan meninggalkan luka di hati.

Harding melamarku, menggunakan cara mewahnya hingga setiap wanita pun pasti tidak mungkin menolak saat mendapat keistimewaan tersebut. Justru mereka akan menangis penuh haru, sampai sulit mengatakan 'yes, I do', sedangkan aku ....

... mengatakan hal sebaliknya karena tahu bahwa semua ini hanyalah omong kosong belaka. Sejak awal hubungan ini hanya berlandaskan hitam di atas putih, tidak ada cinta, ketulusan, dan keinginan untuk memiliki satu sama lain.

Aku terjebak di dalam pesona Harding, hingga menjadi satu-satunya manusia bodoh dalam drama ini dan menyakiti diri sendiri. Jadi ....

... untuk apa mengatakan 'yes' jika tidak ada kepastian di depan mata?

'I'm sorry, I must say good bye to you, Harding.'

Itulah yang kukatakan sebelum semuanya benar-benar berakhir, kemudian berlari menggunakan kostum terjun payung dan menggunakan taksi untuk pergi ke mana pun.

Ya, ke mana pun selama tidak ada Harding, kamera, dan orang-orang yang mungkin mengenalku. Aku ingin sendirian, hanya untuk beberapa waktu sampai hatiku benar-benar pulih dari rasa sakit akibat kontrak sialan ini.

"Where do you want to go, Miss?"

Tangisanku terhenti sesaat, ketika supir taksi kembali melemparkan pertanyaan entah yang keberapa kali. Teringat bahwa telah menyusahkan lelaki itu, padahal ia telah menolongku dari kejaran Harding maka dengan suara serak aku pun menjawabnya, "Ke mana saja, Tuan. Asalkan jauh dari keramaian kota."

"Baiklah," jawabnya singkat karena sejak awal aku tidak pernah menganggapnya ada. "Kau yakin, bahwa akan baik-baik saja, Miss?"

Mengangguk pelan, tatapanku masih terpaku pada deretan gedung pencakar langit, kepadatan kendaraan di jalan raya, manusia-manusia yang berjalan kaki, dan ... entah mengapa taksi sialan ini malah melewati galeri Jared—mengulang kembali kenangan manis nan buruk, hingga berujung pada kehadiran Harding.

Andai aku tidak mengikuti ajakan Veronica untuk pergi ke pesta pertunangan Jared, tentu semua ini tak akan pernah terjadi.

"Turunkan saja aku di supermarket yang menurutmu tidak memiliki banyak manusia di sana," kataku dengan nada putus asa, mengabaikan bagaimana penampilanku saat ini—masih mengenakan pakaian khusus terjun payung—lupa bahwa aku belum melepasnya.

"Aku akan menunggu di depan supermarket sampai kau benar-benar selesai."

"Tidak, aku tidak ...." Seketika ucapanku terputus, saat atensiku meminta untuk mengetahui dengan siapa aku berbicara, tergantikan dengan kedua pupil melebar hingga menimbulkan senyum tipis di wajahku. Dunia terlalu sempit dan itu sungguhan. "Vektor," kataku sambil menghapus sisa-sisa air mata karena perasaan sungkan akibat terlalu banyak menangis muncul begitu saja. "Kau ...."

"Seperti biasa, kau selalu menangis akibat patah hati." Kalimat itu meluncur dengan sangat mudah di bibir sang supir taksi yang mana dia adalah Vektor James, sahabat saat kami berada di senior high school.

Mengangguk pelan, sambil menyunggingkan senyum miris, kusandarkan kepala di kaca mobil. "Seolah itu adalah keahlianku, tapi kali ini berbeda."

"Berbeda karena kau bersama Harding Lindemann."

Bersama Harding Lindemann.

Ha-ha. Kau menyedihkan Barbara karena hanya kau yang jatuh hati padanya, sehingga menganggap drama ini adalah sungguhan.

"Kau tidak akan mengerti," ucapku lirih dan memutuskan untuk melepaskan pakaian khusus penerjun payung. "Pikiran seorang wanita adalah hal tersulit untuk kau pahami."

"Benar, itulah sebabnya kenapa kami bercerai."

Atensiku kembali terarah pada Vektor. Lelaki keturunan Afrika Selatan ini akhirnya berkeluarga dan bercerai? Sungguh, jika mengingat bagaimana reputasinya di SMA kalian tidak akan percaya bahwa dia pernah memiliki keluarga atau ... well, katakan saja menikah.

Vektor adalah lelaki paling cupu, tapi paling pintar di SMA. Tidak pernah berkencan, bertegur sapa dengan seorang gadis, bahkan jika terpaksa pun ia akan memintaku untuk melakukannya. Katakan bahwa Vektor alergi perempuan yang konyolnya tak alergi denganku hanya karena aku berhasil menyelamatkannya saat jatuh ke kolam renang dan hampir tenggelam.

"Jika kau tidak keberatan, kau boleh curhat. Aku tidak akan memberitahukannya pada siapa pun karena sahabat adalah menjaga, bukan menjatuhkan."

"Trims."

"Sama-sama. Aku mengerti kau telah melewati saat-saat berat, terutama jika berkaitan dengan skandal sialan itu."

Aku menengadah, mengambil sekotak tissue pemberian Vektor dan membersihkan lendir-lendir menyedihkan di lubang hidungku. "Tidak kusangka kau mengetahui bagian itu juga," kataku, "apa aku terkesan seperti perempuan brengsek?"

Vektor mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak tahu jelas masalahnya jadi hanya rasa empati yang bisa kuberikan padamu." Lalu taksi yang kami naiki pun berbelok menuju gedung besar—supermarket—di jalan poros—tempat di mana banyak truk dan mobil-mobil besar beristirahat atau sekadar membeli perlengkapan untuk kencan semalam bersama para pelacur di motel murah.

"Ambillah, kau bisa pergi sekarang," kataku sambil menyerahkan beberapa lembar dollar dan segera keluar dari taksi. Namun, Vektor menarik lenganku kemudian memberikan kembali uang yang kuserahkan sebelumnya. "Why?"

"Just take it," katanya, "kau sedang melalui masa-masa sulit. Aku akan menemanimu sampai kau kembali pulang."

Menggeleng pelan, kutatap Vektor dengan tatapan sendu. "No home, no friend, no old life. I wanna be new people."

Kedua alis Vektor menyatu, tapi beberapa detik kemudian ia pun tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di depan mobil, sambil melipat lengan di atas dada. "Kupikir ini adalah patah hati terhebatmu, Barbara."

"Trims. Aku pun tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi dan apa yang terjadi pada diriku." Melangkah mendekati Vektor, aku pun memeluknya dan refleks menangis di bahu lelaki itu. "I'm feeling so broken heart now."

***

Well, 962 words kita masuk ke fase patah hatinya Barbara.

Menurut kalian gimana chapter ini?

Barbara mau ngapain di supermarket?

Dan perubahan seperti apa yang diinginkan Barbara?

Silakan share imajinasi kalian di sini yaa ^^

Please komen, like and share yaa. Follow juga boleh supaya enggak ketinggalan sama cerita baru.

The Hottest Night With You [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt