3

1K 83 8
                                    

Aku selalu percaya bahwa tidak pernah ada perjalanan yang jauh untuk menuju seseorang yang tetap di hati. Begitulah, dia, bagiku, tidak pernah jauh.

Tidak butuh waktu yang lama untuk aku sampai di depan rumahnya. Rumah bercat biru, dengan beberapa bagian yang sudah mengelupas. Seperti sebuah warna yang telah sekuat tenaga bertahan untuk waktu yang lama. Aku sempat berpikir tentang sudah berapa kali berganti warna, rumah yang menjadi tempat dia merengek, sebagai tempat paling tabah waktu dirinya bisa se-enak jidat pipis sembarangan. Dan, bahkan ketika dia merasa senang melakukannya. Kupikir dia punya rumah yang beruntung. Karena sempat menjadi saksi dari mengagumkannya melihat manusia lucu berkembang setiap hari. Sejak dia tak bisa berjalan, merangkak, berdiri lalu jatuh lagi, sanggup berdiri dengan baik, sampai dia berjalan, dan berlari. Terlepas dari seberapa kali rumah itu dipipisi, atau dia muntahi, atau dinding yang berkali-kali dicorat-coret olehnya. Rumah, kau sangat beruntung.

Dan sejak pertama kali mengenalnya aku adalah orang yang tidak pernah punya keberanian lebih untuk setidaknya mengetuk pagar. Mungkin karena aku culun. Atau selalu merasa tidak pernah bisa menjadi sosok yang istimewa di hadapan keluarganya. Ada rasa malu yang entah orang lain pernah merasakan atau tidak. Aku selalu bingung jika harus menjadi orang lain dan berpura-pura keren untuk memberanikan diri memanggilnya dari pinggir jalan. Seperti, "Seraaaaa, main, yuk!" Terdengar seperti 14 tahun yang lalu, waktu memanggil seseorang dari luar rumah adalah hal yang paling harus dilakukan untuk bisa main kelereng sama-sama.

Terlebih di usia yang sekarang, memanggil orang lain dari luar rumah sambil berteriak, apalagi di depan rumah perempuan? Ya, ampun!

"Hei, dah di depan ni."

Mungkin dulu orang yang pertama kali menciptakan HP adalah orang yang sama pemalunya denganku. Manusia yang berpikir bahwa menggunakan surat adalah hal yang terlalu merepotkan untuk mengungkapkan perasaan, atau setidaknya saling berkomunikasi. Dan barangkali dia menciptakan HP karena tulisannya sangatlah jelek! Ya, aku pikir begitu. Sama denganku. Tulisannya pasti jelek. Kita sama-sama tercipta sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang hasil tulisannya tidak akan pernah bisa dimengerti orang lain. Ya, ampun, andai aku bisa bicara dengan orang yang dulu pertama kali menciptakan HP ini. Aku ingin menepuk pundaknya sambil mengacungi jempol sekaligus, kupikir dia hebat. Sebab karenanya orang-orang culun dan pemalu dan punya tulisan jelek sepertiku terselamatkan.

11 menit aku duduk di atas jok motor dengan kaki kiri yang dilipat dan kaki kanan bertumpu pada step sebelah kiri. Mencoba melihat HP berkali-kali sambil menunggu balasan darinya. Kulihat-lihat ke arah rumahnya, namun tak ada pintu yang bergerak sedikitpun sebagai pertanda ada seseorang yang keluar dari sana. Aku berusaha sabar dan menunggu lebih lama lagi. Mungkin dia sedang fokus makan rumput laut sampai tidak menyadari ada notifikasi masuk di HP nya. Atau dia makan rumput laut di tengah rumah, dan HP nya berada di kamar. Atau mungkin rumput laut membuatnya lupa bahwa aku sejak tadi sedang di dalam perjalanan ke rumahnya.

"Apa saja bisa terjadi ketika seseorang memakan makanan favoritnya. Kau bahkan bisa dilupakan."

Aku mencoba memanggilnya melalui Whatsapp. Terdengar bunyi, "Tuuuut.. tuuuuut.... tuuuuuut," dengan keterangan, "Berdering," kulakukan berkali-kali sembari berharap ada jawaban. Jauh dari perasaan kesal, aku malah merasa cemas. Karena telah membuatnya marah sampai mungkin dia malas menemuiku.

Sudah 37 menit aku berada di depan rumahnya tanpa ada satu pun balasan atau panggilan telepon yang dia angkat. Aku tidak punya pikiran aneh selain cemas dan merasa bersalah karena telah melupakan janji yang kita buat 2 hari yang lalu. Sehingga membuatnya menunggu dan menggagalkan rencananya yang mungkin saja merupakan rencana besar. Seperti menciptakan roket, membuat mobil terbang, sepeda motor yang bisa dilipat, atau HP yang ada WC-nya. Dia punya pemikiran yang tidak bisa ditebak, jadi, mungkin salah satunya benar-benar akan ia ciptakan.

Dulu waktu masih denganku, aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dia akan menemukan tempat lain yang lebih nyaman untuknya bisa merasa tenang. Sampai kenyataan berkata lain dan dengan kekasihnyalah dia sekarang. Sehebat itu, pemikirannya yang tidak bisa kutebak.

Dan waktu terus berjalan, sedang tak ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Aku tidak bisa membayangkan keluarganya sedang ada rapat penting. Atau liburan dadakan yang keberangkatannya lebih cepat daripada perjalananku menuju rumahnya yang hanya menempuh waktu sekitar 5 menit.

"Maafkan, aku benar-benar tidak sengaja. Aku lupa."

"Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Memangnya sudah sehebat apa aku sampai berani menyengajakan diri bikin kamu kesal?"

"Aku percaya bahkan ketika marah pun kamu tetap cantik, tapi, ayolah.."

"Nanti di perjalanan kita mampir dulu ke tempat jajanan di depan sekolah kita dulu,"

"Kamu mau jajan apa saja kubelikan, tapi tidak jika sekelas pesawat terbang, atau yang mahal lainnya hehe... Bukan aku pelit, tapi aku belum mampu membelinya. Tunggu sebentar lagi, ya,"

"Sera?"

Mungkin kali ini aku sudah keterlaluan. Hal yang akan dia lakukan barangkali sangatlah penting dan dengan bodohnya aku menggagalkan semua rencana hebatnya hari ini. Aku benar-benar merasa bersalah dan ingin membelikannya banyak sekali jajanan kesukaannya. Untuk setidaknya bisa sedikit saja memperbaiki mood-nya yang telanjur kubuat berantakan.

"Aku pulang lagi, ya. Aku benar-benar minta maaf. Tolong berikan."

"Sera?"

"Rumput laut tidak memakanmu, kan?"

_______

InsyaAllah kulanjutkan nanti.

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now