Hidup.

1.1K 177 81
                                    

🎈

Akhir-akhir ini, Seokjin hanya membantu Nyonya Song dalam mengurus toko bunga.

Hanya itu.

Merapikan toko, memotong duri dan daun, hingga menyiram bunga, Seokjin lakukan semuanya sehabis pulang sekolah.

"Nyonya, beberapa motif pita untuk menghias bunga sudah habis, mau beli?" Seokjin bertanya, ia menyadari hal itu kala melihat jejeran pita dalam etalase toko sebagian telah terlihat tipis. Lantas Nyonya Song menghampiri, "Iya, ukuran sedang ya? Kau bisa membelinya Jin?" Pinta Nyonya Song.

Seokjin terangguk yakin, seraya merapikan pakaian sebelum beranjak pergi, "Serahkan padaku. Aku akan kembali dalam lima menit!" Ia bersemangat.

Siapa sangka, Nyonya Song kini memiliki pekerja tetap—Kim Seokjin. Berawal dari meminta bantuan, hingga penawaran untuk bekerja, Seokjin menjadi seorang remaja yang memiliki pekerjaan paruh waktu. Sempat kukuh pada pendiriannya tak mau dibayar, tapi akhirnya Seokjin terpaksa menerima. Nyonya Song lebih keras kepala daripada pemuda itu, ia berkata bahwa hanya ingin membantu mewujudkan impian Seokjin sejak sang ayah berpulang—berkuliah dan membantu ibu.

Jadi, setelah pertimbangan yang cukup berat, Seokjin menerimanya—terlebih ia berpikir bahwa kelak, Min Hyeji tak ingin menghidupinya lagi.

Cuaca sedang bagus kala itu, meski mentari hanya terlihat membias di langit karena awan menutupi sebagian sinarnya, Seokjin hendak kembali ke rumah Nyonya Song dengan wajah yang cerah.

"Jimin?" Gumamnya sesaat, tepat setelah mendapati sosok lelaki terdiam di pintu masuk toko.

Hendak menghampiri, Seokjin terkejut, lantaran tiba-tiba saja Jimin menoleh ke arahnya.

Mata mereka bertemu.

"Hai, Seokjin!" Sapa Park Jimin dengan kaos abu kedodoran lengkap dengan jeans berwarna hitam. Lelaki itu lantas melambaikan tangan pun menyunggingkan senyum lebar-lebar; hingga sudut bibir hampir menyentuh mata.

Sempat bertanya-tanya tentang mengapa presensi Park Jimin ada di sana, ternyata Park Jimin pula yang memberikan jawaban dengan berkata, "Jin, untunglah aku menemukanmu. Ikut aku, ini tentang Hoseok." Dengan tatapan serius pun nada bicara yang turun, "Ada apa? Aku sedang si—" Hendak menolak, namun Seokjin tahu ini bukanlah sekadar basa-basi lewat lekuk iris Park Jimin. Hingga pada akhirnya, ia menuruti keinginannya 'tuk mengobrol di tempat lain.

"Ada apa?" Seokjin bertanya sekali lagi setelah mereka terduduk di sebuah bangku tak jauh dari toko.

Helaan napas terdengar beberapa detik setelahnya. Terlebih, kala melihat Jimin yang hanya terdiam menatap nanar beberapa menit. Tak menjelaskan apapun.

Raut wajah Seokjin menjadi kusut, "Ayolah Jim, aku harus segera pergi." Katanya, menatap presensi Jimin dari samping dengan kesal. Dan tak lama kemudian, Jimin membuka suara, "Maaf, Jin. Ini sangat sulit, tapi bagaimana pun aku harus tetap memberitahumu—"

"Cepat ceritakan." Lugasnya.

Jimin mengacak surai asal, ia terlihat tengah sedikit menyesal dengan keputusannya. "Hoseok akan melakukan sesuatu."

Seokjin meremas tangannya erat, mendengus kasar kala Jimin berkata demikian. "Terserah. Aku tak peduli." Ketusnya.

Jimin berkedip lebih cepat, ada yang berbeda dengan sikap pemuda satu ini—Seokjin berbicara hendak pergi, hingga Jimin sukses menahannya ketika berkata, "Kau meninggalkan mereka, bukan? Setelah mendapatkan kehidupan yang kau mau? Setelah bertemu wanita itu?!" Sedikit berteriak lirih, ia menjegalnya.

BERILIUMWhere stories live. Discover now