29. Im here, Nai

4.5K 615 236
                                    

Mawar itu terluka karena durinya sendiri. Duri yang seharusnya menjadi pelindung justru paling sering menyakiti dirinya sendiri.

Beraneka makanan dari makanan berat sampai camilan dan juga minuman dingin hingga hangat tetapi tidak terlalu banyak porsinya—secukupnya saja asal semua terbagi rata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beraneka makanan dari makanan berat sampai camilan dan juga minuman dingin hingga hangat tetapi tidak terlalu banyak porsinya—secukupnya saja asal semua terbagi rata. Naila duduk dihimpit antara Hanum dan Zein lalu di depan mereka ada Mufid, Bagas dan juga Dzana. Samping kursi kanan ada Alfan dan kursi kiri ada Ghani.

Mereka menikmati makanan setelah doa bersama. Tidak ada pembicaraan saat makan hanya saling melempar pandangan dan tersenyum.

Sesudah makan-makanan berat, Naila mengusap bibirnya dengan tissu. Semua orang di meja makan itu juga menyudahi makannya, dan ditutup dengan makan buah-buahan, ada juga beberapa kue ringan.

"Pulang kapan, Bi?" tanya Naila disela-sela makan pudding coklat.

Semua pasang mata menatap Naila. Begitu juga dengan Dzana. "Besok siang si sayang,"

"Berarti sekarang nginep ya?"

Dzana mengangguk sebagai jawaban.

Naila menganggukan kepala. "Naila juga nginep di sini deh.. Udah lama nggak ketemu Bibi sama Paman,"

"Izin dulu sama suami.." sahut Hanum memperingati.

Naila menoleh ke arah Zein yang juga sedang menatapnya. "Boleh, kak?"

Zein memaklumi karena sudah lama juga Naila tidak bertemu dengan keluarga dari Ayahnya. "Boleh.."

"Kamu nggak nginep juga, Nak?" tanya Ghani pada Zein.

"Enggak kayaknya soalnya Zein nggak bawa baju, Paman.. Mungkin besok pagi ke sini lagi," memang benar Zein hanya memakai satu baju yang ia pakai sekarang. Rencana nginep juga tidak terjadwalkan.

Dzana mencomot buah semangka dari piring ceper putih. "Pinjem baju Ayah Dzaki aja, kan ada ya bajunya di sini? Boleh nggak kira-kira, Nai?"

"Baju Ayah?" tangan Naila berhenti memegang sendok. "Cuma satu yang disimpan Naila emang ada lagi ya, Umi, baju Ayah di sini?" Naila menatap Hanum.

Hanum mengangguk pelan. Mata Naila sama seperti mata Hanum, sendu. Tatapan mereka berdua adalah tatapan yang menyayat hati. Mufid memperhatikan tatapan antara Umi dan kakaknya membuat hatinya sakit. Meskipun Mufid hanya anak remaja tapi amanah dari Dzaki selalu dijaga, dari kecil Mufid berusaha agar membuat kedua wanita itu tersenyum.

Naila masih binggung—semenjak Dzaki cerai dengan Uminya semua baju dan barang Dzaki dibawa pergi lebih tepatnya di rumah Dzana. Naila hanya menyimpan 1 baju kesukaan Ayahnya—itu juga dikasih Uminya sewaktu ia berusia 18 tahun, untuk ditaruh pada kotak healing. Walaupun tidak bisa mengobati rasa rindu kehadiran Dzaki tetapi bisa sedikit mengontrol mental Naila.

"Ada, Umi juga simpan baju Ayah, Nai.. Kamu dulu inget kan waktu itu Umi kasih 1 baju Ayah? Umi masih simpan beberapa baju Ayah yang tertinggal." Hanum memberikan alasan dengan sangat lembut, Naila tepat di sebelah Hanum—mereka saling menatap satu sama lain. Dan semua orang di meja makan tersebut merasakan suasana yang canggung dan tidak hangat lagi.

SENDU (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang