Tidak Untuk Melupakan

645 41 12
                                    

Hari-hari berlalu dengan ketidaksempurnaan, aku melaluinya tanpa gairah. Awalnya begitu. Tetapi sebelumnya aku tidak sempat terpikir akan begini, mula-mula patah hati berbicara tentang hal lain; perempuan di bumi ini tidak hanya satu. Bahwa aku tidak semestinya terus mengemis pada seseorang yang meninggalkan tangis.

Aku setelah tidak dibersamai Sera seperti merasakan suatu ketiadaan yang amat nyata, seperti kehilangan hal-hal yang pada kenyataannya memang tidak pernah ada di hidupku sebelumnya. Aku karena terlalu merasakan Sera sampai tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu harus melakukan apa selain setiap hari memikirkan apa pun tentangnya. Awalnya memang aku berpikir bahwa Sera adalah yang paling salah. Dia dengan tega memaksa hilang semua yang pernah ada, seperti mengambil bahagia untuk ia berikan ke tempat yang lain. Seakan aku adalah suatu kesalahan yang perlu ia lewatkan. Aku ingin memaki Sera. Aku ingin meneriakkan segala luka tepat di depan hatinya supaya dia tahu betapa ditinggalkannya aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku ingin dia tahu bahwa kepergiannya benar-benar meninggalkan duka. Mata yang basah, tubuh yang setiap saat malah semakin melemah. Dia mungkin tidak mengerti betapa kepergiannya menyisakan hati yang patah. Aku sungguh ingin melontarkan segala cacian yang untuk setidaknya bisa sedikit saja membuat perih di dada berhenti kurasakan. Aku kala itu hanya tahu bagaimana caranya menobat dan memaksakan pikiran bahwa dari sebuah perpisahan yang teramat menyesakkan, hanya Sera-lah yang telah membuat kesalahan.

Jauh hari berlalu, jauh Sera berjalan. Aku malah semakin kehilangan diri sendiri. Setiap hari hanya tentang sesak di dada, hanya tentang Sera yang kini di hidupku sudah memilih tiada. Aku kerap memarahi banyak hal, memaki benda-benda mati, menunjuk apa pun yang padahal mereka sama sekali tidak kenal aku, hanya untuk melemparkan kesedihan. Berharap satu detik saja aku bisa lupa. Tentang segala sakit yang kian hari kian terasa. Aku kehilangan asa. Dan diri ini hampir sepenuhnya dikuasai angkara.

Satu hari kujalani sendiri, satu hari Sera jalani berdua. Satu hari lagi kujalani sendiri, satu hari lagi Sera jalani berdua. Setiap hari aku merasakan cemburu yang luar biasa. Ada ketidakrelaan yang bertumbuh. Pikiran yang sangat kacau. Semraut rindu dan marah saling mematahkan seisi kepala. Aku benar-benar tidak rela. Ikhlas sama sekali aku tidak bisa. Riuh seisi dada. Hanya tentang sedang apa dia dan dibawa ke mana oleh kekasihnya. Aku khawatir Sera dibawa ke tempat yang tidak baik, aku khawatir Sera dibawanya jauh. Bahkan tidak terpikir bahwa sejak dengannya, dariku Sera telah pergi menjauh.

Aku dikuasai oleh hal-hal kotor. Pikiran-pikiran buruk seperti sengaja dilemparkan seseorang untuk memenuhi isi kepala. Perasaan-perasaan dengki seakan perlu untuk kusimpan di dalam dada. Aku lupa pada siapa diriku sebenarnya. Aku lupa di hatiku ada siapa.

Di suatu sore, saat aku hanya bisa duduk termenung, memandangi apa pun yang semakin menegaskan bahwa Sera tak ada, aku sempat-sempatnya berpikir bahwa saat itu juga Sera sedang menghabiskan sore berdua. Saling menitip peluk seiring tawa renyah yang seperti dulu untukku. Saat aku sedang mati-matian menahan segala rasa, Sera di suatu tempat bersama kekasihnya mungkin sedang senang-senangnya melakukan hal-hal yang bisa mereka lakukan bersama. Aku sakit. Memikirkannya benar-benar sakit. Ada perih yang sangat, yang kupikir tidak sepantasnya aku merasakan itu semua.

Kupikir tega sekali dia. Seseorang yang selama ini kucintai dengan sepenuhnya, pada akhirnya hanya tahu caranya pergi dan mengkhianati. Kupikir apa salahku? Apa kurangku? Apa begitu mudahnya dariku Sera mengangkat kaki? Apa lebihnya lelaki itu sampai-sampai dariku Sera memilih pergi? Segala pertanyaan benar-benar menguasai isi kepala. Pertanyaan yang membuatku semakin merasakan perihnya sebuah luka. Dan tidak hanya sebuah, ditinggalkan Sera aku seperti sakit di sekujur tubuh dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dikhianati Sera aku merasakan sakit yang seluruh.

Tidak ada seorang pun yang mau dan mampu mengerti. Luka ini benar-benar kutanggung sendiri.

Satu langkah lagi Sera berjalan. Semakin jauh ia dariku. Tidak ada kabar. Tidak ada bahasa. Tidak ada apa-apa. Hanya ada aku dan segala ingatan yang semakin hebat menyerang diri sendiri. Kehilangan yang kuat hanya membuat hari demi hari semakin terasa berat. Aku lupa banyak hal. Aku lupa caranya bersyukur. Aku lupa tentang apa yang seharusnya kulakukan. Aku lupa pada semua hal-hal baik yang di hidupku masih dan selalu ada. Aku lupa diriku sendiri. Yang aku tidak lupa hanya Sera.

Tetapi dilukai Sera aku tidak seperti kehilangan Tuhan. Dari sakit yang sangat, aku tidak bertindak yang bukan-bukan. Aku tetap menghormati ibuku. Aku tetap menjalankan kewajiban-kewajiban yang Tuhan Perintahkan. Setidaknya masih ada sedikit aku di sini.

Saat itu aku tidak merasa bodoh. Sekali pun sangat. Aku merasa bahwa menyalahkan orang dan melimpahkan segala kesalahan kepada Sera adalah sebaik-baiknya hal yang bisa kulakukan. Aku tidak merasa senang tapi tidak juga merasa salah. Aku hanya punya banyak rasa sakit. Aku menceritakan Sera kepada banyak hal. Karena aku tidak merasa kuat menanggung semuanya sendirian. Kepada benda-benda tak hidup aku bilang bahwa Sera yang salah. Bahwa tidak seharusnya Sera melakukan ini semua. Kepada langit aku memandang jauh, seiring wajah Sera tergambar aku menceritakan dengan baik segala sedih yang aku rasa. Kepada angin yang bahkan tidak berharap melewatiku, aku menitip nama Sera dan menceritakan betapa ditinggalkannya aku terluka. Aku menceritakan Sera kepada apa pun yang di bumi ini Tuhan telah adakan.

Mimpi-mimpi yang sempat kita buat bersama pun seketika datang menggulung kepala. Segala kenangan, cerita-cerita indah yang sempat Sera ceritakan untukku, hal-hal baik di masa depan, rumah sederhana dengan taman yang luas, nama-nama anak yang pernah ia buat, tentang nanti anak kita yang katanya akan lebih mirip dia, mata-hidung-mulut-alis-dagu-kening-wajah yang tidak boleh mirip aku. Jika ada seseorang yang pernah tersenyum sambil meneteskan air mata. Saat itu aku benar-benar melakukannya. Aku menangisi Sera. Sendirian.

Aku pernah sangat sedih sampai tidak berselera untuk banyak tertawa. Selain setiap senyum di muka umum yang selebihnya hanya kupaksa-paksa. Aku pernah sepakat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa perempuan semacam Sera, yang demi lelaki lain meninggalkan aku sangatlah pantas dilupakan. Perempuan seperti Sera tidak boleh mendapat satu pun air mata yang jatuh dariku. Perempuan seperti Sera seharusnya dibuat menyesal dan banyak lagi pernyataan-pernyataan lain yang kala itu kupikir ada benarnya. Aku sempat hampir membenci Sera dan memilih melupakannya.

Sambil menutup mata, demi Sera aku pernah menangis dengat sangat di suatu sore yang tidak ada siapa pun selain hanya aku dan kenangan yang berputar-putar. Semuanya terulang tanpa benar-benar terulang.

__________

Alhamdulillah

Bacalah, berkenanlah

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now