45. Kebahagiaan?

2.6K 373 37
                                    

Zein bangun lebih dulu, tangannya terasa kesemutan karena digunakan Naila sebagai bantalan untuk tidur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Zein bangun lebih dulu, tangannya terasa kesemutan karena digunakan Naila sebagai bantalan untuk tidur. Hendak menarik tangannya perlahan namun ia tidak tega jika itu membangunkan istrinya. Sayup-sayup membuka mata—mengedipkan beberapa kali agar kesadaran tubuhnya kembali. Ia mengambil jam yang berada di sebelah ranjang, menunjukkan pukul 02.30. Seakan alarm tubuh Zein sudah berjalan sendiri pada jam segini.

Terbiasa melaksanakan sholat tahajud dari yang awalnya malas bangun hingga sekarang sudah menjadi kebutuhan. Posisi tidur mereka saling berhadapan, membuat Zein bisa melihat muka Naila dari dekat, hingga hembusan nafas Naila ia bisa merasakan. Tangannya membelai pipi milik Naila halus, sempat terpikir mengapa ia dulu menahan rasa yang ada untuk Naila. Padahal, jika dibanding dengan hidupnya dulu, jelas lebih berwarna sekarang.

Meskipun bebannya nampak di depan mata bahwa Zein mempunyai hak untuk menghidupi seseorang yang memutuskan hidup bersamanya. Minimal menjadi lelaki yang seperti Ayahnya, seorang perempuan mengorbankan hidupnya, merelakan sisa hidupnya dengan bergantung kepada laki-laki yang bisa dibilang orang asing dan baru dikenalnya beberapa bulan saja. Pasti berat bagi Ayahnya yang setiap hari berusaha membuat Naila senang, membantu serta berperan dalam menjaganya. Kini harus melepas anak perempuan untuk orang lain, dengan harapan besar semoga kelak anak perempuannya lebih bahagia hidup bersama orang pilihannya. Itulah yang dirasakan Alfan, dan sekarang menjadi tanggung jawab Zein.

Melihat Naila dari jarak sedekat ini suatu hal yang patut disyukuri oleh Zein karena banyaknya orang yang Naila temui, wanita ini sangat menjaga dirinya. Jangankan dipegang, dipandang yang bukan mahramnya saja, Naila tidak mau. "Ngelakuin amal apa ya aku sampai bisa punya istri hebat kayak gini?" gumam Zein sembari membelai rambut Naila.

"Humairah, udah mau shubuh, aku mau tahajud ya.." ujar Zein melepas tangannya dari kepala Naila. "Maaf dilepas dulu, takut keburu shubuh,"

Bukannya tidak mau membangunkan Naila, tapi nampaknya wanita ini sedang terlihat lelah, hari kemarin terlalu membuatnya sedikit kurang nyaman. Zein beranjak dari ranjangnya, membawa handuk menuju kamar mandi dalam kamar. Sebelum tahajud baiknya mandi untuk menghilangkan rasa ngantuknya.

20 menit Zein telah selesai mandi dan juga wudhu, ia keluar dari kamar mandi sudah melihat Naila terbangun duduk dengan kepala menunduk. Rambut Naila salah satu bentuk tubuh yang disukai oleh Zein, warna hitam pekat tidak terlalu lurus yang selalu terlihat rapi.

"Sayang?" panggil Zein. "Kenapa nunduk gitu? masih ngantuk? tidur aja gapapa, nanti kalau shubuh aku bangunin,"

Naila mendongkak dengan muka khas bangun tidur. "Kak Zein kok nggak bangunin aku?"

"Kamu kelihatannya capek, ya masa tega aku bangunin kamu."

"Dunia memang tempatnya capek, kak, aku nggak mau di akhirat juga capek jadi secapek apapun aku di Dunia, gapapa. Ini aku lagi nabung pahala, capekpun rasanya nikmat.." jawab Naila halus, tatapannya sangat teduh, bibirnya ranum tersenyum menghadap Zein meskipun mata sendunya memerah setelah bangun tidur itu membuat Zein terdiam.

SENDU (On Going)Where stories live. Discover now