19

202 20 0
                                    

Untuk sesekali, sejak masa-masa SMA, tidur malam merupakan sebuah prestasi. Kali ini Hanand yang membangunkan. Secara pasang alarm di HP pun percuma, wkwkwk, alarm nyala, bangun kagak. Kadang alarmnya malah dimatiin tapi akunya tidur lagi.

"Key, bangun woy!" Hanand beteriak sambil menendang-nendang pantat.

"Dah mau adzan ini, Kaken Afan udah OTW masjid, tuh" Hanand meneruskan, sambil tetap menggoyang-goyang tubuh aku yang entah kenapa, kadang suka susah dibangunkan.

"Keeeeeey!!! Amjing ini anak kemarin habis ngapain? Biasa dia kalau tidur kebluk begini karena kelelahan."

"Mana sini, biar aku yang coba, 'Key, shalat subuh nanti kesiangan, dah adzan!" Akhirnya Renold turun tangan.

"Elaaaaah, ayok, kita duluan aja, Ren. Biarin si kampret itu, palingan nanti kalau subuhnya kesiangan dia ngomel-ngomel lagi 'kok kalian gak ada yang bangunin?' Udah, yok, brangkut" Ajak Hanand.

Dengan mata yang sangat berat aku sahut Hanand, "Jangan begitulah, woy, tunggu."

"Eh nyaut si kambing," kata Hanand.

Seperti di banyak hari yang biasanya, kami shalat subuh berjamaah di masjid. Menemani Kakek Afan dan beberapa warga sekitar yang kolot-kolot. Jarang sekali ada anak muda yang shalat subuh berjamaah di masjid ini. Mengingat masjid ini tidak luas-luas amat, mungkin yang lain pada senang shalat di masjid besar belakang rumah sakit, jaraknya tidak jauh juga dari sini. Sekitar 100 meter.

Malam ini Hanand dan Renold kebetulan tidak tidur, mereka begadang seperti biasa, main Mobile Legends atau PUBG. Ariel sedang entah ke mana, mungkin tidur di rumahnya malam ini. Sebenarnya aku pun biasanya mabar (main bareng) mereka. Hanya kadang salah satu di antara kita suka tidur lebih dulu. Dan jujur saja, kalau tidak sengaja kita tidur semua, kadang shalat subuh jadi kesiangan, karena begitulah, alarm berbunyi hanya untuk dimatikan lagi. Karenanya, kita suka memutuskan untuk tidur setelah subuh, tanggung kalau tidur di atas jam 12 malam. Atau paling tidak, di antara kami harus ada yang jaga malam, biar ada yang bangunkan.

Sepulang shalat subuh seperti biasa, kami mampir ke warung Pak Obing atau biasanya, yang berjaga di warung itu istrinya. Warung Pak Obing ini namanya warung karuhun, hanya terhalang dua rumah dari kosan kami. Jadi, hampir dari sinilah sumber kehidupan kami setiap hari, hahaha. Karena kebetulan istri Pak Obing suka jual masakan untuk anak-anak kosan sekitar sini.

"Bu, moccacino tilu, nya. Diseduh." Renold memesan.

"Diseduhlah, masa di-smekdon!" Hanand menimpali Renold.

"Eh, si kadal!" Renold memukul pundak Hanand tidak terlalu keras.

"Waduh, gorengan na teu acan asak. Ah, Ibu mah..." aku melongok masuk ke dalam warung dan memantau gorengan yang masih belum selesai digoreng.

"Wah, parah si ibu, pelanggaran ini mah," Hanand ikut memprotes.

"Ih, atuh can garing, kela kedap, barudak!"

"Enya sok bu, semangat! Sambelna aman?" Aku bertanya.

"Aman," si ibu menyahut.

Makan gorengan subuh-subuh itu kenikmatan yang hakiki kalau kata Ariel. Kebetulan suhu di Sukabumi cukup dingin, apalagi subuh. Terlebih bala-bala dan gehu si ibu benar-benar juara rasanya, enak! Ditambah sambal kacang jadi makin mantap, aku suka memastikan agar si ibu tidak lupa membuat sambalnya. Karena gorengan tanpa sambal itu seperti cinta bertepuk sebelah tangan, wkwkwkwk...

Sambil menunggu gorengan dan kopi selesai diseduh kami suka duduk di bangku depan warung, kadang kami main game di situ, atau lebih banyak kami berbincang, membahas hal-hal tidak perlu dan sesekali memang cukup penting.

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang