CHAPTER 023

13.1K 668 10
                                    

SETIAP MANUSIA MEMILIKI reaksi masing-masing terhadap kecemasan berlebih, begitu pula dengan kejadian di masa lalu yang senantiasa bertahan di dalam memori otak.

Kau tidak bisa mengelaknya. Tidak bisa pula menghapus masa lalu, kecuali jika amnesia menghampirimu. Namun, kalau pun memiliki amnesia, bukan berarti kau terbebas. Hanya saja ... itu seperti lembaran baru.

Kau tidak akan bisa lari.

Seperti yang kurasakan, saat para wartawan itu mengejar bahkan menyerangku.

Reaksi tubuh serta mentalku tentu terlihat berlebihan, jika mereka tidak mengenalku. Namun, akulah yang paling mengenal diriku dan mereka telah melampui batas, hingga kehilangan kesadaran sukses menguasaiku.

Aku pingsan.

Aku tahu itu.

Veronica dan Kate berada di sisiku saat aku tersadar. Mengatakan bahwa aku pingsan selama dua menit lebih lima belas detik, sehingga menimbulkan rasa khawatir.

Katanya, mereka memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku. Sebab durasi pingsan, normalnya hanya satu sampai dua menit. Akan tetapi, kupikir mereka berlebihan.

Dua menit lewat lima belas detik bukanlah hal yang harus dikhawatirkan. Apalagi sampai harus memanggil dokter! Karena yang kutahu, partisipasi tim medis diperlukan jika durasinya lebih dari dua menit dan hitungan detik, tidak termasuk di dalamnya.

"Kau membawaku ke apartemen Harding?!" Kedua netraku membulat, setelah mendengar penjelasan Kate tentang bagaimana kondisi saat aku pingsan di restorannya. "Kenapa tidak ke rumah atau apartemenku saja?"

"Tidak ada tempat yang lebih aman, daripada di sini," kata Kate. "Dan aku tidak ingin si kembar merasa terganggu karena wartawan-wartawan gila itu mengikutimu, jika kau berada di rumahku."

"Aku juga tidak ingin ketenangan apartemen kita terusik," sahut Veronica sebelum aku melemparkan pertanyaan ke arahnya. "Lagi pula, untuk apa kau meminta menghubungi Harding, jika tidak untuk menumpang di tempatnya?"

"Sial, aku hanya ... ok, fine. Lalu untuk apa memanggil dokter?" Kulayangkan pandangan ke arah Kate. "Bukankah kau sudah pernah melihatku seperni ini?"

Kate tidak langsung menyahut, hanya mengedikkan bahu. Dan aku akan menunggu jawabannya. Namun, seseorang mengetuk pintu mengalihkan atensi kami bertiga.

Si lelaki paling rupawan berdiri di ambang pintu. Mengenakan kemeja biru muda dengan celana kain berwarna abu-abu. Dia terkesan semi formal untuk seseorang yang kesehariannya bekerja dengan setelan jas membosankan.

"Aku yang berinisiatif memanggil dokter," kata Harding, masih berdiri di ambang pintu dengan segelas susu di tangannya. "Aku tidak mengkhawatirkan durasi pingsanmu, tapi luka di tubuhmu memang harus diobati."

Mengernyit sesaat, segera kulihat tubuhku. Dan yeah, beberapa luka berhasil kudapatkan akibat insiden tersebut.

"Apa mereka menayangkan itu?" Aku sungguh-sungguh bertanya, kecemasan kembali menyelimutiku dan aku—sebenarnya—tidak siap untuk mendengar jawaban Harding.

"Tidak usah dipikirkan. Kau istirahat saja dan kuputuskan kau tinggal di sini, hingga suasananya benar-benar kondusif."

"W-what? No way, Harding."

"Barbara, ini demi keselamatanmu dan demi ketenangan orang-orang terdekatmu," kata Harding, sambil menyerahkan segelas susu untukku.

Aku tidak mengambilnya, tapi justru menatapnya tajam. Aku tahu bahwa ini adalah salah satu bentuk perhatian Harding (sudah kukatakan berulang kali, bahwa Harding adalah lelaki baik), tapi aku tidak setuju saat ia mengambil keputusan secara sepihak.

Maksudku, aku tidak punya biaya untuk membayar apartemen mahal ini. Bahkan separuhnya pun aku tak sanggup.

"Setidaknya kau harus mendiskusikannya terlebih dahu—"

"Barbara!"

Pandanganku mengabur lagi. Salah satu efek pasca pingsan dan ini biasa terjadi selama tiga puluh menit, tubuhku masih benar-benar lemas saat ingin berdiri di hadapan Harding.

Dan suara-suara itu, mereka yang memanggilku dengan nada panik adalah Kate, Veronica, serta Harding. Oh, lelaki itu yang paling keras suaranya, hingga ia harus bergerak cepat hanya demi menyelamatkanku.

Tapi aku tidak jatuh. Ha-ha.

"Aku baik-baik saja. Hanya efek pasca pingsan," ujarku. "Sial!" Aku menatap ke arah Harding, setelah duduk di tepi ranjang. "Sekarang bagaimana? Kau tahu bahwa aku pengangguran, 'kan?"

"Barbara pandai memasak," ucap Veronica, tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya. Belum mengerti mengapa ia mengatakan hal demikian barusan.

"Juga pembersih." Oh, kali ini Kate ikut-ikutan.

Kedua alisku semakin menyatu.

"Telaten."

"Lulusan Manhattan University."

"Oh, ya. Dan cum laude."

"Sayangnya pengangguran."

"Padahal dia gadis cerdas dan rajin."

"Hei, hei." Kulerai ucapan dua wanita di hadapanku ini.

Mereka—Veronica dan Kate—mengucapkan kalimat pendek tentangku secara bergantian. Sungguh yang mereka lakukan itu, terdengar seperti mempromosikan seseorang.

... atau mungkin tidak. Mereka secara kompak, berprilaku seperti mak comblang agar Harding memerhatikan keberadaanku. Dengan kata lain, mereka ingin Harding jatuh cinta padaku.

Yeah, begitulah analisis penuh kepercayaan diriku.

Di lain sisi, kulihat Harding sedang tersenyum, menatapku, mendekat, lalu tidak ada jarak lagi di antara kami berdua, selain kurang dari lima centimeter.

Napasku, seketika tertahan. Tenggelam dalam sorot mata elang berwarna cokelat dan melupakan kemurnian oksigen di paru-paru karena kini, aku mencium aroma maskulin milik Harding.

Bulgarian sport. Satu dari beberapa parfum lelaki yang kuketahui. Dan aku menyukainya.

Jarak kami masih bertahan di sana. Harding terus menatapku, hingga ....

... satu.

Dua.

Tiga.

... lima ....

Haruskah menutup mata? Melupakan keberadaan Kate dan Veronica kemudian menggantinya dengan ciuman atau mendorong dada Harding, meski dewi batinku meronta.

"Ada bulu mata jatuh di wajahmu." Harding menyentuh bawah mataku, kemudian memperlihatkan bulu mata yang ia maksud. "Kata orang terdahulu, itu pertanda bahwa seseorang sedang merindukanmu. Dan jika kau ingin tahu, orang itu adalah aku.

"Aku tidak ingin menjadi lebih gila lagi, jadi tinggallah sementara di sini, Barbara. Setidaknya sampai semuanya benar-benar kondusif.

"Jangan khawatir. Aku bukan partner yang lepas dari tanggung jawab. Bukan pula yang menyia-nyiakan potensi partner-nya." Harding mengusap rambutku kemudian memberikan segelas susu ke tanganku, setelah sebelumnya ia letakkan di atas meja.

Lalu beberapa detik kemudian dering ponsel Harding berbunyi. Ia meminta izin untuk keluar kamar tempat aku berada dan seiring kemudian, Veronica serta Kate menatap lebar ke arahku.

What the hell going on!

***

Next chap Barbara akan diajak Harding ke kantornya yaaa

... atau mungkin belum 😁😁 pokoknya ini, lagi usaha supaya Barbara mau tinggal bareng Harding.

The Hottest Night With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang