26

256 15 3
                                    

Semenjak usia 20-an, aku jadi punya kebiasaan baru. Bisa dibilang aneh karena aku tidak biasa melakukannya. Aku suka tiba-tiba mengantuk setiap selesai maghrib, atau kadang-kadang selepas isya. Rasanya ngantuk sekali. Ngantuk berat. Entah berapa kilo.

Kalau sudah ngantuk begini tapi tidak kunjung tidur, biasanya suka sakit kepala. Makanya, setelah beberapa kali pening, akhirnya aku suka mengalah, aku memilih tidur.

Lalu keanehan yang lain terjadi kalau aku tidur di bawah jam 12 malam, semisal setengah 7, jam 8, atau jam 9, aku jadi suka terbangun begitu saja tengah malam. Tentu saja bagiku ini aneh, karena sebelumnya kalau sudah tidur aku suka bablas sampai subuh. Malahan di banyak waktu aku kesiangan shalat subuh.

Aku sering ceritakan hal ini sama anak-anak yang lain, katanya itu faktor-U. Aku sih mengerti maksud mereka itu faktor umur. Ya, mungkin benar begitu. Mau tidak mau sekarang sudah tidak remaja lagi. Lagi pula kapan aku remaja? Rasanya dari kecil aku sudah dipaksa jadi dewasa. Meski aku selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa dewasa bukan berarti tua.

Seperti yang aku ceritakan, sekarang juga aku terbangun jam 1 lebih 11. Malam ini tidak mimpi Sera. Padahal boleh saja kalau memang mau mimpi, aku sudah terbiasa. Terbangun di jam-jam segini aku suka duduk sendirian, menunggu sampai cakra terkumpul baru bergerak.

Hanand, Renold, dan Ariel tak ada satu pun batang hidungnya kelihatan. Walau memang gelap karena aku tidak bisa tidur kalau lampunya dinyalakan. Sambil duduk aku bisa menebak mereka sedang di mana. Palingan kalau jam segini mereka lagi ngobrol gak jelas di warteg dekat pasar yang biasa. Bukan apa, selain karena warteg itu bukanya malam sampai pagi, harganya juga murah. Dan satu hal yang paling penting, nasinya banyak. Ada tambahan lain yang bikin mereka betah makan di sana, tentu saja karena bisa ngambil kerupuk sepuasnya. Aku kalau lagi ikut ngumpul pun suka makan di sana. Warteg yang aneh kupikir. Dia pakai gerobak, dan pelanggannya makan di trotoar, hanya beralaskan karpet plastik yang gambarnya Dora. Makanannya kadang enak, kadang agak asam. 12 ribu sudah dapat nasi banyak, telur dadar, tempe, dan sayur. Atau kalau mau pakai daging ayam, berarti nasi dan daging Ayam saja. Ah, iya, satu lagi yang hampir lupa. Air tehnya juga gratis. Bisa minta lagi. Yang jualannya Aa Aa (Abang-abang) atau kadang Ibu-ibu. Aku pikir itu ibunya, tapi Aged suka bilang kalau itu istrinya. Entahlah.

Aged adalah salah satu teman kami. Dia manusia yang aneh juga. Dan sekarang aku sedang tidak ingin bahas dia.

Kadang bersyukur punya kebiasaan baru ini. Aku jadi terbangun dan tidak ketinggalan waktu subuh. Di sisi lain kesempatan untuk menikung di sepertiga malam pun kian bertambah, hahaha. Enggak, aku sama sekali tidak pernah mendoakan agar Sera berpaling. Yang kudoakan adalah baik-baiknya. Yang selalu kuharapkan adalah bahagianya. Yang kusemogakan adalah ia dibersamakan dengan seseorang yang dicintainya. Begitu pun sebelumnya aku mendoakan Mama dan Ayah agar sehat dan baik-baik. Aku selalu berharap bisa cepat membahagiakan mereka. Aku ingin membalas setiap hal baik yang mereka ajarkan, meski sebenarnya aku tahu bahwa tak ada setitik pun aku dapat membalas. Tetapi begitulah sejak kecil aku selalu berdoa agar dapat menjadi alasan mereka berbahagia.

Setelah selesai romantis-romantisan dengan Tuhan. Aku suka menulis. Bagiku, malam itu waktu terbaik untuk menulis. Tenang dan sendirian. Luka dan kesenangan rasanya jelas sekali. Aku kebetulan sedang menulis naskah, sedikit-sedikit aku menambah kontennya setiap hari. Meski terkadang masih suka malas. Di laptop pun ada dua naskah yang tidak diterima penerbit. Alasannya mungkin karena memang tulisanku yang masih jauh dari standar mereka. Tentu saja ada rasa kecewa, namun, itu artinya aku hanya perlu menulis lebih banyak lagi, kan? 

Selain menulis aku suka membaca, tentu saja kupikir setiap orang yang menulis pasti membaca. Aku suka membaca buku seperti aku membaca Sera. Perlahan-lahan, dan diulang-ulang. Bahkan tidak jarang aku membaca banyak sekali tapi tak memahami apa pun. Begitulah bagiku sama halnya dengan Sera. Sesering apa pun aku membacanya, aku tidak akan pernah bisa memahaminya. Sera itu seperti buku yang tidak akan pernah selesai aku baca, dan aku digariskan Tuhan untuk tidak pernah bosan membacanya, lagi dan lagi.

Di jam-jam segini adalah saat di mana cinta dapat selalu memaafkan. Kalau tidak percaya, cobalah kau jatuh cinta dan bangun di tengah malam. Bersama buku, atau dirimu sendiri. Apalagi kalau sempat untuk tahajud. Cintamu rasanya jadi lembut. Kau akan mengerti bagaimana nama seseorang begitu merasuk ke dalam tubuhmu. Tetapi mungkin tidak juga. Mungkin alasannya karena setiap orang punya cara jatuh cintanya sendiri. 

Apa-apa yang tidak dapat terkatakan, aku menuliskannya di dalam cerita-cerita, di dalam puisi-puisi. Aku menyukai keindahan, mungkin sebab itulah aku menyukai Sera. Bahkan di tengah malam begini pun, di saat ia terlelap dan mungkin sedang lupa aku, aku tetap mengenangnya. Nadiku seperti berdenyut hanya untuk menyebut namanya. Sesekali aku tidak ingin begini, tapi sesekali aku suka begini. 

Barangkali inilah alasan kenapa luka-luka selalu termaafkan. Kenapa tidak ada satu pun sakit yang membuatku membenci Sera. Seberapa jauh pun dia pergi, seberapa kali pun dia berpaling, aku selalu mampu menemukannya. Di dalam kepalaku sendiri, di dalam hati yang justru betah bila sepi.

Rasa marah kemarin sudah tak ada. Lagi-lagi yang terpikirakan adalah bagaimana aku bisa belajar rela. Aku ingin tahu bagaimana sekarang keadaan Sera. Aku merindukannya. Tetapi yang bisa aku lakukan hanyalah memejamkan mata. Beginilah caraku merasakan Sera. 

Kulihat HP, sudah hampir jam 3 pagi. Tak ada pesan dari Sera. Tentu saja tak ada, ahahaha aku sudah tahu itu tapi masih suka menebak-nebak akan menemukan pesan darinya. Ada-ada saja.

Aku selesai dulu menulis. Kalau terlalu banyak suka pusing. Aku memilih lanjut membaca buku. Bersandar di dinding kamar, di atas kasur busa yang masih tipis. Saat ini aku sedang membaca Ayah, bukunya Andrea Hirata. Aku baru sempat membacanya, karena banyak sekali ternyata buku di dunia ini. Hampir sama banyak dengan perasaan seluruh penghuninya. Aku tidak keheranan bila memang begitu pula semua orang di dunia punya rasa cinta. Orang-orang akan memilih cara jatuh cintanya sendiri; melalui buku, kata-kata, doa-doa, atau apa pun. Melalui cara yang baik atau yang jahat.

Setelah usia 20-an aku sendiri jadi tidak terlalu memikirkan gengsi. Tentang ejekan kawan-kawan bangsat yang suka bilang kalau aku tidak bisa move on hanya karena cewek seperti Sera. Memang benar Sera bukan yang tercantik. Aku juga suka lihat yang lebih daripada dia. Dan mungkin yang lebih baik juga banyak. Yang lebih cempreng ada. Yang punya lesung pipi, tentu bukan dia saja. Yang manja apalagi, aku tahu pasti masih bisa menemukannya di belahan bumi sana. Tetapi yang aku tahu, mau seperti apa pun, mereka itu bukan Sera. Saat ini aku justru bangga bisa memiliki seseorang yang begitu hidup di dalam hati. Meski tak pantas lagi untuk kukatakan. Meski tak wajar lagi untuk diutarakan.

Sekarang entah Sera pun merasakannya atau tidak. Tetapi aku percaya hal-hal ajaib itu selalu ada. Terserah di dalam dirinya mengalir namaku, atau nama seseorang yang lain. Sebab dari apa yang aku pikirkan, inilah caraku mencintai seseorang saat ini. Aku tidak malu untuk mengakui. Karena siapa pula yang tidak merasa bangga dengan rasanya sendiri.

Sekarang dia mungkin sedang pulas-pulasnya. Dia cuma tidak tahu bahwa saat dia tertidur lelap, ada seseorang yang sebegitu dalam memikirkannya. Ahahaha lucu kalau dipikir-pikir, betapa cinta bisa membuat cerita yang berbeda-beda, di dalam diri manusia.

________

Alhamdulillah

Bacalah, berkenanlah

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now