Di Ujung Tebing.

814 119 14
                                    

"Tidak ada apa-apa, Nyonya." Ia berkata demikian dengan segurat senyum di wajah, menggeleng perlahan sebelum pada akhirnya mengambil gelas di hadapan; membuat tangan Nyonya Song yang bertumpuk di atasnya kini harus berpindah secara paksa. "Boleh aku meminum ini?" Terdengar kaku saat berkata—seperti sebuah alasan agar Nyonya Song bisa lupa.

"Minumlah, masih sedikit panas. Jadi hati-hati agar lidahmu tak terbakar." Seraya membantu Seokjin.

Dengan asap yang masih mengepul meski kini telah samar, manik Seokjin melihat sekilas raut wajah Nyonya Song dari sudut mata, sontak terkejut karena Nyonya Song hanya menatap nanar, kemudian tersenyum tipis.

"Ini enak, terima kasih Nyonya."

"Yasudah kalau begitu, ibu ke dapur dulu ... Barang belanjaan tadi belum dibereskan, sambil membuat makan malam." Ia beranjak perlahan, meletakkan tangan di kepala Seokjin sebelum berdiri, lalu melicinkan rambut kusut di kening menggunakan ibu jarinya. "Habiskan cokelatnya ...." Nyonya Song kembali tersenyum.

Pipi Seokjin merah padam, ia tak mampu melihat raut wajah Nyonya Song saat jemari itu menyentuh keningnya. Menimbulkan rasa aneh yang timbul dari hati, sedikit tidak keruan, namun jari Nyonya Song terasa hangat. Tubuh sontak kaku untuk digerakkan, ia malu. Sangat. Namun entah mengapa disaat yang bersamaan, Seokjin merasa bahwa ia bahagia.

"Nyonya ...."

Lantas yang segera pergi pun terhenti. "Ya?"

"Aku akan membantumu memasak."

"Baiklah, ayo." Ajaknya.




🎈

Ini sudah pukul sembilan.

Malam hari dan sekarang musim dingin akan segera tiba.

Yoongi tengah terdiam—seperti biasa. Tak banyak mengobrol dengan sosok wanita di sebelah karena pikirannya menerawang jauh, berpikir tentang jawaban Min Hyeji saat ia bertanya dimana sang kakak berada.

"Dia tidak ada di sini."

"Seokjin ingin bersamanya."


"Bersama siapa? Kenapa?"

"Ia ingin bersama wanita itu, Nyonya Song."

'Tidak, tidak mungkin. Ini salah, Hyung tidak akan berbuat seperti itu.' ia berusaha meyakinkan setelah mengingat percakapan itu.

Kamarnya terasa sepi, juga dingin. Yoongi hanya melamun, menatap tak berselera televisi meski tengah menyiarkan saluran favorit yang biasanya akan dikeluhkan oleh Seokjin, berujung pada perebutan kekuasaan remote control yang ditentukan nasibnya oleh permainan batu-gunting-kertas.

Sungguh, terkadang Yoongi berpikir, apakah mereka masih layak melakukan hal bodoh seperti itu? Karena pada dasarnya mereka sudah berumur, ia merasa bahwa ada roh seorang anak umur lima tahun yang terperangkap dalam tubuh Seokjin dan dirinya.

Mengingat kenangan yang tanpa sengaja terbesit di benaknya, semakin membuat dada Yoongi sesak; tak ada yang salah, hanya saja ia merasa bahwa kini tengah merindukan Hyung-nya.

Jadi, ia berusaha membuang segala pikiran negatif itu dengan menghela napas panjang yang tanpa disadari, Min Hyeji mendengar, "Yoongi?" Seraya mengusap puncak kepala, hendak mendengarkan. Ia menyahut pelan, "Bu ..."

"Hm? Kenapa?"

"Aku tahu ibu membenci Jin-hyung dan tak ingin ia kembali." Kalimat itu sontak membuat Min Hyeji tak nyaman, ia segera menegakkan punggungnya.

BERILIUMWhere stories live. Discover now