Sebuah Kebenaran Telak.

894 120 9
                                    

🎈

Surya nampak terlihat dari ufuk timur, Seokjin yang tengah berbaring di sofa terkejut dengan binar dari balik jendela—cahaya itu tegak lurus tepat mengenai matanya, pertanda bahwa ia akan terlambat untuk ke sekolah.

Ia menegakkan punggung, adrenalin telah terpacu meski masih pagi. Seokjin terkejut karena terbangun di sofa ruang keluarga—setelah tak dapat tidur semalam sebab terus menerus memikirkan Yoongi beserta sang ibu, ia memutuskan 'tuk mengambil minum di dapur dan ingin berdiam diri di sofa. Seokjin tak menyangka jikalau ia akhirnya dapat tertidur pulas di sana, terlebih lagi ia masih belum terbiasa setelah dua hari tinggal di rumah ini.

Jadi, dengan segudang rasa khawatir dan penyesalan, ia tergesa menuju kamar mandi. Hendak mengambil seribu langkah namun terpaksa berhenti setelah mendapati Nyonya Song berdiri di konter dapur, uap mengepul dari atas penggorengan. Jujur saja, Seokjin terbangun karena tiga alasan; pertama, ia terkejut akan dirinya sendiri karena terlambat bangun, kedua cahaya matahari yang membuatnya terganggu serta ketiga, wangi harum yang berasal dari dapur.

Jadi, setelah menyadari ada pemuda yang hendak berlari tergesa, ia kemudian menyapa. "Pagi, Jin ... Ayo kita sarapan."

"Selamat pagi, Nyonya." Seokjin melontarkan senyum kaku, ia kemudian berdiri pun menghampiri. "Hari ini kau sekolah 'kan? Aku sudah siapkan bekal untuk istirahat di meja, kau segera mandi dan bersiap. Kita masih sempat untuk sarapan." Meski kedua lengannya berkutat pada peralatan dapur—wajan serta spatula, Nyonya Song mampu menunjukkan tempat di mana kotak makan itu berada menggunakan sorot mata; pada konternya yang berbentuk L, dekat mangkuk berisi buah. Setelah Seokjin terangguk pelan dan berterima kasih, ia sedikit berlari menuju kamar mandi.

🎈

Seorang pemuda terlihat sedang menopang dagu dengan telapak tangannya di atas meja, menatap kosong buku catatan yang sudah lama tak terlihat sepanjang Seokjin mengalami kejadian tempo hari. Tangan kiri belum bisa bergerak bebas, agak ngilu, gatal, dan Seokjin tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi semua itu bukan hal yang mengganggu—karena justru ada hal yang lebih besar dibandingkan dengan mengeluh akan kondisi lengannya. Seokjin rasa, pagi hari ini tidak seperti biasa.

Ia merasa lain, pergi ke sekolah meski telah cukup lama absen dan mungkin kelas akan menjadi asing baginya, namun Seokjin merasa tidak aneh. Seokjin tentu bisa memahami mata pelajaran yang tertinggal, ataupun bertegur sapa dengan teman-teman lain meski saat ini ia masih sendiri—Taehyung dan Jimin belum menampakkan batang hidungnya.

Lantas Seokjin hanya melamun, memikirkan pagi yang tak biasa di mana untuk kali pertama setelah sekian lama, ia berangkat dengan sebuah bekal di dalam tas.

Aneh rasanya, Seokjin kembali teringat akan ucapan Jimin dan Hoseok tempo hari—pada saat ia masih di rumah sakit, tengah menunggu Yoongi.

[]

"Jin ... Apakah kau bisa mengingat lagi kejadian saat itu? Karena, aku rasa ini sangat tidak masuk akal."

"Iya! Mana ada orang yang menyetir mobil dengan sangat cepat serta lampu yang mati?! Apalagi di area sekolah 'kan? Pasti setiap orang akan melintas dengan perlahan." Tambah Hoseok, "Jin-hyung, tolong coba ingat, agar kita bisa menemukan pelakunya."

"Berarti, dia sengaja melakukan ini? Orang gila." Jengah Jimin, nampak gusar lewat embusan napas yang dikeluarkan, membuat Seokjin mengangkat dagu pun berkata. "Setelah Yoongi berteriak, aku menengok ke arah kiri dan mobil itu sudah dekat ... Mobil sedan hitam." Jelas Seokjin dengan dahi mengerut berusaha mengingat.

BERILIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang