CHAPTER 017

15.6K 733 11
                                    

Warning!!! Chapter ini mengandung banyak narasi, jadi silakan baca saat benar-benar free.

***

SESEORANG PERNAH BERKATA padaku, 'Jangan pernah memberikan kesempatan pada seseorang yang bernama mantan, meskipun kau menginginkannya.' Pesan dari dad, sebelum ia meninggal dunia lima tahun lalu, tapi aku malah menganggapnya sebagai angin lalu dan baru teringat hal tersebut sekarang—setelah Jared—sosok mantan sialan mempermalukanku.

Sekarang di tengah lautan manusia kota Seattle, aku terus berlari mengabaikan bagaimana sakitnya kaki kiriku, akibat high heels setinggi tujuh senti meter. Well, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan perasaan dan juga mentalku. Jared benar-benar sukses menghancurkan keduanya, hingga untuk memikirkan pun terasa begitu menyakitkan bagiku.

Terus berlari, aku tidak—atau—belum mengetahui harus ke mana, tapi satu hal yang kuketahui ....

... aku harus berhenti sekarang atau semuanya akan benar-benar kolaps.

Perutku mual.

Dan aku akan ....

Sial!

Dari mulut dan juga lubang hidung, seisi perutku keluar dalam hitungan detik. Rasanya begitu nyeri, hingga aku harus berlutut di dekat tempat sampah di jalan buntu antara bangunan jasa percetakan dan toko bunga.

Aku muntah, diikuti dengan cairan asam lambung di mana jika kau tidak mengetahuinya, maka diagnosa penyakit gastristis pun akan terlontar sebagai kesimpulan pertama. Namun, kenyataannya tidak seperti demikian, aku terlalu marah, kecewa, dan stress.

"Barbara!"

Aku menoleh saat seseorang dengan suara yang familier, memanggil dari arah belakang dan sosok Harding dengan tuxedo mahalnya yang basah akibat hujan, tampak berlari ke arahku.

Seharusnya dia tidak perlu mengejarku seperti ini.

"Di sini kau rupanya. Aku mencarimu di mana-mana," ucap Harding begitu benar-benar dekat denganku.

Kuputuskan untuk tidak menjawab, sebab perutku masih benar-benar mual dan sepertinya belum puas muntah sialan barusan.

Akan tetapi, Harding memang lelaki yang baik. Ia memperhatikanku bahkan di saat tidak ada kata yang terucap di bibir, lelaki itu segera merogoh sakunya—mengambil saputangan—membersihkan sudut bibir sisa muntahan.

"Kau muntah, apa kau baik-baik saja?" tanya Harding, membuatku merasa bersalah karena tetap bersikap baik. Meskipun aku telah melanggar kontraknya. "Aku akan membelikanmu obat, tapi terlebih dahulu kita harus cari tempat berteduh sekaligus menghangatkan diri."

Membantuku berdiri, Harding memeluk bahuku. Aku masih tidak sanggup berkata-kata, tapi jika saja mampu, Harding harus tahu bahwa lebih baik kita berada di tempat serupa sebab beberapa langkah kemudian (di mana kami belum benar-benar pergi) muntah itu terjadi lagi.

Bahkan lebih parah karena isi perutku benar-benar telah habis.

Harding semakin panik, ia memanggil namaku berulang kali di saat membantu menjauhkan rambut agar tidak terkena muntahan, dan kurasa (meski samar) kedua tangannya gemetar.

Oh, mungkin karena hujan dan dinginnya suhu di Seattle.

Perasaan terlalu percaya diri, bahwa Harding gugup akibat mengkhawatirkanku, harus segera kuhapus. Terutama setelah kebrengsekan yang telah kulakukan.

The Hottest Night With You [END]Where stories live. Discover now