Yang Tak Terkatakan

245 25 5
                                    

Belum selesai aku memandang diriku sendiri dengan serba kekurangan, kuakui bahwa selama aku mengenal Sera, di sepanjang kisah kita yang entah disebut apa, kekasih hati bukan, pacar apalagi, mantan juga aneh, aku tidak bisa mengakrabkan diri dengan...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Belum selesai aku memandang diriku sendiri dengan serba kekurangan, kuakui bahwa selama aku mengenal Sera, di sepanjang kisah kita yang entah disebut apa, kekasih hati bukan, pacar apalagi, mantan juga aneh, aku tidak bisa mengakrabkan diri dengan keluarganya lebih dalam. Terlepas dari aku selalu malu untuk merasa wajar masuk ke dalamnya, aku pun tidak tahu harus berkata apa, aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku berada di antara mereka. Aku tidak bisa bicara langsung dengan leluasa, aku tidak pandai berbaur selain satu hal yang paling bisa aku lakukan, di mana pun aku berada, yaitu mendengarkan.

Aku bahkan tidak tahu kenapa aku begini. Tetapi adakalanya karakter diri adalah yang sengaja dibentuk atau terbentuk dari lingkungan terdekat. Keluarga, misalnya. Tentu aku tidak bermaksud menyalahkan, karena jika pun iya aku harus menyalahkan keluargaku sendiri, semuanya sudah percuma, bukan?

Aku tumbuh dari keluarga yang keren. Dari cerita-cerita istimewa yang mungkin tidak semestinya aku alami. Katakanlah, singkat cerita, mungkin orangtuaku adalah dua super hero yang tidak cocok jadi sepasang. Atau barangkali mereka memang tidak ingin cocok. Seringkali semenjak aku punya ingatan, aku menyaksikan mereka bertengkar. Piring-piring terbang ke sana ke sini. Perabotan rumah tangga yang hancur. Dua nada suara yang jauh dari tenang.

Sebagai anak kecil tentu aku tidak tahu harus berbuat apa melihat dua manusia dewasa bertengkar di hadapanku. Terlebih mereka adalah orangtuaku sendiri. Aku tidak ingat juga apa aku menangis atau tidak sama sekali. Yang aku sadari bahwa ada banyak sekali kata di dalam diri yang ingin aku katakan tapi tidak pernah sanggup aku keluarkan. Semuanya mengendap di dalam diri dan aku sama sekali tidak tahu bagaimana harus mengutarakannya. Kamu mungkin tidak akan mengerti bagaimana rasanya, dan kuharap tidak akan pernah mengalami.

Aku sering berandai-andai, kalau saja aku punya saudara, entah itu seorang kakak atau adik, mungkin aku akan ada teman untuk sekadar berkata, "Tuh orang pada kenapa, sih?" Atau setidaknya aku ada teman untuk berpaling. Berpura-pura tidak tahu apa-apa dan pergi main sambil tidak lupa bagaimana caranya tertawa.

Kalau aku punya saudara, mungkin aku tidak akan menelan semuanya sendirian. Aku tidak harus menyaksikan dua manusia yang tinggi egonya saling beradu mulut, hampir setiap hari. Aku tidak harus melihat piring-piring terbang sendirian, aku tidak akan melihat rumah tangga berantakan dan berdiri sendiri di antara mereka dengan sejuta kata yang sama sekali aku tidak tahu cara mengungkapkannya.

Mereka, maksudku orangtuaku, bukan berarti tidak mendidikku dengan baik. Bukan berarti mereka tidak menyayangiku, melainkan mereka tidak menyayangi keluarga kita. Aku lihat berkali-kali mereka pun berusaha bertahan, untuk setidaknya tidak terus-terusan begitu. Tetapi entahlah apa yang mereka rasakan sebenarnya, di dalam diri mereka masing-masing aku tidak pernah bisa menebak apa isinya.

Sampai hari-hari tiba-tiba aku jalani tanpa ada lagi Ayah di rumah. Pertengkaran membuat mereka membutuhkan waktu masing-masing, sering sekali begitu. Entah apa yang mereka ambil sebagai suatu pelajaran, dari setiap pertengkaran, dari setiap pengasingan diri yang mereka lakukan, karena pada kenyataannya ketika mereka berada di dalam satu rumah lagi, mereka bertengkar lagi. Sebagai bocah ingusan aku benar-benar tidak tahu apa masalah mereka sebenarnya. Lagi-lagi yang bisa aku lakukan cuma berdiri di antara sebuah pertengkaran dengan jutaan kata yang tertahan. Meski mungkin kalau aku yang sekarang yang ada di sana, aku akan sanggup mengambil keputusan, atau setidaknya aku berani bicara. Untuk sekali saja aku mengatakan, "Jangan bertengkar lagi, Ayah, Mama."

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now